Ponselnya kembali menempel di telinga, sudah berkali-kali panggilan itu ia buat pada wanita yang selalu menguasai hati dan pikirannya, namun ia belum juga menemui kemajuan. Telepon darinya tidak pernah mendapatkan jawaban.Lelah karena kembali menemui kegagalan, Damian memilih untuk mengirimkan pesan sebagai gantinya. Ia begitu cemas. Ia baru sadar bahwa tindakannya kemarin bisa saja berakibat buruk pada Evelyn. Mengetahui noda yang sengaja ditutupi setelah sekian lama tentu saja membuahkan rasa kecewa di hati Arjuna Adhitama. Damian hanya takut jika pria itu akan menyakiti wanita yang ia cinta.Pria berdarah Jerman itu segera mengetikkan banyak kata pada kolom percakapan antara dirinya dan juga Evelyn, mengungkapkan perasaannya lewat rangkaian kalimat.[Eve, bagaimana keadaanmu?][Apa kau baik-baik saja? Juna tidak melukaimu, 'kan?][Aku sangat mencemaskanmu.][Kita harus bertemu, Eve. Banyak hal yang ingin kukatakan padamu.][Maaf jika apa yang sudah kulakukan justru membuatmu kesuli
Meja makan yang biasanya hanya ditempati oleh tiga kepala, pagi ini tampak begitu ramai dengan datangnya tiga anggota keluarga lainnya. Meski kecanggungan tak mampu ditampik, namun sesekali mereka menebar senyum ketika tanpa sengaja beradu tatap dengan si kecil Luna.Meskipun masih berumur lima tahun, gadis cilik itu sudah pandai menyuap makanannya sendiri. Ia tampak begitu khidmat menikmati makan pagi dengan lauk favoritnya; kari ayam. Seragam sekolah taman kanak-kanak sudah terlihat rapi membungkus tubuhnya, pun rambut sekelam malam itu terkuncir dua."Sarapan Luna sudah habis!" Luna berseru riang setelah satu suapan terakhir telah berhasil ia telan. Segelas air mineral ia tenggak guna membasahi kerongkongan."Wah, pintar sekali." Arini memberikan pujian dengan memberikan acungan jempol. "Luna berangkat sekolah bersama Pak Supir dulu, ya? Nanti Mama jemput," lanjut si wanita baya, ucapan yang sukses membuat si kecil Luna mengerutkan keningnya."Kenapa, Ma?" benak balita itu bertanya-
Pagi buta itu, tidur nyenyak Damian terganggu begitu suara dering telepon menggema. Mata birunya perlahan membuka. Meski kantuk belum hilang seluruhnya, tangannya menggapai ponsel di atas nakas pada sisi ranjang. Ada sebuah panggilan masuk, berasal dari nomor yang ia harapkan."Bagaimana perkembangannya?" pria itu mengangkat telepon, segera bertanya ke inti seraya menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, membiarkan tubuh atletis bagian atasnya terekspos tanpa penghalang.Sejenak terdengar dengkusan dari seberang telepon, sebelum suara berat itu menjawabnya. "Ternyata Anda sangat tidak sabaran, ya?""Aku tidak suka bertele-tele. Katakan saja, itu pun jika kau benar-benar mendapatkan informasi yang kuharapkan." Ada nada meremehkan di ujung kalimat si pria berdarah Jerman. "Tidak mungkin saya mendapatkan sebutan detektif profesional jika informasi seperti itu saja tidak mampu saya dapatkan." Sekali lagi, pria suruhannya mendengkus. "Anda tenang saja, informasi tentang Nona Luna Ark
"Kenapa sekolah sepi sekali?" dari balik kaca mobil, Evelyn menatap area sekolah Taman Kanak-kanak itu dengan kening mengernyit. Benaknya bertanya-tanya, sekarang baru pukul sebelas lebih lima menit, tapi sekolah itu sudah begitu sunyi. Tanpa pikir panjang, tangannya bergerak melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil di sisinya. Ia harus memastikannya. "Tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan turun mencari Luna.""Iya, Nona." Sang sopir pribadi mengangguk patuh di balik kemudi, mengantarkan kedua kaki Evelyn menapak jalanan berpaving itu.Selanjutnya wanita itu melangkah menuju pos satpam, tempat biasanya Luna menunggu jemputan. Di sana hanya ada seorang satpam pria dengan seragam hitam, ia memutuskan untuk menghampiri dan bertanya."Maaf, Pak. Apakah Luna Arkania masih ada di dalam kelas?""Bukankah Adik Luna sudah pulang?" namun, satpam itu justru balik bertanya, menciptakan tanda tanya besar di benak Evelyn. Dan rasa cemas itu datang menyergap seketika."Pulang?" ulangnya.Sedangk
"Apakah aku datang terlalu lama? Maaf, ternyata jalanan cukup macet, tidak seperti perkiraanku." Damian bertanya sesaat setelah membuka jendela mobil yang ia kendarai. Ia baru saja menepikannya di depan halte bus kosong di sisi pintu gerbang sekolahan Luna. Sosok Evelyn ada di sana, berdiri dengan perasaan campur aduk. Wanita itu jelas merasa marah dan kesal, namun ada setitik rindu dalam sorot mata indah itu saat kembali beradu tatap dengan si pria pemilik mata biru setelah sekian lama."Di mana Luna?!" tak ingin berbasa-basi, Evelyn segera menanyakan keberadaan si buah hati.Tetapi, bukannya menjawab, Damian justru membukakan pintu penumpang bagian depan untuk si wanita. "Masuklah, Luna ada di kursi belakang." Lalu melirik sosok Luna yang tampak duduk nyaman pada carseat-nya."Hai, Kak." Tepat setelah melihat Evelyn, Luna segera melambaikan tangan mungilnya dengan wajah ceria."Aku akan duduk di belakang, bersama Luna." Menolak keinginan si pria yang memintanya duduk di depan, Evel
Seperti kebanyakan balita pada umumnya, Luna kerap kali tertidur ketika berada dalam perjalanan dengan menaiki kendaraan. Seperti saat ini, balita itu memejamkan mata dengan nyaman pada carseat di kursi belakang ketika Evelyn menoleh ke arahnya. Gadis kecil itu jelas kelelahan karena beberapa saat yang lalu begitu asyik bermain.Sejujurnya Evelyn cukup takjub saat tahu bahwa Damian mempersiapkan segalanya dengan begitu matang untuk hari ini. Lihat, bahkan pria itu menyiapkan carseat untuk gadis kecilnya!'Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan?' benak bertanya-tanya. "Sepi sekali, ya? Mau mendengarkan musik?" Ucapan tiba-tiba dari pria di sisinya meruntuhkan lamunan Evelyn. Wanita itu menatap sisi wajah rupawan itu, tidak tahan lagi untuk menyuarakan isi pikirannya. Ia lelah terus menerka-nerka. Mumpung Luna masih jatuh ke dalam alam mimpi, ini adalah waktu yang tepat."Langsung saja, Damian. Sebenarnya apa tujuanmu menjemput Luna tanpa izin begitu?" tanyanya. "Bukankah aku susa
Kepulangannya ke Jakarta hanya membawa tangan hampa. Damian merasa bahwa hidupnya makin tak tenang. Fakta yang ia terima bahwa dirinya adalah seorang ayah selalu menyita pikiran. Nyatanya firasat itu begitu kuat, hingga terbukti bahwa Luna benar-benar anak kandungnya.Evelyn tentu tidak akan lagi meminta pertanggungjawaban darinya. Setelah menghabiskan malam dengan termenung di kamar hotel yang ia sewa, ia menjadi paham bahwa apa yang wanita itu lakukan saat itu adalah hal yang paling benar. Namun, jujur saja ia ingin mengubah takdir. Biar bagaimanapun Luna adalah putrinya, darah dagingnya. Tidak salah jika ia ingin hidup bersama gadis kecil itu, bukan?Langkahnya terayun pelan memasuki pintu besar bangunan kantor tempat dirinya bekerja, tujuannya adalah lift yang berada di ujung sana. Ia memang sampai di Jakarta sejak semalam dan memilih menginap di hotel ketimbang harus pulang. Dan pagi ini ia langsung datang ke kantor."Selamat pagi, Pak." Salah satu karyawan perempuan yang satu li
Handuk diletakkan secara asal, dia mengempaskan dirinya duduk di atas ranjang. Damian memang baru saja selesai membersihkan diri, meskipun jarum jam dinding sudah hampir menyentuh pukul tujuh malam. Semua tugas baru yang ia kerjakan seharian ini cukup membuatnya diserang sakit kepala sebelah.Tangannya terulur membuka laci nakas di sisi ranjang. Dari sana, Damian mengeluarkan sesuatu yang terbungkus plastik bening transparan. Itu adalah beberapa helai rambut legam milik Luna, ia sengaja mengumpulkannya ketika menyisir rambut si balita ketika di Surabaya. Ya, ia memang memiliki sebuah tujuan melakukannya.Tangannya yang bebas bergerak meraih ponsel di atas nakas, dengan lincah jari-jemari besar itu mengetikkan sebuah nama di kolom pencarian kontak ponselnya sebelum meletakkan alat komunikasi itu di depan telinga."Halo, kapan kau ada waktu?" ia berbicara pada seseorang yang ia hubungi segera setelah panggilannya diangkat."Saya selalu ada waktu jika itu untuk Anda, Tuan Damian." Suara