"Pekerjaanmu lancar hari ini, Bintang?" Damian membuka tanya dengan salah satu tangan terselip di saku celana. Ia dan Bintang tanpa sengaja bertemu di lobi, berujung mereka berjalan bersama menuju tempat parkir kendaraan. "Lancar, seperti biasanya. Aku tidak ingin dicacimaki oleh ayahmu lagi." Kalimat terakhir Bintang tidak benar-benar berisi candaan kendati pria itu tertawa saat mengatakannya. Beberapa kali pria itu memang sempat mendapatkan amukan dari Benedict selaku pemilik sekaligus pendiri perusahaan agensi tempatnya bekerja saat ini. Pria baya itu sangat perfeksionis, maka saat hasil kerja dari karyawannya kurang sesuai seperti apa yang diharapkan, tentu bentakan dan cacian yang akan diterima. Meskipun begitu, para karyawan tetap mendapatkan upah seperti apa yang telah disepakati di awal. Benedict tidak pernah memotong gaji karyawan sesukanya, hal itulah yang membuat Bintang tetap betah bekerja di sana.Sedangkan Damian hanya mendecih ringan. "Dia memang pria tua yang kejam."
"Mohon perhatian. Panggilan terakhir untuk para penumpang Garuda Jaya Airlines dengan nomor penerbangan 943 tujuan Surabaya, dipersilakan untuk segera naik pesawat udara melalui pintu A-3. Pemeriksaan terakhir akan selesai dan pintu pesawat akan ditutup dalam waktu sekitar lima menit. Terima kasih."Suara nyaring yang terdengar sampai ke seantero Bandara itu membuat obrolan mereka terhenti. Meski waktu belum genap menunjukkan pukul 6 pagi, tapi mereka berlima telah menginjakkan kaki di Bandara, sebab mereka memang memilih penerbangan pagi.Ya, Arjuna dan Karenina berikut Luna akan kembali terbang ke Surabaya. Selain untuk mengantarkan si gadis kecil pulang ke rumahnya, pasangan suami-istri itu memiliki tujuan lain; mereka ingin memeriksa sejauh mana proses pembangunan cabang restoran Food'o Clock yang letaknya masih satu kota dengan keluarga Evelyn."Sepertinya kita harus segera berpisah. Luna, turun dari pangkuan Kak Aksa dulu, ya?" adalah Arjuna, seseorang yang kembali membuka suara
Rambut pirang itu tampak lembab, Damian menyugarnya ke belakang dengan terus melangkah memasuki rumahnya yang besar. Ia seakan sengaja membuat baju yang melekat di tubuhnya basah, ia turun dari mobil menuju ke teras rumah tanpa berpayungan. Beberapa hari terakhir ini memang sering turun hujan.Entah bagaimana, perasaan pria itu masih saja berkutat pada Evelyn dan Aksa yang tampak begitu romantis di matanya kemarin, bahkan hingga membuat konsentrasi pria itu sedikit terganggu seharian ini.Kenapa mereka menjadi begitu dekat dengan waktu yang relatif singkat? Dan kepala pula Evelyn sudah tidak seterbuka dulu padanya? Sebagai sahabat, ia merasa kehilangan perempuan itu."Damian, akhirnya kau datang, Nak. Kami sudah menunggumu." Ketika kedua kaki itu telah memasuki kediamannya semakin dalam, suara sang ibu dari ruang makan sukses merebut atensi, pun membuyarkan lamunannya. Di detik ketika ia menoleh ke sumber suara, kernyit halus muncul di dahinya kala menatap satu entitas perempuan bera
"Kau sudah sarapan, Nak?"Kepala bersurai pirang itu menoleh pada sang penanya. Sosok sang ibu terlihat mendudukkan diri pada kursi lain bersekatkan meja kopi kayu berbentuk persegi."Sudah. Mama bisa melihatnya sendiri, bukan? Piringku sudah kosong." Damian melirik sejenak pada alat makan di atas meja, lalu kembali menekuni monitor laptop di atas pangkuan.Pria itu memang sedang cukup sibuk pagi ini. Ia tampak sedang membalas beberapa email yang masuk dari perusahaan yang menghubunginya untuk rencana proyek kerjasama, sebab menjalin komunikasi dengan klien adalah tugasnya. Dan taman di sisi rumah merupakan tempat pilihannya."Mama senang jika kau menghabiskan sarapanmu." Sasmitha tersenyum hangat. Meskipun sampai detik ini putranya masih begitu sukar diajak makan bersama, setidaknya ia tahu bahwa Damian menikmati masakannya. "Ah, apakah kau libur hari ini?" tanyanya kemudian."Tidak. Memangnya jam berapa sekarang?"Sasmitha menelengkan kepalanya ke sisi kanan untuk menatap jam dindin
"Jadi, berapakah total yang harus kubayar untuk meja nomor 6?" seorang pria baya berdiri di depan kasir, berbicara seraya merogoh kantung celana demi mengambil dompetnya.Namun, yang diajak bicara hanya diam membisu. Wajahnya memang menghadap ke layar monitor di depannya, tetapi tatapan mata indah itu tampak tak fokus. Pikiran Evelyn seakan tidak ada di tempat itu."Hey, Nona!" karena merasa kesal, si pria baya meninggikan intonasi suaranya. Wajah yang semula tampak ramah, kini tertekuk kesal."Ah, y-ya. Maafkan saya." Dan bentakan itu nyatanya berhasil menyadarkan Evelyn dari pikirannya yang bercabang. Wanita itu tersentak kemudian menunduk, meminta maaf. "Pembayaran untuk meja nomor berapa, Tuan?""Nomor 6."Evelyn menggerakkan kursornya, meng-klik rincian pesanan kemudian menjumlahkan total harga. "Totalnya 350 ribu."Raut muka pria baya itu tak berubah, masih tetap terlihat kesal. Meskipun begitu, dia akhirnya membuka dompetnya juga, membayarnya dengan nilai yang pas."Terima kasi
'Mungkin ini akan sedikit mengejutkanmu, tapi ... pernikahanku akan dilaksanakan dua bulan lebih cepat.'Kata-kata yang Damian ucapkan sore itu kembali terngiang di kepala Evelyn, entah untuk yang ke berapa kalinya selama berhari-hari belakangan. Wanita itu memilih untuk menatap ke sisi kaca mobil, memandangi entah apa yang berhasil memasuki retina matanya. Bohong jika ia berkata bahwa dirinya turut merasa senang saat si pria pirang sebentar lagi akan melepas masa lajang. Luka di hatinya kembali tercipta, melengkapi luka-luka lainnya yang lebih dahulu bersarang di sana."Jadi, bagaimana, Eve?" Aksa kembali membuka tanya, sedikit melirik melalui sudut mata. Pasalnya ia sedari tadi sudah panjang lebar berbicara, namun nihil tanggapan dari si wanita.Dan kernyit di dahi pria berwajah oriental itu tercipta saat ia mendapati Evelyn hanya duduk diam menatap jalanan, nyaris tanpa respons. Oleh karena itu ia sedikit menyentuh bahu wanita itu demi mencari atensi."Eve?""Eh? Ya?" dan di detik
Waktu berjalan terlalu cepat tanpa disadari. Kini mentari telah berada di ufuk barat, tanpa terasa senja telah menyapa. Meski terik sang surya masih begitu menyengat di luar sana, namun di dalam ruangan studio dengan penuh sorot lampu itu tidak terasa demikian. Alat pendingin ruangan menyala guna mencegah keringat yang bisa saja mengganggu proses pekerjaan mereka. Pun sebuah kipas berputar untuk menghasilkan efek rambut yang berkibar."Satu, dua, tiga!" hitungan itu berakhir ketika lensa kamera di tangan seorang fotografer membidik gambar Kiara. "Ok, bagus."Si model nan cantik jelita tampak mengubah posenya dengan memegang sebuah botol produk perawatan rambut di tangan kanan, tersenyum lepas ke arah kamera dengan rambut berkibar. "Sekali lagi, ya. Satu, dua, tiga!"Dan lagi-lagi kamera itu berhasil mengabadikannya."Yap! Kurasa sudah cukup." Si fotografer kedapatan tersenyum ke arah Sang model sebelum memeriksa hasil jepretan kameranya. Dan senyum puas terkembang di sana. "Kerja bag
"Aku benar-benar seperti bermimpi bisa bertemu The Dreams secara langsung begini. Henry, dia benar-benar mengagumkan! Selama ini kukira ia hanya melakukan lipsync saat konser, ternyata suaranya sungguh luar biasa enak didengar." Mata berbinar, pujian penuh kekaguman itu mengalir dari mulut Evelyn ketika ia berjalan bersisian dengan Aksa. Sinar rembulan menjadi saksi saat keduanya menelusuri jalanan paving sebuah taman yang terletak tak jauh dari Alun-alun kota."Apakah kau senang?" kepala berhelaian kelam nan lurus itu menoleh, menatap sisi wajah Evelyn. Melihat bagaimana perempuan itu sesekali menikmati es krim pemberiannya. "Tentu saja. Baru kali ini aku datang ke Festival musik setelah sekian lama. Terakhir kali aku mendatangi festival seperti ini, saat itu aku masih duduk di bangku SMA," kenang Evelyn, lengkap dengan senyum simpul."Biar kutebak. Kau datang bersama Damian?"Senyuman itu berubah kaku selama beberapa saat. Mendengar nama pria itu disebut entah bagaimana sedikit mem