Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Rak-rak tinggi yang dihuni buku-buku tua berbaris rapi di sebuah ruangan yang diterangi cahaya senja. Itu ruangan yang besar dengan beberapa kursi dan meja yang memiliki jendela-jendela besar dan menghadap ke sebuah taman di sisi kirinya. Taman itu penuh dengan berbagai macam bunga, namun yang paling banyak terlihat dan tampak mendapat perlakuan khusus adalah mawar putih. Seorang gadis duduk menghadap salah satu jendela besar itu dengan beberapa buku bersampul tebal bertengger di atas meja di hadapannya. Dia sudah sejak siang tadi ada di sana. Jika disentuh, rambutnya yang hitam panjang bergelombang terasa hangat berkat sang mentari. Ia sedang fokus membaca halaman demi halaman dari salah buku besar yang ia bawa, mengacuhkan dentang jam dinding yang mengingatkannya akan waktu yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Tak lama buku itu ia tutup, kini matanya beralih pada sebuah buku jurnal merah muda yang berhiaskan gambar bunga pada sampulnya, bunga mawar putih. Halaman pertama dibuka,
Ujung runcing rumput hijau bergoyang riang di bawah mentari pagi yang membelai dengan kehangatan yang lembut. Angin yang bermain dengan rumput itu juga menyapa seorang pemuda yang sedang duduk dengan tangan terulur menyentuh kelopak bunga. Itu bunga krisan liar berwarna merah, kontras dengan tangan si pria yang putih bersih dengan jari-jari yang panjang. Dia adalah pria yang tampan. Wajah tegas, rambut hitam lurus sebahu dengan tubuh atletis, yang jika dia tersenyum tak heran gadis-gadis yang melihatnya akan meleleh saat itu juga. Namun, ada sesuatu yang mengganggu keindahan sosok itu. Tangan kirinya terbalut perban sampai ke siku, membuat kemeja hitam yang dia kenakan harus dilipat-lipat sampai lengan agar tak mengganggu. Di tengah-tengah suara alam yang mendamaikan, pria itu mendengar gesekan rumput yang terinjak, dan begitu menoleh dia mendapati sosok pria muda yang tak kalah atletis dengan dirinya, berambut hitam pendek dan mengenakan setelan jas hitam rapi sedang menatap tepat ke
Dio berjalan di belakang Arga melewati sebuah koridor di salah satu vila keluarga Erlangga. Dia menatap jajaran bunga mawar putih di sampingnya. Itu bunga kesukaan mendiang Nyonya Erlangga. Taman bunga itu begitu penuh, di tengah taman, ada bunga mawar putih yang tatanannya seperti labirin dan tingginya kurang lebih sampai ke bahu pria dewasa yang tinggi. Saat mengedarkan pandangan melihat luasnya taman, Dio melihat ada yang bergerak di bagian bawah bunga-bunga. Eh? Apa mungkin itu kelinci? Dia ingat sang nyonya dulu juga suka hewan-hewan kecil yang imut. Tapi.. yang barusan dia lihat itu sedikit ... besar. ‘'Mohon maaf Tuan mud-, Tuan.” Sesampainya di depan sebuah kamar, mereka disambut kepala pelayan yang membungkuk dan meminta maaf. “Nenek, tolong jangan seperti itu. Nenek bisa memanggilku seperti biasa.” Arga menatap wanita tua itu dengan lembut. “Ah, tidak, tidak. Anda adalah kepala keluarga mulai sekarang. Maafkan nenek tua ini yang tak bisa menjaga tamu yang sangat penting.
Pagi hari, suasana sudah agak ramai dengan banyaknya pelayan yang kasak-kusuk. Dio mendekati Monika, namun belum dia mengeluarkan suara, gadis itu sudah menyemburnya dengan luapan kalimat. “Kau!”, katanya menunjuk tepat ke hidung Dio, “lakukan sesuatu pada tuan putrimu itu! Kau baby sitter-nya kan!?” “Tolong jelaskan ada apa, Monika.” Sebelum Monika menyembur lagi, pundaknya ditepuk oleh seorang pelayan yang tampak lebih senior, dan spontan membuat sikap Monika berubah. “Nona Adelin,” mereka menyapa. Adelin menjelaskan apa yang terjadi, gadis yang kemarin menghilang dan membuat gempar itu menolak makan sejak semalam, dan dia terus mengurung diri di kamar. Selain hal itu, yang menjadi pergunjingan para pelayan adalah kemungkinan gadis itu akan menjadi nyonya mereka, yang mana jika itu benar, mereka akan mendapat nyonya yang sangat merepotkan. Mendengar itu membuat Dio memasang senyum miring. Gosip di antara wanita memang mengerikan. Namun apa yang Monika katakan tadi memang benar,
Hari ini Dio menemukan fakta baru tentang gadis bernama Lily itu. Alasan kenapa ia bersikap seperti bocah pembuat masalah, adalah satu, dia sama sekali belum mendapat penjelasan mengenai rumah siapa ini, kenapa ia secara paksa dibawa kemari, dan apa yang mereka inginkan darinya. Kedua, semua orang di rumah itu memperlakukannya bagai seorang putri, para pelayan nyaris memandikan dan menyuapinya makan. Dio masih ingat jelas bagaimana gadis itu begitu frustrasi saat dia berkata dengan jengkel, “aku tidak bisa makan dengan banyak sendok dan garpu sambil dipelototi para pelayan itu!!!” Karena itu, kali ini Dio membawanya ke sudut labirin mawar yang dinaungi oleh sebuah pohon besar. “Ini tempat rahasiaku.” Dio duduk begitu saja di rumput sambil meletakan beberapa kotak makanan. “Kau benar-benar hafal jalur di labirin ini?” tanya Lily. Dio terkekeh, “karena aku yang menciptakannya. Ada petanya kalau kamu mau lihat.” Lily sedikit terperanjat dan duduk berhadapan dengan Dio. “Kamu yang b
Zaman dahulu kala, saat negeri ini masih berupa beberapa kerajaan yang terpisah, terdapat tiga kerajaan besar yang menjadi induk dari kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Gunada di barat, Erlangga di timur, dan Melodia di selatan. Ketiga kerajaan itu memimpin dengan bijak, tak ada satupun keluhan terdengar dari para warga yang ada dalam naungannya. Kabar akan kesejahteraan masing-masing pun terdengar oleh satu sama lain. Yang pertama membuka celah interaksi adalah adanya undangan dari Kerajaan Erlangga pada kedua kerajaan tersebut. Dari sana mereka beraliansi, membentuk sebuah tatanan yang menghasilkan lebih dari apa yang disebut kesejahteraan. Dan sejak saat itu, tiga kerajaan besar itu disebut Trikula. Namun tak ada sejarah damai yang akan berlangsung selamanya. Percikan api konflik dimulai saat kebetulan Erlangga dan Gunada sama-sama mempunyai raja yang berusia muda. Tak seperti kedua kerajaan itu yang dipimpin seorang raja, Melodia selalu dipimpin seorang ratu, yang sialnya ada
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang