Frustrasi menghiasi raut wajahnya saat menatap layar ponsel, berikut keningnya yang mengernyit lengkap dengan tatapan tajam, seakan ponsel tak bersalah dalam genggamannya itu merupakan musuh yang sangat menyebalkan."Kenapa Eve tidak pernah lagi mau menjawab panggilanku? Apakah dia sebegitu sibuknya?"Tentu tidak akan ada jawaban yang ia terima, sebab ia memang sedang sendirian di dalam ruangannya. Ia dibuat cukup kesal kali ini. Evelyn, wanita itu sama sekali tidak mengangkat panggilan teleponnya, meskipun nomornya sedang aktif. Akibatnya, pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam kepala tampannya. Alasan apa yang membuat wanita itu enggan menerima telepon darinya."Ataukah ... dia terlalu sibuk dengan Aksa?" dan kemungkinan itulah yang pertama kali muncul.Damian tentu masih mengingat dengan begitu jelas saat pria berkulit putih itu mencium mesra sang sahabat di hadapannya sore itu. Peristiwa yang seakan seperti kaset rusak. Terus menerus berputar ketika ia memejamkan mata, bahkan mas
Sepasang kakinya terayun menuju ke arah dapur saat melihat presensi Karenina sedang memunggunginya di depan kompor. Wanita yang baru beberapa bulan lalu menikah itu tampak sedang memasak sesuatu. Dan sebagai adik yang baik, Evelyn ingin membantunya."Kak Nina?" memanggil lirih diiringi menyentuh ringan salah satu bahu istri dari kakak sepupunya, ia tidak menyangka bahwa reaksi Karenina akan seterkejut itu. "Ah, Eve ... kau membuatku terkejut." Wanita itu menoleh padanya sembari menyusap-usap dada, sedangkan Evelyn hanya meringis memamerkan barisan rapi giginya. Namun, di detik selanjutnya Karenina memberinya senyum. "Kau sudah pulang? Tumben sekali. Jam berapa sekarang?""Aku sampai di rumah sejak pukul 5 lebih seperempat, Kak. Aku memang langsung pulang setelah jam kerjaku selesai." Evelyn menjawab apa adanya. Ia mengambil posisi untuk berdiri di sisi Karenina demi melihat apa yang dikerjakan istri dari kakak sepupunya itu."Kau pulang sendirian? Tidak bersama Aksa, seperti biasanya
'Aku tidak main-main dalam menjalani hubungan dengannya. Aku pun ingin segera menyusulmu untuk menikah andai dia bersedia. Doakan aku juga, ya.'"Tidak, tidak, tidak! Sungguh, aku benar-benar tidak rela!" kepala Damian menggeleng secara spontan saat ucapan Aksa di hari lalu kembali berputar di kepalanya. Ucapan lirih itu tanpa sadar terucap kala ia melepaskan secara kasar pisau dan garpunya ke atas piring keramik yang masih penuh dengan hidangan makan malam. Suara dentingan itu menyadarkannya bahwa ia sudah kelepasan, bahkan tatapan Bintang tampak menajam dengan kening mengerut dalam saat menatapnya. Semakin dipikirkan, Damian semakin merasa ada sesuatu yang salah dengan hatinya. Mengapa ia merasa tidak rela ketika tahu bahwa Aksa berniat mempersunting Evelyn?"Apanya yang tidak rela, Dam?" Bintang akhirnya mengeluarkan isi pikirannya. Ia tampak menjeda suapan sushi ke dalam mulutnya demi bertanya."Bukan. Bukan apa-apa." Damian tersenyum kaku, kembali meraih pisaunya untuk mengiris
"Jam berapa sekarang?" kedua mata indah itu menatap arloji yang berada di pergelangan tangan kiri. Ada cemas yang tak mampu ditutupi pada raut cantik itu saat menuruni undakan tangga menuju lantai satu dengan tergesa.Jarum pendek pada mesin penunjuk waktu miliknya masih berada di antara angka lima dan enam, sedangkan jarum panjang berada di angka enam. Meski masih sangat pagi, namun Evelyn sudah tampak begitu rapi, lengkap dengan koper warna silver yang ia tarik di tangan kanan."Aku harus cepat!" dan langkah itu semakin dipercepat. Saking heningnya, membuat tiap langkahnya menggema. "Eve?" panggilan dari suara maskulin itu sukses memaku langkah si wanita.Kepala dengan rambut panjang kelam yang kini terkuncir tinggi itu menoleh ke asal suara, ia menemukan presensi Arjuna dan sang istri yang berjalan bersisian. "Kenapa kau membawa koper begitu pagi-pagi begini? Kau mau ke mana, Eve?" kernyitan menghiasi dahi mulus Karenina kala melihat Evelyn beserta barang bawaannya. Sedangkan Eve
"Jadi, dia bernama Aksa Wijaya. Teman dekatku, Ma, Pa. Luna juga sudah pernah bertemu dengannya. Dia pria yang Kak Juna kenalkan padaku." Evelyn memperkenalkan pria berkulit putih nan tinggi yang berdiri di sisinya.Aksa memang baru sampai sore ini. Setelah mengantarkan Evelyn ke Bandara tadi pagi, ia segera memesan tiket pesawat untuk penerbangan hari ini juga. Dan baru beberapa menit lalu si pria sampai di rumah sakit yang saat ini mereka pijak."Selamat sore, Bi, Paman." Sebagai wujud sopan santun, Aksa memberi sapaan ramah kepada ayah dan ibu dari sang kekasih. Mereka memang baru kali ini bertemu."Sore. Bagaimana perjalanmu?" adalah Burhan Adhitama yang pertama kali memberikan tanggapan."Lancar, Paman. Eve sudah membagikan lokasinya lebih dahulu, maka dari itu saya cukup mudah untuk sampai di sini.""Ah, Bibi ingat sekarang!" Arini Adhitama berucap setelah sedari tadi hanya diam sembari menggali ingatan. Pantas saja nama itu amat tidak asing di telinganya. "Juna sudah beberapa k
Kegelapan itu perlahan diisi oleh cahaya yang berpendar remang-remang. Kelopak matanya bergetar sebelum mampu membuka seluruhnya, untuk menyesuaikan penglihatan. Dan ... Damian merasa berada di tempat yang tidak asing.Ruangan itu minim penerangan. Setiap sisinya hanya ada tembok putih nan kusam sejauh mata biru itu memandang. Tak ada lampu, tak ada benda apa pun di sana. Hanya dingin, sunyi dan hampa. "Papa ...."Damian berjengit, spontan menoleh ke belakang. Suara itu, Damian tidak pernah melupakannya. Suara yang sangat familier di telinganya. Suara anak perempuan yang memanggil dirinya 'Papa' di dalam alam bawah sadar."Siapa di sana?!" suara pria itu menggema, kepala pirangnya mencari-cari entitas yang mungkin saja mampu tertangkap pandangan mata."Papa ...."Suara itu kembali terdengar. Damian mencoba mengikuti sumbernya, hingga akhirnya pandangannya menemukan satu sosok itu. Seorang gadis kecil berambut panjang dan bergaun putih yang menundukkan wajahnya di ujung ruangan—yang
"Aku tidak menyangka bahwa Luna begitu dekat dengan Damian."Evelyn sejenak menghentikan gerakannya setelah menyelimuti Luna. Kepala berambut panjang yang kini digelung asal itu menoleh ke arah si pria. "Aku pun tidak menduganya, Aksa.""Sudah berapa kali mereka bertemu?" di kursi yang ia duduki, Aksa kembali bertanya. Ponsel yang beberapa waktu lalu ia mainkan, kini ia simpan di saku celana."Baru sekali, saat kau bertugas ke Kalimantan waktu itu." Evelyn menjawab apa adanya. Merasa Luna sudah cukup lelap, wanita itu memutus jarak pada si pria bermata sipit lalu mendudukkan diri pada kursi di sisinya."Sulit dipercaya, ya? Mereka terlihat seperti sudah sering berjumpa. Luna terlihat sangat bahagia saat melihat wajah Damian tadi. Apakah hal seperti itu bisa terjadi hanya karena kakaknya bersahabat dengan dia?"Tubuh Evelyn terkaku selama beberapa saat. Ia pun tidak bisa menampik jika dirinya mampu melihat binar ceria di wajah Luna saat melakukan panggilan video bersama Damian. Jujur s
Hari masih pagi, namun pria itu sudah tampak termenung di depan layar monitor laptop di dalam kamarnya. Layar datar itu menyala, binarnya menyinari wajah tampan dengan tatapan kosong. Email yang baru saja masuk sudah terbuka, namun pikirannya tidak tertuju ke situ.Ia justru kembali teringat ucapan Kiara.'Dibandingkan kakak beradik, dia justru lebih terlihat seperti ibu dan anak.'Kalimat itu kembali berputar di kepalanya, membuat kernyit di dahi pria itu semakin dalam. "Entah kenapa aku memiliki sebuah firasat." Damian berucap dengan menyatukan tangan di bawah dagu, memikirkan segala sesuatu yang barangkali sudah terjadi tanpa ia ketahui dalam pikiran. "Jika memang sebenarnya Eve adalah ibu dari Luna, maka hanya ada satu kemungkinan siapa ayah dari anak itu," lanjutnya.Ingatannya mundur ke belakang, pada kedekatan dirinya dengan Evelyn yang di luar ambang batas. Ada getaran aneh saat bayangan kegiatan intim mereka muncul dalam kepalanya. Namun, sedetik kemudian ia menggeleng."Tap