Kiara Laurencia melangkah pasti nan penuh percaya diri menuju pintu besar di ujung lorong sana, meskipun raut ayunya terbaca sendu. Tujuannya adalah ruangan milik Damian Alexander, seseorang yang akan menjadi penerus satu-satunya kantor agensi periklanan yang saat ini ia pijak.Sebenarnya wanita itu tengah menyusun kembali hatinya yang telah hancur menjadi keping-keping. Setelah melihat sang calon suami menjemput Evelyn kemarin, suasana hatinya berubah kacau. Ia merasa cemburu sekaligus curiga, sebab pria itu tampak lebih mementingkan sang sahabat ketimbang dirinya. Calon suaminya itu lebih memilih menemui Evelyn daripada menemui dirinya.Apalagi dengan penolakan Damian terhadapnya malam itu."Lupakan hal itu, Kiara!" embus berat napas Kiara terlepas seiring langkahnya terhenti. Selanjutnya ia menggeleng kencang, mencoba melupakan hal yang sukses membuat ia merasa harga dirinya jatuh ke titik paling rendah. Meskipun Damian berkata bahwa Evelyn adalah sahabatnya, namun tak menutup fa
Bunyi bel yang berdenting menyentak atensi Evelyn yang sedang mencuci piring di area dapur. Ia buru-buru membilas busa sabun yang barangkali masih menempel di tangannya, berikut mengelap tangannya yang basah menggunakan lap yang tergantung di sisi kanan. Tidak ingin membuat seseorang di balik pintu di depan sana lama menunggu, ia segera bergegas menuju pintu depan. Ia memang sedang sendirian di rumah.Dan ketika pintu sudah berhasil ia buka, sosok tak asing lah yang tertangkap pandangan mata."Aksa?" Evelyn seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.Berbeda dari raut Evelyn, Aksa justru mengukir senyuman. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "Hai, selamat malam, Sayang.""... malam.""Kau tidak mempersilakan aku untuk masuk? Ah, atau mungkin kau lebih suka di luar saja? Kita ... duduk di taman?" Aksa menunjuk taman bunga milik Karenina dengan gestur tubuhnya. Karena tidak mendapatkan respons, atensi pria itu kembali jatuh pada wajah jelita Evelyn. "Tadi aku menjempu
"Makan yang banyak, Aksa. Mama perhatikan akhir-akhir ini makanmu cuma sedikit." Lian Wijaya kembali menyendokkan nasi ke atas piring sang putra yang isinya hampir habis, berharap Aksa makan dengan porsi lebih banyak malam ini. "Tambah lagi, ya? Mama sengaja memasak makanan kesukaanmu.""Cukup, Ma. Ini terlalu banyak." Aksa berbicara dengan nada halus, takut membuat ibunya kecewa. Ia memang sedang tidak berselera, banyak pikiran adalah penyebabnya. Dan ucapan pria itu berhasil menghentikan gerakan tangan sang ibunda yang sedang menyendokkan semur daging ke atas nasi yang masih hangat. Senyum wanita baya itu sirna, berganti hela napas berat. "Sejujurnya Mama sedikit kepikiran. Apakah ada masalah di pekerjaan?""Tidak ada." Aksa tersenyum, agar kekhawatirannya di raut wajah itu menghilang. "Mama jangan terlalu khawatir begitu. Aku baik-baik saja. Aku akan menghabiskannya." Berlanjut ia menyendokkan makan malamnya ke dalam mulut, memaksa menikmati makanan yang entah kenapa terasa pahit
Pesta itu berada di lantai dasar gedung kantor agensi. Itu adalah pesta perayaan diangkatnya Damian Alexander sebagai Direktur Utama, menggantikan posisi Benedict Alexander selaku ayahnya. Meski pesta itu hanyalah makan dan minum bersama, namun kemeriahan melingkupi suasana. Hampir semua orang yang bekerja di sana hadir dan mengakrabkan diri satu sama lain.Ada banyak meja dilengkapi kursi-kursi memenuhi ruangan dengan penuh rangkaian bunga itu, semuanya nyaris telah terisi. Di salah satu meja, sang pemilik pesta mengambil duduk di sana bersama Arjuna dan juga istri."Direktur Utama Gama Enterprises. Wah, aku benar-benar seperti mimpi bisa duduk semeja dengan orang sepertimu, Tuan Damian." Arjuna berucap, menyisipkan sedikit kelakar. Sang istri tampak duduk manis di sisinya, menikmati jus di gelasnya.Sedangkan yang diajak bicara tampak mengerutkan dahi. "Tuan? Sebutan itu terasa begitu menggelikan. Jangan berlebihan, Jun." Berlanjut tawa pria berdarah Jerman itu mengudara. Kekehan re
"Eve! Di mana perempuan tak tahu diuntung itu?!" teriakan itu membahana, memecah sunyi di kediamannya. Dengan memasang wajah memerah penuh amarah, Arjuna berjalan cepat ke arah lantai dua, menuju kamar sang adik sepupu."Sayang, bersabarlah ...." Karenina berusaha mengimbangi langkah sang suami, meskipun membutuhkan tenaga ekstra, apalagi dirinya sedang berbadan dua. Ia meraih salah satu lengan kokoh itu, membuat si pria secara spontan menoleh ke arahnya. "Bagaimana aku bisa sabar, Nina?! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia sejalang itu!" berlanjut Arjuna menjambak rambutnya sendiri. Dibandingkan benci, kekecewaan lebih mendominasi raut wajahnya. "Hamil di luar nikah! Astaga, dia benar-benar sudah mencoreng nama baik keluarga!""Tenangkan dirimu dulu, Sayang. Lagipula apa yang Damian katakan belum tentu benar, bukan?" wanita yang sedang hamil muda itu memberikan elusan ringan di lengan atas suaminya, berusaha menenangkan."Maka dari itu aku harus menanyakannya secara langsung."
Ponselnya kembali menempel di telinga, sudah berkali-kali panggilan itu ia buat pada wanita yang selalu menguasai hati dan pikirannya, namun ia belum juga menemui kemajuan. Telepon darinya tidak pernah mendapatkan jawaban.Lelah karena kembali menemui kegagalan, Damian memilih untuk mengirimkan pesan sebagai gantinya. Ia begitu cemas. Ia baru sadar bahwa tindakannya kemarin bisa saja berakibat buruk pada Evelyn. Mengetahui noda yang sengaja ditutupi setelah sekian lama tentu saja membuahkan rasa kecewa di hati Arjuna Adhitama. Damian hanya takut jika pria itu akan menyakiti wanita yang ia cinta.Pria berdarah Jerman itu segera mengetikkan banyak kata pada kolom percakapan antara dirinya dan juga Evelyn, mengungkapkan perasaannya lewat rangkaian kalimat.[Eve, bagaimana keadaanmu?][Apa kau baik-baik saja? Juna tidak melukaimu, 'kan?][Aku sangat mencemaskanmu.][Kita harus bertemu, Eve. Banyak hal yang ingin kukatakan padamu.][Maaf jika apa yang sudah kulakukan justru membuatmu kesuli
Meja makan yang biasanya hanya ditempati oleh tiga kepala, pagi ini tampak begitu ramai dengan datangnya tiga anggota keluarga lainnya. Meski kecanggungan tak mampu ditampik, namun sesekali mereka menebar senyum ketika tanpa sengaja beradu tatap dengan si kecil Luna.Meskipun masih berumur lima tahun, gadis cilik itu sudah pandai menyuap makanannya sendiri. Ia tampak begitu khidmat menikmati makan pagi dengan lauk favoritnya; kari ayam. Seragam sekolah taman kanak-kanak sudah terlihat rapi membungkus tubuhnya, pun rambut sekelam malam itu terkuncir dua."Sarapan Luna sudah habis!" Luna berseru riang setelah satu suapan terakhir telah berhasil ia telan. Segelas air mineral ia tenggak guna membasahi kerongkongan."Wah, pintar sekali." Arini memberikan pujian dengan memberikan acungan jempol. "Luna berangkat sekolah bersama Pak Supir dulu, ya? Nanti Mama jemput," lanjut si wanita baya, ucapan yang sukses membuat si kecil Luna mengerutkan keningnya."Kenapa, Ma?" benak balita itu bertanya-
Pagi buta itu, tidur nyenyak Damian terganggu begitu suara dering telepon menggema. Mata birunya perlahan membuka. Meski kantuk belum hilang seluruhnya, tangannya menggapai ponsel di atas nakas pada sisi ranjang. Ada sebuah panggilan masuk, berasal dari nomor yang ia harapkan."Bagaimana perkembangannya?" pria itu mengangkat telepon, segera bertanya ke inti seraya menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, membiarkan tubuh atletis bagian atasnya terekspos tanpa penghalang.Sejenak terdengar dengkusan dari seberang telepon, sebelum suara berat itu menjawabnya. "Ternyata Anda sangat tidak sabaran, ya?""Aku tidak suka bertele-tele. Katakan saja, itu pun jika kau benar-benar mendapatkan informasi yang kuharapkan." Ada nada meremehkan di ujung kalimat si pria berdarah Jerman. "Tidak mungkin saya mendapatkan sebutan detektif profesional jika informasi seperti itu saja tidak mampu saya dapatkan." Sekali lagi, pria suruhannya mendengkus. "Anda tenang saja, informasi tentang Nona Luna Ark