Mobil itu melaju membelah jalanan padat kota Jakarta di senja ini. Aksa adalah sang pengemudi, tentu Evelyn duduk pada kursi di sampingnya sebagai penumpang. Tak mampu menutupi bahagia karena kembali bertemu dengan sang pujaan hati, pria berkulit putih itu tak pernah melunturkan senyumannya.Sehari saja serasa sewindu bagi seseorang yang merindu. Apalagi jika berhari-hari, Aksa bisa-bisa terkena penyakit malarindu.Yah, meskipun tampaknya hanya dirinya saja yang merasakan rindu, sedangkan Evelyn terlihat biasa-biasa saja. Wanita itu duduk diam memandang bulevar seraya mendengarkan musik yang teralun ringan."Kau ingin mampir ke suatu tempat?" karena kurang suka dengan senyap, Aksa kembali memulai percakapan. Mata legam itu melirik sebentar ke arah wanita di sisinya sebelum kembali memusatkan atensi pada jalanan."Langsung pulang saja, Aksa. Aku cukup lelah hari ini." Evelyn menoleh ke arah si pria, lalu menyamankan punggungnya pada sandaran kursi.Dan setelahnya kernyit halus muncul d
"Pekerjaanmu lancar hari ini, Bintang?" Damian membuka tanya dengan salah satu tangan terselip di saku celana. Ia dan Bintang tanpa sengaja bertemu di lobi, berujung mereka berjalan bersama menuju tempat parkir kendaraan. "Lancar, seperti biasanya. Aku tidak ingin dicacimaki oleh ayahmu lagi." Kalimat terakhir Bintang tidak benar-benar berisi candaan kendati pria itu tertawa saat mengatakannya. Beberapa kali pria itu memang sempat mendapatkan amukan dari Benedict selaku pemilik sekaligus pendiri perusahaan agensi tempatnya bekerja saat ini. Pria baya itu sangat perfeksionis, maka saat hasil kerja dari karyawannya kurang sesuai seperti apa yang diharapkan, tentu bentakan dan cacian yang akan diterima. Meskipun begitu, para karyawan tetap mendapatkan upah seperti apa yang telah disepakati di awal. Benedict tidak pernah memotong gaji karyawan sesukanya, hal itulah yang membuat Bintang tetap betah bekerja di sana.Sedangkan Damian hanya mendecih ringan. "Dia memang pria tua yang kejam."
"Mohon perhatian. Panggilan terakhir untuk para penumpang Garuda Jaya Airlines dengan nomor penerbangan 943 tujuan Surabaya, dipersilakan untuk segera naik pesawat udara melalui pintu A-3. Pemeriksaan terakhir akan selesai dan pintu pesawat akan ditutup dalam waktu sekitar lima menit. Terima kasih."Suara nyaring yang terdengar sampai ke seantero Bandara itu membuat obrolan mereka terhenti. Meski waktu belum genap menunjukkan pukul 6 pagi, tapi mereka berlima telah menginjakkan kaki di Bandara, sebab mereka memang memilih penerbangan pagi.Ya, Arjuna dan Karenina berikut Luna akan kembali terbang ke Surabaya. Selain untuk mengantarkan si gadis kecil pulang ke rumahnya, pasangan suami-istri itu memiliki tujuan lain; mereka ingin memeriksa sejauh mana proses pembangunan cabang restoran Food'o Clock yang letaknya masih satu kota dengan keluarga Evelyn."Sepertinya kita harus segera berpisah. Luna, turun dari pangkuan Kak Aksa dulu, ya?" adalah Arjuna, seseorang yang kembali membuka suara
Rambut pirang itu tampak lembab, Damian menyugarnya ke belakang dengan terus melangkah memasuki rumahnya yang besar. Ia seakan sengaja membuat baju yang melekat di tubuhnya basah, ia turun dari mobil menuju ke teras rumah tanpa berpayungan. Beberapa hari terakhir ini memang sering turun hujan.Entah bagaimana, perasaan pria itu masih saja berkutat pada Evelyn dan Aksa yang tampak begitu romantis di matanya kemarin, bahkan hingga membuat konsentrasi pria itu sedikit terganggu seharian ini.Kenapa mereka menjadi begitu dekat dengan waktu yang relatif singkat? Dan kepala pula Evelyn sudah tidak seterbuka dulu padanya? Sebagai sahabat, ia merasa kehilangan perempuan itu."Damian, akhirnya kau datang, Nak. Kami sudah menunggumu." Ketika kedua kaki itu telah memasuki kediamannya semakin dalam, suara sang ibu dari ruang makan sukses merebut atensi, pun membuyarkan lamunannya. Di detik ketika ia menoleh ke sumber suara, kernyit halus muncul di dahinya kala menatap satu entitas perempuan bera
"Kau sudah sarapan, Nak?"Kepala bersurai pirang itu menoleh pada sang penanya. Sosok sang ibu terlihat mendudukkan diri pada kursi lain bersekatkan meja kopi kayu berbentuk persegi."Sudah. Mama bisa melihatnya sendiri, bukan? Piringku sudah kosong." Damian melirik sejenak pada alat makan di atas meja, lalu kembali menekuni monitor laptop di atas pangkuan.Pria itu memang sedang cukup sibuk pagi ini. Ia tampak sedang membalas beberapa email yang masuk dari perusahaan yang menghubunginya untuk rencana proyek kerjasama, sebab menjalin komunikasi dengan klien adalah tugasnya. Dan taman di sisi rumah merupakan tempat pilihannya."Mama senang jika kau menghabiskan sarapanmu." Sasmitha tersenyum hangat. Meskipun sampai detik ini putranya masih begitu sukar diajak makan bersama, setidaknya ia tahu bahwa Damian menikmati masakannya. "Ah, apakah kau libur hari ini?" tanyanya kemudian."Tidak. Memangnya jam berapa sekarang?"Sasmitha menelengkan kepalanya ke sisi kanan untuk menatap jam dindin
"Jadi, berapakah total yang harus kubayar untuk meja nomor 6?" seorang pria baya berdiri di depan kasir, berbicara seraya merogoh kantung celana demi mengambil dompetnya.Namun, yang diajak bicara hanya diam membisu. Wajahnya memang menghadap ke layar monitor di depannya, tetapi tatapan mata indah itu tampak tak fokus. Pikiran Evelyn seakan tidak ada di tempat itu."Hey, Nona!" karena merasa kesal, si pria baya meninggikan intonasi suaranya. Wajah yang semula tampak ramah, kini tertekuk kesal."Ah, y-ya. Maafkan saya." Dan bentakan itu nyatanya berhasil menyadarkan Evelyn dari pikirannya yang bercabang. Wanita itu tersentak kemudian menunduk, meminta maaf. "Pembayaran untuk meja nomor berapa, Tuan?""Nomor 6."Evelyn menggerakkan kursornya, meng-klik rincian pesanan kemudian menjumlahkan total harga. "Totalnya 350 ribu."Raut muka pria baya itu tak berubah, masih tetap terlihat kesal. Meskipun begitu, dia akhirnya membuka dompetnya juga, membayarnya dengan nilai yang pas."Terima kasi
'Mungkin ini akan sedikit mengejutkanmu, tapi ... pernikahanku akan dilaksanakan dua bulan lebih cepat.'Kata-kata yang Damian ucapkan sore itu kembali terngiang di kepala Evelyn, entah untuk yang ke berapa kalinya selama berhari-hari belakangan. Wanita itu memilih untuk menatap ke sisi kaca mobil, memandangi entah apa yang berhasil memasuki retina matanya. Bohong jika ia berkata bahwa dirinya turut merasa senang saat si pria pirang sebentar lagi akan melepas masa lajang. Luka di hatinya kembali tercipta, melengkapi luka-luka lainnya yang lebih dahulu bersarang di sana."Jadi, bagaimana, Eve?" Aksa kembali membuka tanya, sedikit melirik melalui sudut mata. Pasalnya ia sedari tadi sudah panjang lebar berbicara, namun nihil tanggapan dari si wanita.Dan kernyit di dahi pria berwajah oriental itu tercipta saat ia mendapati Evelyn hanya duduk diam menatap jalanan, nyaris tanpa respons. Oleh karena itu ia sedikit menyentuh bahu wanita itu demi mencari atensi."Eve?""Eh? Ya?" dan di detik
Waktu berjalan terlalu cepat tanpa disadari. Kini mentari telah berada di ufuk barat, tanpa terasa senja telah menyapa. Meski terik sang surya masih begitu menyengat di luar sana, namun di dalam ruangan studio dengan penuh sorot lampu itu tidak terasa demikian. Alat pendingin ruangan menyala guna mencegah keringat yang bisa saja mengganggu proses pekerjaan mereka. Pun sebuah kipas berputar untuk menghasilkan efek rambut yang berkibar."Satu, dua, tiga!" hitungan itu berakhir ketika lensa kamera di tangan seorang fotografer membidik gambar Kiara. "Ok, bagus."Si model nan cantik jelita tampak mengubah posenya dengan memegang sebuah botol produk perawatan rambut di tangan kanan, tersenyum lepas ke arah kamera dengan rambut berkibar. "Sekali lagi, ya. Satu, dua, tiga!"Dan lagi-lagi kamera itu berhasil mengabadikannya."Yap! Kurasa sudah cukup." Si fotografer kedapatan tersenyum ke arah Sang model sebelum memeriksa hasil jepretan kameranya. Dan senyum puas terkembang di sana. "Kerja bag
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke