"Kau sudah sarapan, Nak?"Kepala bersurai pirang itu menoleh pada sang penanya. Sosok sang ibu terlihat mendudukkan diri pada kursi lain bersekatkan meja kopi kayu berbentuk persegi."Sudah. Mama bisa melihatnya sendiri, bukan? Piringku sudah kosong." Damian melirik sejenak pada alat makan di atas meja, lalu kembali menekuni monitor laptop di atas pangkuan.Pria itu memang sedang cukup sibuk pagi ini. Ia tampak sedang membalas beberapa email yang masuk dari perusahaan yang menghubunginya untuk rencana proyek kerjasama, sebab menjalin komunikasi dengan klien adalah tugasnya. Dan taman di sisi rumah merupakan tempat pilihannya."Mama senang jika kau menghabiskan sarapanmu." Sasmitha tersenyum hangat. Meskipun sampai detik ini putranya masih begitu sukar diajak makan bersama, setidaknya ia tahu bahwa Damian menikmati masakannya. "Ah, apakah kau libur hari ini?" tanyanya kemudian."Tidak. Memangnya jam berapa sekarang?"Sasmitha menelengkan kepalanya ke sisi kanan untuk menatap jam dindin
"Jadi, berapakah total yang harus kubayar untuk meja nomor 6?" seorang pria baya berdiri di depan kasir, berbicara seraya merogoh kantung celana demi mengambil dompetnya.Namun, yang diajak bicara hanya diam membisu. Wajahnya memang menghadap ke layar monitor di depannya, tetapi tatapan mata indah itu tampak tak fokus. Pikiran Evelyn seakan tidak ada di tempat itu."Hey, Nona!" karena merasa kesal, si pria baya meninggikan intonasi suaranya. Wajah yang semula tampak ramah, kini tertekuk kesal."Ah, y-ya. Maafkan saya." Dan bentakan itu nyatanya berhasil menyadarkan Evelyn dari pikirannya yang bercabang. Wanita itu tersentak kemudian menunduk, meminta maaf. "Pembayaran untuk meja nomor berapa, Tuan?""Nomor 6."Evelyn menggerakkan kursornya, meng-klik rincian pesanan kemudian menjumlahkan total harga. "Totalnya 350 ribu."Raut muka pria baya itu tak berubah, masih tetap terlihat kesal. Meskipun begitu, dia akhirnya membuka dompetnya juga, membayarnya dengan nilai yang pas."Terima kasi
'Mungkin ini akan sedikit mengejutkanmu, tapi ... pernikahanku akan dilaksanakan dua bulan lebih cepat.'Kata-kata yang Damian ucapkan sore itu kembali terngiang di kepala Evelyn, entah untuk yang ke berapa kalinya selama berhari-hari belakangan. Wanita itu memilih untuk menatap ke sisi kaca mobil, memandangi entah apa yang berhasil memasuki retina matanya. Bohong jika ia berkata bahwa dirinya turut merasa senang saat si pria pirang sebentar lagi akan melepas masa lajang. Luka di hatinya kembali tercipta, melengkapi luka-luka lainnya yang lebih dahulu bersarang di sana."Jadi, bagaimana, Eve?" Aksa kembali membuka tanya, sedikit melirik melalui sudut mata. Pasalnya ia sedari tadi sudah panjang lebar berbicara, namun nihil tanggapan dari si wanita.Dan kernyit di dahi pria berwajah oriental itu tercipta saat ia mendapati Evelyn hanya duduk diam menatap jalanan, nyaris tanpa respons. Oleh karena itu ia sedikit menyentuh bahu wanita itu demi mencari atensi."Eve?""Eh? Ya?" dan di detik
Waktu berjalan terlalu cepat tanpa disadari. Kini mentari telah berada di ufuk barat, tanpa terasa senja telah menyapa. Meski terik sang surya masih begitu menyengat di luar sana, namun di dalam ruangan studio dengan penuh sorot lampu itu tidak terasa demikian. Alat pendingin ruangan menyala guna mencegah keringat yang bisa saja mengganggu proses pekerjaan mereka. Pun sebuah kipas berputar untuk menghasilkan efek rambut yang berkibar."Satu, dua, tiga!" hitungan itu berakhir ketika lensa kamera di tangan seorang fotografer membidik gambar Kiara. "Ok, bagus."Si model nan cantik jelita tampak mengubah posenya dengan memegang sebuah botol produk perawatan rambut di tangan kanan, tersenyum lepas ke arah kamera dengan rambut berkibar. "Sekali lagi, ya. Satu, dua, tiga!"Dan lagi-lagi kamera itu berhasil mengabadikannya."Yap! Kurasa sudah cukup." Si fotografer kedapatan tersenyum ke arah Sang model sebelum memeriksa hasil jepretan kameranya. Dan senyum puas terkembang di sana. "Kerja bag
"Aku benar-benar seperti bermimpi bisa bertemu The Dreams secara langsung begini. Henry, dia benar-benar mengagumkan! Selama ini kukira ia hanya melakukan lipsync saat konser, ternyata suaranya sungguh luar biasa enak didengar." Mata berbinar, pujian penuh kekaguman itu mengalir dari mulut Evelyn ketika ia berjalan bersisian dengan Aksa. Sinar rembulan menjadi saksi saat keduanya menelusuri jalanan paving sebuah taman yang terletak tak jauh dari Alun-alun kota."Apakah kau senang?" kepala berhelaian kelam nan lurus itu menoleh, menatap sisi wajah Evelyn. Melihat bagaimana perempuan itu sesekali menikmati es krim pemberiannya. "Tentu saja. Baru kali ini aku datang ke Festival musik setelah sekian lama. Terakhir kali aku mendatangi festival seperti ini, saat itu aku masih duduk di bangku SMA," kenang Evelyn, lengkap dengan senyum simpul."Biar kutebak. Kau datang bersama Damian?"Senyuman itu berubah kaku selama beberapa saat. Mendengar nama pria itu disebut entah bagaimana sedikit mem
Frustrasi menghiasi raut wajahnya saat menatap layar ponsel, berikut keningnya yang mengernyit lengkap dengan tatapan tajam, seakan ponsel tak bersalah dalam genggamannya itu merupakan musuh yang sangat menyebalkan."Kenapa Eve tidak pernah lagi mau menjawab panggilanku? Apakah dia sebegitu sibuknya?"Tentu tidak akan ada jawaban yang ia terima, sebab ia memang sedang sendirian di dalam ruangannya. Ia dibuat cukup kesal kali ini. Evelyn, wanita itu sama sekali tidak mengangkat panggilan teleponnya, meskipun nomornya sedang aktif. Akibatnya, pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam kepala tampannya. Alasan apa yang membuat wanita itu enggan menerima telepon darinya."Ataukah ... dia terlalu sibuk dengan Aksa?" dan kemungkinan itulah yang pertama kali muncul.Damian tentu masih mengingat dengan begitu jelas saat pria berkulit putih itu mencium mesra sang sahabat di hadapannya sore itu. Peristiwa yang seakan seperti kaset rusak. Terus menerus berputar ketika ia memejamkan mata, bahkan mas
Sepasang kakinya terayun menuju ke arah dapur saat melihat presensi Karenina sedang memunggunginya di depan kompor. Wanita yang baru beberapa bulan lalu menikah itu tampak sedang memasak sesuatu. Dan sebagai adik yang baik, Evelyn ingin membantunya."Kak Nina?" memanggil lirih diiringi menyentuh ringan salah satu bahu istri dari kakak sepupunya, ia tidak menyangka bahwa reaksi Karenina akan seterkejut itu. "Ah, Eve ... kau membuatku terkejut." Wanita itu menoleh padanya sembari menyusap-usap dada, sedangkan Evelyn hanya meringis memamerkan barisan rapi giginya. Namun, di detik selanjutnya Karenina memberinya senyum. "Kau sudah pulang? Tumben sekali. Jam berapa sekarang?""Aku sampai di rumah sejak pukul 5 lebih seperempat, Kak. Aku memang langsung pulang setelah jam kerjaku selesai." Evelyn menjawab apa adanya. Ia mengambil posisi untuk berdiri di sisi Karenina demi melihat apa yang dikerjakan istri dari kakak sepupunya itu."Kau pulang sendirian? Tidak bersama Aksa, seperti biasanya
'Aku tidak main-main dalam menjalani hubungan dengannya. Aku pun ingin segera menyusulmu untuk menikah andai dia bersedia. Doakan aku juga, ya.'"Tidak, tidak, tidak! Sungguh, aku benar-benar tidak rela!" kepala Damian menggeleng secara spontan saat ucapan Aksa di hari lalu kembali berputar di kepalanya. Ucapan lirih itu tanpa sadar terucap kala ia melepaskan secara kasar pisau dan garpunya ke atas piring keramik yang masih penuh dengan hidangan makan malam. Suara dentingan itu menyadarkannya bahwa ia sudah kelepasan, bahkan tatapan Bintang tampak menajam dengan kening mengerut dalam saat menatapnya. Semakin dipikirkan, Damian semakin merasa ada sesuatu yang salah dengan hatinya. Mengapa ia merasa tidak rela ketika tahu bahwa Aksa berniat mempersunting Evelyn?"Apanya yang tidak rela, Dam?" Bintang akhirnya mengeluarkan isi pikirannya. Ia tampak menjeda suapan sushi ke dalam mulutnya demi bertanya."Bukan. Bukan apa-apa." Damian tersenyum kaku, kembali meraih pisaunya untuk mengiris