Kisahnya bermula di sebuah pesisir selatan, sebuah tampat yang menghadap langsung ke arah samudra. Pemandangan yang ia lihat setiap hari adalah ayah ibunya, rumah kayunya yang sederhana, tetangga-tetangga yang ramah, jaring-jaring ikan, perahu-perahu, dan pasir pantai yang berkerlap-kerlip bagai permata, meski aslinya itu hanya pantulan bijih besi yang terkandung di dalam pasir. Ia hidup dengan bahagia sebagai seorang anak pesisir yang riang, sebagai gadis bernama Lily, hanya Lily saja. Kadang, saat malam ayahnya akan memainkan sebuah biola di serambi rumah, membuat ia dan ibunya terbuai indahnya alunan melodi lain selain deburan ombak dan desiran angin malam. Lily sudah tertarik pada biola itu sejak kecil, ia sering memainkannya dan sesekali diajari ayahnya. Anak-anak sekitar sana pun senang mendengarnya bermain. Baginya itu adalah dunia kecilnya yang sempurna. Sampai suatu saat sebuah bencana membuat dunia itu menjadi suram dan sepi. Desanya diserang sebuah wabah, ayah ibunya, dan
Sejak pagi kediaman Erlangga telah ribut oleh perkacakapan para pelayan. Lily yang terbangun karena kegaduhan itu, namun dia sama sekali tak ambil pusing dan langsung menuju kamar mandi. Dengan masih setengah terpejam ia memutar kran dan dihinggapi sebuah kejanggalan akan hilangnya suara air yang seharusnya sudah terdengar seiring dengan alirannya yang membasahi tangan Lily. Matanya pun terbuka sepenuhnya memastikan bahwa memang tak ada air di sana. Ia memutar-mutar kran, namun hasilnya tetap sama. Seketika dia paham kenapa para pelayan itu ribut sejak pagi. Lily keluar kamar setelah mengganti baju tidurnya. Rambutnya ia ikat sekenanya dan turun ke lantai bawah. Ia perlu seseorang untuk menanyakan situasi, namun para pelayan yang tadi ribut kini menghilang. Dia seketika hendak membuka mulut ketika matanya menangkap siluet seseorang berpakaian pelayan, namun lidahnya segera tertahan dan moodnya mendadak berubah jengkel saat melihat pelayan itu berpotongan rambut bob. “Dari semua orang
Suatu siang, saat Lily sedang membantu bersih-bersih, ia mendengar pembicaraan beberapa pelayan bahwa mereka baru saja diselamatkan tiga pendekar. Apa yang didengarnya itu tentu saja membuat alisnya mengernyit karena terdengar seperti sebuah dialog dalam film fantasi. Lily awalnya berpikir mungkin ia salah dengar dan orang itu hanya sedang membicarakan film. Tapi sebutan ‘tiga pendekar’ itu dia dengar lagi dan lagi. “Hari ini aku dimarahi tiga pendekar.” “Tadi tiga pendekar menyuruhku membawa ini ke sana.” “Sudah lama ya, tidak dilatih tiga pendekar.” Dan semua yang ia dengar itu membuatnya penasaran setengah mati. Ia ingin bertanya, tapi para pelayan itu selalu sungkan tiap bicara dengannya. Jadi yang terlintas di kepala Lily hanya ada empat orang untuk ditanyai. Namun dengan segera Lily mengoreksi pemikirannya barusan. Silvi akan sedikit sulit jika ditanya tanpa disuap makanan, dan Monika … “ugh”, memikirkannya saja Lily sudah malas. Jadi kesimpulannya ada dua orang yang bisa di
Setelah mengetahui soal tiga pendekar, Lily meminta kepada Adelin untuk diajari bela diri. Namun ia sibuk dan merasa keterampilannya tidak akan cocok untuk Lily. Meski di sebut tiga pendekar dan punya kemampuan yang hebat, namun mereka bertiga ternyata memiliki spesialisasi masing-masing. Silvi jago karate, Monika lebih ke taekwondo, sedangkan Adelin tak punya keahlian khusus, ia bisa semua dasar bela diri dan memakainya dalam pertarungan dengan caranya sendiri. Jadi Adelin menyarankan belajar kepada Silvi. Lily menuruti saran Adelin dan Silvi setuju mengajarinya, karena itu saat sore ketika pekerjaan rumah sudah selesai, ia memulai latihannya dan dibuat heran karena yang ia lakukan setelah satu jam latihan dimulai hanya duduk ala sinden dengan badan tegap dan berhadapan dengan Silvi yang bermeditasi dengan posisi bersila. “Uhm … Silvi?” Tak ada respons, Silvi masih terpejam dengan posisi tangan yang serupa dengan para pertapa. Lily sudah tak bisa duduk dengan seimbang, kakinya ter
Lily termenung, membiarkan selang air di tangannya terus menyiram bunga yang sama. Itu pertama kali seseorang mengatakan hal semacam itu padanya. Dua puluh dua tahun hidupnya sama sekali belum pernah dihinggapi hal-hal berbau romansa. Jadi kini ia bingung dan tak menyangka ketika ada seorang pria dengan spesifikasi nyaris sempurna mengatakan cinta padanya. Air dari selang tiba-tiba berhenti mengalir, membuat Lily tersadar. Rupanya Adelin mematikan kran di belakangnya. “Bunganya bisa mati kedinginan kalau terus kamu siram.” Lily hanya tertawa hambar, lalu menggulung selangnya ke sisi taman. “Apa ada sesuatu?” Adelin mulai khawatir, gadis itu bukan tipe yang selalu diam. Lalu Adelin melihat Lily sedikit tersentak saat melihat Dio yang lewat di depannya. Seketika dia paham apa yang terjadi. Saat jam makan siang, Lily beristirahat di bawah pohon di sisi labirin bunga yang menjadi tempatnya dulu sering makan bersama Dio. Ia menatap langit dari celah-celah daun yang bergoyang, membiarkan
Dia berjanji akan serius namun nyatanya Lily cukup kewalahan memikirkannya. Ia sama sekali tak mengenal dunia percintaan, bahkan ia sama sekali tak paham harus mulai berpikir dari mana. Karena itu malam harinya ia langsung mencari Adelin dan mengajaknya menginap di kamarnya, agar dua orang lainnya tidak mengganggu pembicaraan serius mereka. Setelah Adelin di kamarnya, ia mulai menjelaskan kondisi yang ada seolah menceritakan suatu kasus. Adelin tersenyum kecil, ia sama sekali tak memberitahu Lily kalau ia sudah tahu kondisi itu bahkan sebelum Dio, si pelaku pembuat kasus, menyadari perasaannya. “Jadi begitulah, apa yang harus aku lakukan sekarang?” “Menurutku, jujurlah pada dirimu. Bagaimana perasaanmu terhadap Dio?” Adelin bertanya, namun Lily memasang tampang ragu, ia sendiri tak yakin dengan apa yang ia rasakan. “Sebagian orang dengan mudah jatuh cinta, sebagian lagi butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa merasakan cinta. Sebagian datang tanpa diundang, sebagian datang karena sel
Esok paginya keadaan vila menjadi lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan mondar-mandir dengan lebih gesit, bunga-bunga dalam vas terlihat baru, segar dan wangi, karpet-karpet diganti, lantai dan keramik-keramik kinclong tanpa debu maupun sidik jari. Ruang makan dengan meja panjangnya yang tak pernah digunakan menjadi penuh dengan makanan lezat dan hiasan yang juga tampak lezat. Benar, pagi ini semuanya menjadi sangat sibuk dan bersemangat karena tuan mereka sudah kembali. Terlebih lagi ia kembali tanpa kabar sebelumnya, membuat Nyonya Wilma mendadak menjadi seperti pemandu sorak yang memberikan perintah ini itu pada para pelayan. Arga pulang lewat gerbang belakang semalam. Awalnya ia bersama dengan sopirnya dan Paman Yoga, namun Paman Yoga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Akhirnya setelah mengantar Arga, pak supir diminta untuk mengantar pria tua itu sekaligus menginap di rumahnya karena sudah malam. Arga yang tak ingin membuat heboh seisi rumah meminta diturunkan di gerbang bel
Suatu siang, Arga dan Dio sedang berjalan menuju ruang tamu saat tiba-tiba ia mendengar teriakan Lily dari depan. Mereka spontan berlari, dan di sana, Lily sedang berpelukan erat dengan seorang pria tua berjas abu-abu yang sewarna dengan rambutnya. Arga dan Dio yang melihat itu sedikit ternganga, dalam hati mereka merasa dikalahkan oleh orang itu, yang tiada lain adalah tangan kanan Arga, Paman Yoga. “Hahaha, maaf baru bisa menemuimu sekarang.” Paman Yoga dengan tawa khas orang tuanya membelai pucuk kepala Lily. Lily begitu gembira, Dio yakin itu wajah Lily yang paling bahagia sejak pertama kali dia tiba di rumah ini. Melihat itu membuat Dio jadi melupakan pertanyaan kenapa Lily dan Paman saling kenal. Semenjak bertemu Paman Yoga, Lily tampak lebih bersemangat. Sebelumnya ia ketakutan di rumah asing ini. Namun setelah dia akrab dengan Dio dan yang lain ia jadi merasa punya teman. Tapi semenjak ia melihat Paman Yoga di sini, ia merasa tak perlu ada yang dikhawatirkan. Mungkin dalam be