Dio berjalan di belakang Arga melewati sebuah koridor di salah satu vila keluarga Erlangga. Dia menatap jajaran bunga mawar putih di sampingnya. Itu bunga kesukaan mendiang Nyonya Erlangga. Taman bunga itu begitu penuh, di tengah taman, ada bunga mawar putih yang tatanannya seperti labirin dan tingginya kurang lebih sampai ke bahu pria dewasa yang tinggi. Saat mengedarkan pandangan melihat luasnya taman, Dio melihat ada yang bergerak di bagian bawah bunga-bunga. Eh? Apa mungkin itu kelinci? Dia ingat sang nyonya dulu juga suka hewan-hewan kecil yang imut. Tapi.. yang barusan dia lihat itu sedikit ... besar.
‘'Mohon maaf Tuan mud-, Tuan.”
Sesampainya di depan sebuah kamar, mereka disambut kepala pelayan yang membungkuk dan meminta maaf.
“Nenek, tolong jangan seperti itu. Nenek bisa memanggilku seperti biasa.” Arga menatap wanita tua itu dengan lembut.
“Ah, tidak, tidak. Anda adalah kepala keluarga mulai sekarang. Maafkan nenek tua ini yang tak bisa menjaga tamu yang sangat penting.”
Arga mengernyit. Tampaknya seseorang yang ingin Arga kenalkan dengan Dio ada di dalam kamar itu beberapa saat yang lalu sebelum akhirnya ia menghilang entah ke mana.
***
“Aw!”
Sebuah duri kecil tertancap di pergelangan tangan kuning langsat yang sedikit kotor ternoda tanah di sana-sini. Si pemilik tangan mendecih kesal dan buru-buru mencabut duri menyebalkan itu dari kulitnya. Rambutnya coklat panjang berantakan, serpihan daun kering terselip di antara ikatan rambutnya yang sudah tak berbentuk. Di kulit leher jenjangnya menetes keringat yang tak berhenti keluar, entah karena terik matahari yang tak mau kompromi atau karena misi pelarian dirinya yang begitu sulit dilalui. Benar, gadis itu sedang melarikan diri dari entah apa pun yang telah menculiknya ke tempat asing ini. Namun sialnya dia malah terjebak di sebuah labirin bunga yang entah di mana ujungnya ini. Dia beranggapan bahwa penculiknya ini seorang psikopat yang senang mempermainkan korbannya dalam sebuah game sebelum akhirnya disiksa. Gadis itu terus merangkak, mengabaikan tangan dan lututnya yang sakit. Tak seberapa jauh di depan dia melihat tikungan yang tampak seperti ujung labirin. Dia makin mempercepat geraknya dan ... “hm, sudah kuduga bukan kelinci.”
Sesosok pria berjongkok dan menyangga dagu dengan lengan sambil menatap tepat ke arah dirinya.
“Aaaahhh-hmp!!”
Kekagetan gadis itu membuatnya spontan berteriak dan terjengkang, namun sebuah lengan kokoh dengan sigap menyangga tubuhnya. Mata terkejut gadis itu bertatapan lurus dengan iris hitam seorang pria dengan rambut sebahu.
“Tenanglah, saya tak akan menyakiti Anda.”
Suara itu cukup untuk membuat si gadis diam tak berontak.
“Anda terluka. Biar saya lihat.”
Mata gadis itu terus bergerak memperhatikan gerak-gerik si pria asing. Pria itu mengeluarkan sapu tangan hitam dari saku celana dan membalut pergelangan tangannya yang sedikit berdarah. Dengan ragu gadis itu bertanya.
“J-jadi kau siapa? Kau bukan salah satu penculik itu?”
“Penculik?”
Dan Dio tak kuasa menahan cekikikannya saat gadis itu bercerita kenapa ia merangkak di labirin bunga. Gadis itu cemberut membuang muka. Bukan salahnya jika ia menyangka telah di culik ke rumah besar ini. Orang-orang yang membawanya benar-benar berlaku seperti penculik! Dia dibius, demi Tuhan dibius!
Dio tak lama menghentikan tawanya. Saat menuju vila, Arga sudah bercerita mengenai seseorang yang akan dia temui. Dia adalah putri keluarga Malodia. Salah satu yang selamat dari penyerangan yang terjadi pada keluarga besar beberapa waktu lalu yang membuat Arga kehilangan ayahnya.
“Untuk sekarang mari kita kembali ke kamar Anda. Banyak orang khawatir dan mencari Anda loh ....”
Bukan persetujuan, melainkan muka sinis masam yang ia dapatkan. Niat gadis itu adalah memasang tampang sesangar mungkin sebagai perwujudan perasaannya yang jengkel, linglung dan lelah, namun yang dilihat Dio tidak lebih dari kelinci kecil manis yang tampak tersesat. Gadis itu terus menatapnya untuk beberapa saat, tepat ke mata Dio untuk mencari jejak-jejak kebrengsekan yang akhirnya tak kungjung ia temukan. Dio dengan sabar menunggunya sebelum akhirnya gadis itu menunduk sambil menghela napas frustasi.
“Aku … tidak sanggup berdiri,” bisiknya.
Meski samar terdengar, namun Dio dengan jelas menangkap maksudnya. Dengan sopan dia meminta izin menggendong gadis itu. Setelah gadis itu mengangguk, dia dengan lembut meletakkan tangan-tangan kokohnya ke pundak dan bawah lutut gadis itu. Dio bangkit dengan membopongnya, berjalan melewati labirin mawar yang sudah dia hafal. Gadis dalam pangkuannya menunduk tersipu malu. Dio tersenyum, entah kenapa ini mirip adegan seorang pangeran yang menggendong tuan putrinya, salah satu adegan dalam drama kesukaan mendiang Nyonya Erlangga. Namun, untuk kasusnya, dia sadar bukanlah seorang pangeran. Untuk putri di pangkuannya, mungkin dia akan menjadi ksatria pelindungnya saja.
***
“Tuan.”
Seorang pria berjas yang tampak tak lagi muda yang rambut hitam pendeknya sudah berubah warna menjadi abu-abu, menunduk memberi hormat pada Arga yang sedang mencari tamu pentingnya di sisi lain vila.
“Paman,” Arga menyapa begitu menatapnya.
“Maafkan pria tua ini yang mengganggu masa berkabung Anda.” Ada pancaran serius di wajah pria itu yang membuat Arga bersiaga akan apapun yang akan pria itu katakan.
“Silakan katakan saja.”
Pria itu menatap tuannya dan berkata, “serikat sudah menemukan pelaku utama penyerangan pada Trikula.”
Meski sudah bersiap, Arga tetap saja tersentak, matanya sedikit berkilat marah mendengar berita itu. Ini akan jadi masalah yang panjang, pikirnya. Dia memberi tanda pada seorang pelayan dan berkata, “beri tahu Dio aku harus pergi beberapa hari, dan juga … katakan aku menitipkan tamuku padanya.” Pelayan itu mengangguk sopan sebelum akhirnya Arga pergi bersama pria tadi dan beberapa orang lain.
***
Gadis yang ditemukan Dio itu sedang berada di kamarnya, sesekali meringis saat Nyonya Wilma, sang kepala pelayan mengoleskan obat pada kakinya. Di luar, tak jauh dari kamarnya ada Dio yang sedang berbicara dengan pelayan.
“Begitu rupanya, terima kasih.” Si pelayan memberi hormat lalu pergi. Tak lama setelah itu datang pelayan yang berpakaian agak berbeda datang ke ruangan itu dengan membawa kotak P3K. Pelayan itu duduk di hadapan Dio dan menunjuk lengannya. Seketika Dio agak terkejut melihat lengannya sendiri yang terbalut perban berubah warna menjadi merah di beberapa bagian.
“Kau memaksakan diri berlagak menjadi ksatria sampai lukamu terbuka lagi,” ucap pelayan itu dengan ketus.
Dio hanya meringis saat si pelayan membuka perbannya dengan kurang rasa kasih sayang, lalu terkekeh kecil sebelum mengucapkan, “terima kasih, Monika.”
“Jangan berterima kasih padaku. Nona Adelin yang melihatmu dan menyuruhku melakukan ini. Tuan muda- maksudku Tuan bisa marah jika melihat sahabat kesayangannya dibiarkan terluka.”
Dio tersenyum, “Kau juga sahabat kesayangan Tuan kita. Sekali lagi terima kasih, Monika.” Mendengar itu Monika malah tampak kesal dan buru-buru membereskan kotak dan beranjak pergi. Dilihat dari ekspresi Dio, dia sudah terbiasa dengan sikap pelayan yang satu itu.
Pagi hari, suasana sudah agak ramai dengan banyaknya pelayan yang kasak-kusuk. Dio mendekati Monika, namun belum dia mengeluarkan suara, gadis itu sudah menyemburnya dengan luapan kalimat. “Kau!”, katanya menunjuk tepat ke hidung Dio, “lakukan sesuatu pada tuan putrimu itu! Kau baby sitter-nya kan!?” “Tolong jelaskan ada apa, Monika.” Sebelum Monika menyembur lagi, pundaknya ditepuk oleh seorang pelayan yang tampak lebih senior, dan spontan membuat sikap Monika berubah. “Nona Adelin,” mereka menyapa. Adelin menjelaskan apa yang terjadi, gadis yang kemarin menghilang dan membuat gempar itu menolak makan sejak semalam, dan dia terus mengurung diri di kamar. Selain hal itu, yang menjadi pergunjingan para pelayan adalah kemungkinan gadis itu akan menjadi nyonya mereka, yang mana jika itu benar, mereka akan mendapat nyonya yang sangat merepotkan. Mendengar itu membuat Dio memasang senyum miring. Gosip di antara wanita memang mengerikan. Namun apa yang Monika katakan tadi memang benar,
Hari ini Dio menemukan fakta baru tentang gadis bernama Lily itu. Alasan kenapa ia bersikap seperti bocah pembuat masalah, adalah satu, dia sama sekali belum mendapat penjelasan mengenai rumah siapa ini, kenapa ia secara paksa dibawa kemari, dan apa yang mereka inginkan darinya. Kedua, semua orang di rumah itu memperlakukannya bagai seorang putri, para pelayan nyaris memandikan dan menyuapinya makan. Dio masih ingat jelas bagaimana gadis itu begitu frustrasi saat dia berkata dengan jengkel, “aku tidak bisa makan dengan banyak sendok dan garpu sambil dipelototi para pelayan itu!!!” Karena itu, kali ini Dio membawanya ke sudut labirin mawar yang dinaungi oleh sebuah pohon besar. “Ini tempat rahasiaku.” Dio duduk begitu saja di rumput sambil meletakan beberapa kotak makanan. “Kau benar-benar hafal jalur di labirin ini?” tanya Lily. Dio terkekeh, “karena aku yang menciptakannya. Ada petanya kalau kamu mau lihat.” Lily sedikit terperanjat dan duduk berhadapan dengan Dio. “Kamu yang b
Zaman dahulu kala, saat negeri ini masih berupa beberapa kerajaan yang terpisah, terdapat tiga kerajaan besar yang menjadi induk dari kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Gunada di barat, Erlangga di timur, dan Melodia di selatan. Ketiga kerajaan itu memimpin dengan bijak, tak ada satupun keluhan terdengar dari para warga yang ada dalam naungannya. Kabar akan kesejahteraan masing-masing pun terdengar oleh satu sama lain. Yang pertama membuka celah interaksi adalah adanya undangan dari Kerajaan Erlangga pada kedua kerajaan tersebut. Dari sana mereka beraliansi, membentuk sebuah tatanan yang menghasilkan lebih dari apa yang disebut kesejahteraan. Dan sejak saat itu, tiga kerajaan besar itu disebut Trikula. Namun tak ada sejarah damai yang akan berlangsung selamanya. Percikan api konflik dimulai saat kebetulan Erlangga dan Gunada sama-sama mempunyai raja yang berusia muda. Tak seperti kedua kerajaan itu yang dipimpin seorang raja, Melodia selalu dipimpin seorang ratu, yang sialnya ada
Di halaman depan vila, tampak beberapa mobil hitam berjajar. Orang-orang tinggi besar yang tadi di dalamnya kini berbaris mengikuti seorang wanita bangsawan yang tampak anggun sekaligus dominan. Semua yang ada di sana tahu siapa itu, terutama Nyonya Wilma yang paham betul derajat wanita ini setara dengan Tuannya. Nyonya Wilma sudah memberikan penyambutan terbaiknya di depan pintu utama, namun wanita itu tampak tak tertarik basa-basi dan dengan tegas meminta bertemu dengan Arga. “Mohon maaf sebelumnya, tapi Tuan kami-“ “Ah, sudah cukup. Aku hanya ingin mengambil kembali milikku yang dia curi.” Tangan wanita itu terangkat dan spontan para pria tinggi besar di belakangnya berpencar, ada yang masuk ke vila, ada yang pergi ke arah taman. Para penjaga Erlangga yang jumlahnya tidak banyak merasa geram, namun tuannya sudah memerintahkan untuk sebisa mungkin menghindari konflik dengan keluarga lain untuk saat ini. Mereka akhirnya hanya memastikan orang-orang itu tak menyakiti siapa pun dan
Lily berdiri di sebuah tempat yang luas. Luas sampai angin yang membelai rambut coklat bergelombangnya mungkin adalah angin dari belahan dunia lain. Dia terkejut saat kakinya yang tak mengenakan alas disapu dinginnya gelombang air berbuih. Dia mundur beberapa langkah, menyadari dirinya sedang berdiri di hadapan cakrawala. Camar terbang melengkung, udara berbau garam, dan air laut yang terhampar sampai seolah menyentuh langit, adalah pemandangan yang membuatnya rindu sekaligus sedih. “Lily.” Dia menoleh, seseorang tak jauh di belakangnya melambai dan tersenyum. Seorang pria dengan rambut coklat dan wajah ramah yang tak asing. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Seketika ia sadar itu adalah mimpi. Dia langsung dirasuki perasaan untuk segera bangun dari tidur, namun pria itu menghampiri dan menggenggam tangannya. “Kenapa menangis? Hm?” Dia harus menengadah untuk melihat wajah pria itu, lalu ia menatap tangan dan kakinya. Itu adalah tubuhnya saat masih kecil. “Ayah?” ia memanggi
Kisahnya bermula di sebuah pesisir selatan, sebuah tampat yang menghadap langsung ke arah samudra. Pemandangan yang ia lihat setiap hari adalah ayah ibunya, rumah kayunya yang sederhana, tetangga-tetangga yang ramah, jaring-jaring ikan, perahu-perahu, dan pasir pantai yang berkerlap-kerlip bagai permata, meski aslinya itu hanya pantulan bijih besi yang terkandung di dalam pasir. Ia hidup dengan bahagia sebagai seorang anak pesisir yang riang, sebagai gadis bernama Lily, hanya Lily saja. Kadang, saat malam ayahnya akan memainkan sebuah biola di serambi rumah, membuat ia dan ibunya terbuai indahnya alunan melodi lain selain deburan ombak dan desiran angin malam. Lily sudah tertarik pada biola itu sejak kecil, ia sering memainkannya dan sesekali diajari ayahnya. Anak-anak sekitar sana pun senang mendengarnya bermain. Baginya itu adalah dunia kecilnya yang sempurna. Sampai suatu saat sebuah bencana membuat dunia itu menjadi suram dan sepi. Desanya diserang sebuah wabah, ayah ibunya, dan
Sejak pagi kediaman Erlangga telah ribut oleh perkacakapan para pelayan. Lily yang terbangun karena kegaduhan itu, namun dia sama sekali tak ambil pusing dan langsung menuju kamar mandi. Dengan masih setengah terpejam ia memutar kran dan dihinggapi sebuah kejanggalan akan hilangnya suara air yang seharusnya sudah terdengar seiring dengan alirannya yang membasahi tangan Lily. Matanya pun terbuka sepenuhnya memastikan bahwa memang tak ada air di sana. Ia memutar-mutar kran, namun hasilnya tetap sama. Seketika dia paham kenapa para pelayan itu ribut sejak pagi. Lily keluar kamar setelah mengganti baju tidurnya. Rambutnya ia ikat sekenanya dan turun ke lantai bawah. Ia perlu seseorang untuk menanyakan situasi, namun para pelayan yang tadi ribut kini menghilang. Dia seketika hendak membuka mulut ketika matanya menangkap siluet seseorang berpakaian pelayan, namun lidahnya segera tertahan dan moodnya mendadak berubah jengkel saat melihat pelayan itu berpotongan rambut bob. “Dari semua orang
Suatu siang, saat Lily sedang membantu bersih-bersih, ia mendengar pembicaraan beberapa pelayan bahwa mereka baru saja diselamatkan tiga pendekar. Apa yang didengarnya itu tentu saja membuat alisnya mengernyit karena terdengar seperti sebuah dialog dalam film fantasi. Lily awalnya berpikir mungkin ia salah dengar dan orang itu hanya sedang membicarakan film. Tapi sebutan ‘tiga pendekar’ itu dia dengar lagi dan lagi. “Hari ini aku dimarahi tiga pendekar.” “Tadi tiga pendekar menyuruhku membawa ini ke sana.” “Sudah lama ya, tidak dilatih tiga pendekar.” Dan semua yang ia dengar itu membuatnya penasaran setengah mati. Ia ingin bertanya, tapi para pelayan itu selalu sungkan tiap bicara dengannya. Jadi yang terlintas di kepala Lily hanya ada empat orang untuk ditanyai. Namun dengan segera Lily mengoreksi pemikirannya barusan. Silvi akan sedikit sulit jika ditanya tanpa disuap makanan, dan Monika … “ugh”, memikirkannya saja Lily sudah malas. Jadi kesimpulannya ada dua orang yang bisa di