Deru halus napas itu seakan membelai pipi. Damian memejamkan mata, mencoba meresapi setiap sentuhan lembut bibir tipis yang bersentuhan langsung dengan bibirnya. Tangannya mendarat di pinggang ramping si wanita, sedikit memberikan tekanan ketika menelaah perasaannya.Dan saat tangan-tangan berjari lentik itu terasa meremas kemeja di bagian dada, Damian membuka mata demi menatap wajah jelita yang begitu dekat dengan wajahnya.'Eve?'Pria itu mengernyit lalu menggelengkan kepala. Ia jelas-jelas mengingat bahwa yang sedang ia cium adalah Kiara, lalu kenapa justru wajah Evelyn-lah yang tampak di kedua matanya?"Ada apa?" tangan wanita itu membelai kedua sisi rahangnya, menyentuh lembut rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sana.Dan sentuhan lembut itu menyadarkan si pria. Wajah jelita itu berubah menjadi wajah Kiara, calon istrinya. Meski sukar, Damian memaksakan tersenyum dan menunjukkan sikap seakan dirinya baik-baik saja. "Tidak apa-apa, Babe. Biarkan aku menciummu lagi." Sekon se
"Bagaimana hari ini? Apakah semua berjalan lancar?" pertanyaan itu teralun di sela ia mengemudikan kendaraannya membelah jalanan kota di sore itu.Yang diajak berbicara menganggukkan kepala, sejenak menoleh ke arah si pria untuk menjawab tanya. "Hampir tak ada kendala apa pun di pekerjaan."Senyum simpul itu terukir menghiasi wajah Aksa Wijaya. Ia tak kehilangan fokusnya berkendara. "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Kuharap kau memiliki banyak waktu luang sore ini, Sayang.""Sebenarnya aku ingin ke toko buku sebentar," aku Evelyn."Baiklah, aku akan mengantarmu kalau begitu." Sekilas lirikan mata Aksa berikan sebelum kembali terfokus menatap ke depan."Ah, kalau begitu kau lurus saja, lalu belok ke kanan. Toko buku langgananku tidak begitu jauh dari sini." Evelyn memberikan arahan, sebab kebetulan toko buku yang ingin ia kunjungi memang searah jalan pulang. Sekali belokan, maka mereka akan sampai. Lalu ia menunjuk tempat tujuan. "Nah, itu dia!"Aksa menajamkan mata, menatap plang y
Bangun paginya kali ini diiringi rasa berdenyut di kepala. Evelyn memijat keningnya lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia benar-benar tak cukup tidur semalaman, sebab ia sedang banyak pikiran. Lamaran Aksa yang tiba-tiba adalah alasan di baliknya. Sungguh, ia masih belum bisa menjawabnya. Meskipun telah menimbang-nimbang keputusan sejak tadi malam, Evelyn masih belum mampu menentukan pilihan. Bahkan sejenak ia terpikir untuk mengatakan kejujuran perihal masa lalunya.Setelah ia menerima pesan dari Damian semalam, ia memutuskan untuk menunda menelepon orang tuanya. Mengingat Damian, secara otimatis membuat ia mengingat Luna, pun kejadian yang membuat balita cantik itu bisa terlahir ke dunia. Biar bagaimana pun, sebenarnya ia adalah seorang ibu, pergaulannya terlalu bebas di masa lalu. Sedangkan Aksa adalah pria yang baik. Ia merasa tak pantas."Kepalaku berat sekali." Ia melenguh, kian kuat memberikan pijatan di dahi. "Apakah aku masih memiliki stok obat sakit kepala?" ia menar
Tangan kanannya tampak sesekali menyuap makan paginya dengan tenang, meskipun sebenarnya dalam hati ia sedang merasa gelisah. Tangan kirinya yang bebas berkali-kali meremat ponsel dalam genggaman. Mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan bagi Evelyn.Selanjutnya ia meraih gelas berisi air mineral untuk membasahi tenggorokannya, dan di detik itulah tekadnya membulat. Ia membuka ponselnya, mengetikkan kalimat dalam kolom percakapan antara dirinya dengan Aksa Wijaya. [Temui aku di Food'o Clock nanti sore, seperti biasanya. Aku ingin mengatakan sebuah kejujuran.]"Kau akan berangkat ke restoran setelah ini?"Evelyn mengangkat wajah, menatap pada seseorang yang mengajaknya berbicara. "Iya, Kak. Kenapa?""Kita berangkat bersama, ya? Kebetulan aku sedang ada urusan di sana." Arjuna berucap setelah mengelap mulutnya dengan tisu. Ia sudah menghabiskan sarapannya, piring yang semula ia gunakan telah kosong tak bersisa."Baiklah.""Kau sudah selesai, bukan? Kita berangkat seka
Menunggu kedatangan Aksa tidak pernah semenegangkan ini sebelumnya. Evelyn tak henti meremas tangannya sendiri di atas meja, mengekspresikan betapa ia sedang cemas dan gugup.Setelah berpikir panjang, ia telah memantapkan diri untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia sembunyikan pada pria yang berstatus sebagai kekasihnya itu. Ia tidak ingin ada dusta, dan pria itu berhak tahu tentang dirinya yang sesungguhnya sebelum meluruskan niat untuk mempersunting dirinya."Akhirnya kau datang, Aksa." Evelyn sedikit tersentak saat melihat pria yang ia tunggu baru saja memasuki pintu restoran. Aksa selalu saja tampak ceria, seperti biasanya. Sembari menebar senyum, pria itu semakin memutus ruang dengannya. Bahkan sejenak Evelyn merasa takut jika apa yang akan ia ungkap akan melenyapkan senyuman tampan itu."Apakah aku datang terlambat?" si pria mengambil duduk pada kursi di seberang Evelyn. Ia menyempatkan diri untuk mengacak pelan rambut hitam nan panjang yang tergerai itu."Tidak juga. Duduk
Kiara Laurencia melangkah pasti nan penuh percaya diri menuju pintu besar di ujung lorong sana, meskipun raut ayunya terbaca sendu. Tujuannya adalah ruangan milik Damian Alexander, seseorang yang akan menjadi penerus satu-satunya kantor agensi periklanan yang saat ini ia pijak.Sebenarnya wanita itu tengah menyusun kembali hatinya yang telah hancur menjadi keping-keping. Setelah melihat sang calon suami menjemput Evelyn kemarin, suasana hatinya berubah kacau. Ia merasa cemburu sekaligus curiga, sebab pria itu tampak lebih mementingkan sang sahabat ketimbang dirinya. Calon suaminya itu lebih memilih menemui Evelyn daripada menemui dirinya.Apalagi dengan penolakan Damian terhadapnya malam itu."Lupakan hal itu, Kiara!" embus berat napas Kiara terlepas seiring langkahnya terhenti. Selanjutnya ia menggeleng kencang, mencoba melupakan hal yang sukses membuat ia merasa harga dirinya jatuh ke titik paling rendah. Meskipun Damian berkata bahwa Evelyn adalah sahabatnya, namun tak menutup fa
Bunyi bel yang berdenting menyentak atensi Evelyn yang sedang mencuci piring di area dapur. Ia buru-buru membilas busa sabun yang barangkali masih menempel di tangannya, berikut mengelap tangannya yang basah menggunakan lap yang tergantung di sisi kanan. Tidak ingin membuat seseorang di balik pintu di depan sana lama menunggu, ia segera bergegas menuju pintu depan. Ia memang sedang sendirian di rumah.Dan ketika pintu sudah berhasil ia buka, sosok tak asing lah yang tertangkap pandangan mata."Aksa?" Evelyn seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.Berbeda dari raut Evelyn, Aksa justru mengukir senyuman. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "Hai, selamat malam, Sayang.""... malam.""Kau tidak mempersilakan aku untuk masuk? Ah, atau mungkin kau lebih suka di luar saja? Kita ... duduk di taman?" Aksa menunjuk taman bunga milik Karenina dengan gestur tubuhnya. Karena tidak mendapatkan respons, atensi pria itu kembali jatuh pada wajah jelita Evelyn. "Tadi aku menjempu
"Makan yang banyak, Aksa. Mama perhatikan akhir-akhir ini makanmu cuma sedikit." Lian Wijaya kembali menyendokkan nasi ke atas piring sang putra yang isinya hampir habis, berharap Aksa makan dengan porsi lebih banyak malam ini. "Tambah lagi, ya? Mama sengaja memasak makanan kesukaanmu.""Cukup, Ma. Ini terlalu banyak." Aksa berbicara dengan nada halus, takut membuat ibunya kecewa. Ia memang sedang tidak berselera, banyak pikiran adalah penyebabnya. Dan ucapan pria itu berhasil menghentikan gerakan tangan sang ibunda yang sedang menyendokkan semur daging ke atas nasi yang masih hangat. Senyum wanita baya itu sirna, berganti hela napas berat. "Sejujurnya Mama sedikit kepikiran. Apakah ada masalah di pekerjaan?""Tidak ada." Aksa tersenyum, agar kekhawatirannya di raut wajah itu menghilang. "Mama jangan terlalu khawatir begitu. Aku baik-baik saja. Aku akan menghabiskannya." Berlanjut ia menyendokkan makan malamnya ke dalam mulut, memaksa menikmati makanan yang entah kenapa terasa pahit