Hari ini Dio menemukan fakta baru tentang gadis bernama Lily itu. Alasan kenapa ia bersikap seperti bocah pembuat masalah, adalah satu, dia sama sekali belum mendapat penjelasan mengenai rumah siapa ini, kenapa ia secara paksa dibawa kemari, dan apa yang mereka inginkan darinya. Kedua, semua orang di rumah itu memperlakukannya bagai seorang putri, para pelayan nyaris memandikan dan menyuapinya makan. Dio masih ingat jelas bagaimana gadis itu begitu frustrasi saat dia berkata dengan jengkel, “aku tidak bisa makan dengan banyak sendok dan garpu sambil dipelototi para pelayan itu!!!”
Karena itu, kali ini Dio membawanya ke sudut labirin mawar yang dinaungi oleh sebuah pohon besar.
“Ini tempat rahasiaku.” Dio duduk begitu saja di rumput sambil meletakan beberapa kotak makanan.
“Kau benar-benar hafal jalur di labirin ini?” tanya Lily.
Dio terkekeh, “karena aku yang menciptakannya. Ada petanya kalau kamu mau lihat.”
Lily sedikit terperanjat dan duduk berhadapan dengan Dio.
“Kamu yang buat? Dan lagi ada petanya?”
Dio mengangguk.
“Nanti kuberikan agar kamu bisa berjalan-jalan di labirin tanpa tersesat.”
Dio membuka kotak makanan yang dia bawa dan mencuci tangannya dari air di botol plastik. Kemudian menyodorkannya pada Lily.
“Silakan, Tuan putri,” ucap Dio sambil tersenyum.
Gadis itu merengut sebal, “Sudah kubilang aku bukan putri!”
Dio mematung sesaat sebelum terkekeh lagi, “Ahaha, maaf, maaf. Yang Dio lakukan setengahnya disengaja. Dia senang melihat ekspresi kesal gadis itu. baginya itu tampak lucu.”
Lily cemberut dengan alis mengkerut dan menatap Dio dengan sebal, lalu dengan cepat merebut botol plastik dari tangan Dio. Dalam hati, Dio kembali terheran dan semakin penasaran dengan gadis muda yang satu itu. Mereka pun makan dengan damai. Lily tak perlu menghawatirkan kehadiran dan tatapan para pelayan di tempat yang hanya ada angin, rumput, mawar, dan Dio yang fokus pada makanannya. Tanpa sadar Lily sudah banyak menurunkan kewaspadaanya pada pria itu. Ini kali pertama dia bisa makan dengan lahap setelah orang-orang itu membawanya ke rumah besar yang sangat asing di matanya.
Ada satu lagi alasan kenapa Lily bersikap sangat kacau. Yang ketiga ini dia sendiri yang mengatakannya pada Dio. Itu adalah ketidaktahuannya mengenai apa pun tentang Trikula. Lily tahu mereka adalah keluarga super kaya namun hanya sebatas itu. Mendengar pernyataan itu Dio yang penasaran dengan Lily semakin dibuat heran. Menolak untuk pusing lebih lanjut, Dio akhirnya bertanya.
“Lily, bukankah kamu itu putri Keluarga Melodia?”
Beberapa detik berlalu, hening menimpa keduanya yang bertatapan penuh tanda tanya.
“Hah?”
“Eh?”
“Siapa yang putri? Aku cuma perempuan biasa yang kalian culik ke rumah ini!”
Dio ternganga sebelum menutup mulutnya dengan heran. Dia dengan sangat yakin mendengar Arga mengatakan bahwa hari itu mereka akan menemui putri Keluarga Melodia. Apa yang dimaksud adalah orang lain? Tapi para pelayan dan Nyonya Wilma juga memperlakukannya sebagai seorang putri. Dio menatap ponselnya, jalan tercepat adalah dengan bertanya pada Arga tapi niat itu ia urungkan.
“Tidak tahu! Tuan hanya mengatakan untuk menjaga tamu pentingnya dengan baik! Tentu saja dia akan diperlakukan seperti seorang putri!”
Kalimat itu adalah apa yang Monika katakan saat Dio bertanya tentang gadis itu.
“Entahlah, mungkin Tuan hanya memungut anak tersesat lainnya. Ah, Tuanku terlalu baik,” ucap Nyonya Wilma dengan nada bicaranya yang lambat dan kolot saat gilirannya ditanya Dio. Dio paham ‘anak tersesat’ yang dimaksud kepala pelayan tua itu juga mengacu pada dirinya. Dan hari itu pun ditutup dengan identitas Lily yang masih menjadi misteri. Diam-diam Dio menyukai penyelidikan kecilnya ini.
***
Mentari kembali bersinar di hari ketiga saat Lily terbangun dari sebuah kamar indah di dalam vila megah itu. Balkonnya saat ini sudah ramai dikunjungi burung-burung kecil lagi. Lily memberi mereka remah roti. Berkat seseorang kini burung-burung itu tampaknya sudah menandai balkonnya sebagai salah satu spot makanan gratis yang wajib dikunjungi. Saat dedaunan bergemerisik tidak normal, kini Lily tidak lagi terkejut, tentu itu adalah orang yang baru saja terlintas di pikirannya.
“Selamat pagi.”
Di sana, di atas dahan yang menjulur ke balkonnya duduk seorang pria berambut sebahu yang tampan rupawan. Gadis-gadis pada umumnya mungkin akan sangat terpesona dengan pemandangan itu, namun Lily malah menatapnya dengan tatapan sinis yang dibuat-buat.
“Hmmm,” balasnya pada sapaan ramah itu.
“Mereka tampak menyukaimu.
Dio tersenyum kecil melihat burung-burung yang berebut remah roti dari tangan Lily.
“Karena aku punya apa yang mereka mau.” Lily menimpali dengan dingin.
Dio terdiam beberapa saat sebelum berkata, “jadi kau akan menyukaiku jika aku punya apa yang kau mau?”
Seketika Lily menoleh dengan tatapan kesal, pita suaranya sudah bersiap mengeluarkan nada tinggi namun mulutnya ia tutup lagi. Dia memutuskan bermain dengan kalimat pria itu.
“Mungkin saja. Lalu apa yang kau punya?”
Dio tersenyum. Rasanya ada yang menggelitik perutnya untuk tersenyum lebih lebar namun berhasil ia tahan.
“Sejarah Trikula. Kamu ingin tahu tentang itu, kan?”
Lily melempar tatapan mengejek. Itu memang lumayan membuatnya penasaran namun tak sampai menjadi informasi yang menguntungkan. Melihat itu Dio merasa tartantang.
“Sejarah Trikula dan hubungannya dengan dirimu. Alasan kenapa dirimu ada di sini sekarang.”
Dan itu cukup membuat Lily bungkam sambil kembali memasang tampang sebal. Dalam hati Dio terkekeh, gadis itu sangat tidak suka kalah. Selain terkekeh dia juga merasa sedikit meringis, karena jujur saja dia sama sekali tidak tahu apa hubungan gadis itu dengan Trikula ini. Otaknya langsung mengutuk dirinya yang sama keras kepalanya dengan gadis itu. Seketika dia mencari cara yang mungkin bisa membebaskannya dari kebodohan tersembunyi ini.
“Tapi ada syaratnya,” spontan Dio berucap.
Lily mendelik, “dan apa itu?”
“Kau juga harus menceritakan semua tentang dirimu sebelum dibawa ke rumah ini.”
Dio terkejut dengan suaranya sendiri. Bahkan menurut dirinya itu terdengar berlebihan.
“Oke.” Dan jawaban gadis itu menetralkan semuanya.
Dio meloncat dari dahan pohon dan kini duduk bersandar di pagar balkon, tepat di samping Lily dan para burung yang masih ramai.
“Baiklah, mari kita mulai.”
Zaman dahulu kala, saat negeri ini masih berupa beberapa kerajaan yang terpisah, terdapat tiga kerajaan besar yang menjadi induk dari kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Gunada di barat, Erlangga di timur, dan Melodia di selatan. Ketiga kerajaan itu memimpin dengan bijak, tak ada satupun keluhan terdengar dari para warga yang ada dalam naungannya. Kabar akan kesejahteraan masing-masing pun terdengar oleh satu sama lain. Yang pertama membuka celah interaksi adalah adanya undangan dari Kerajaan Erlangga pada kedua kerajaan tersebut. Dari sana mereka beraliansi, membentuk sebuah tatanan yang menghasilkan lebih dari apa yang disebut kesejahteraan. Dan sejak saat itu, tiga kerajaan besar itu disebut Trikula. Namun tak ada sejarah damai yang akan berlangsung selamanya. Percikan api konflik dimulai saat kebetulan Erlangga dan Gunada sama-sama mempunyai raja yang berusia muda. Tak seperti kedua kerajaan itu yang dipimpin seorang raja, Melodia selalu dipimpin seorang ratu, yang sialnya ada
Di halaman depan vila, tampak beberapa mobil hitam berjajar. Orang-orang tinggi besar yang tadi di dalamnya kini berbaris mengikuti seorang wanita bangsawan yang tampak anggun sekaligus dominan. Semua yang ada di sana tahu siapa itu, terutama Nyonya Wilma yang paham betul derajat wanita ini setara dengan Tuannya. Nyonya Wilma sudah memberikan penyambutan terbaiknya di depan pintu utama, namun wanita itu tampak tak tertarik basa-basi dan dengan tegas meminta bertemu dengan Arga. “Mohon maaf sebelumnya, tapi Tuan kami-“ “Ah, sudah cukup. Aku hanya ingin mengambil kembali milikku yang dia curi.” Tangan wanita itu terangkat dan spontan para pria tinggi besar di belakangnya berpencar, ada yang masuk ke vila, ada yang pergi ke arah taman. Para penjaga Erlangga yang jumlahnya tidak banyak merasa geram, namun tuannya sudah memerintahkan untuk sebisa mungkin menghindari konflik dengan keluarga lain untuk saat ini. Mereka akhirnya hanya memastikan orang-orang itu tak menyakiti siapa pun dan
Lily berdiri di sebuah tempat yang luas. Luas sampai angin yang membelai rambut coklat bergelombangnya mungkin adalah angin dari belahan dunia lain. Dia terkejut saat kakinya yang tak mengenakan alas disapu dinginnya gelombang air berbuih. Dia mundur beberapa langkah, menyadari dirinya sedang berdiri di hadapan cakrawala. Camar terbang melengkung, udara berbau garam, dan air laut yang terhampar sampai seolah menyentuh langit, adalah pemandangan yang membuatnya rindu sekaligus sedih. “Lily.” Dia menoleh, seseorang tak jauh di belakangnya melambai dan tersenyum. Seorang pria dengan rambut coklat dan wajah ramah yang tak asing. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Seketika ia sadar itu adalah mimpi. Dia langsung dirasuki perasaan untuk segera bangun dari tidur, namun pria itu menghampiri dan menggenggam tangannya. “Kenapa menangis? Hm?” Dia harus menengadah untuk melihat wajah pria itu, lalu ia menatap tangan dan kakinya. Itu adalah tubuhnya saat masih kecil. “Ayah?” ia memanggi
Kisahnya bermula di sebuah pesisir selatan, sebuah tampat yang menghadap langsung ke arah samudra. Pemandangan yang ia lihat setiap hari adalah ayah ibunya, rumah kayunya yang sederhana, tetangga-tetangga yang ramah, jaring-jaring ikan, perahu-perahu, dan pasir pantai yang berkerlap-kerlip bagai permata, meski aslinya itu hanya pantulan bijih besi yang terkandung di dalam pasir. Ia hidup dengan bahagia sebagai seorang anak pesisir yang riang, sebagai gadis bernama Lily, hanya Lily saja. Kadang, saat malam ayahnya akan memainkan sebuah biola di serambi rumah, membuat ia dan ibunya terbuai indahnya alunan melodi lain selain deburan ombak dan desiran angin malam. Lily sudah tertarik pada biola itu sejak kecil, ia sering memainkannya dan sesekali diajari ayahnya. Anak-anak sekitar sana pun senang mendengarnya bermain. Baginya itu adalah dunia kecilnya yang sempurna. Sampai suatu saat sebuah bencana membuat dunia itu menjadi suram dan sepi. Desanya diserang sebuah wabah, ayah ibunya, dan
Sejak pagi kediaman Erlangga telah ribut oleh perkacakapan para pelayan. Lily yang terbangun karena kegaduhan itu, namun dia sama sekali tak ambil pusing dan langsung menuju kamar mandi. Dengan masih setengah terpejam ia memutar kran dan dihinggapi sebuah kejanggalan akan hilangnya suara air yang seharusnya sudah terdengar seiring dengan alirannya yang membasahi tangan Lily. Matanya pun terbuka sepenuhnya memastikan bahwa memang tak ada air di sana. Ia memutar-mutar kran, namun hasilnya tetap sama. Seketika dia paham kenapa para pelayan itu ribut sejak pagi. Lily keluar kamar setelah mengganti baju tidurnya. Rambutnya ia ikat sekenanya dan turun ke lantai bawah. Ia perlu seseorang untuk menanyakan situasi, namun para pelayan yang tadi ribut kini menghilang. Dia seketika hendak membuka mulut ketika matanya menangkap siluet seseorang berpakaian pelayan, namun lidahnya segera tertahan dan moodnya mendadak berubah jengkel saat melihat pelayan itu berpotongan rambut bob. “Dari semua orang
Suatu siang, saat Lily sedang membantu bersih-bersih, ia mendengar pembicaraan beberapa pelayan bahwa mereka baru saja diselamatkan tiga pendekar. Apa yang didengarnya itu tentu saja membuat alisnya mengernyit karena terdengar seperti sebuah dialog dalam film fantasi. Lily awalnya berpikir mungkin ia salah dengar dan orang itu hanya sedang membicarakan film. Tapi sebutan ‘tiga pendekar’ itu dia dengar lagi dan lagi. “Hari ini aku dimarahi tiga pendekar.” “Tadi tiga pendekar menyuruhku membawa ini ke sana.” “Sudah lama ya, tidak dilatih tiga pendekar.” Dan semua yang ia dengar itu membuatnya penasaran setengah mati. Ia ingin bertanya, tapi para pelayan itu selalu sungkan tiap bicara dengannya. Jadi yang terlintas di kepala Lily hanya ada empat orang untuk ditanyai. Namun dengan segera Lily mengoreksi pemikirannya barusan. Silvi akan sedikit sulit jika ditanya tanpa disuap makanan, dan Monika … “ugh”, memikirkannya saja Lily sudah malas. Jadi kesimpulannya ada dua orang yang bisa di
Setelah mengetahui soal tiga pendekar, Lily meminta kepada Adelin untuk diajari bela diri. Namun ia sibuk dan merasa keterampilannya tidak akan cocok untuk Lily. Meski di sebut tiga pendekar dan punya kemampuan yang hebat, namun mereka bertiga ternyata memiliki spesialisasi masing-masing. Silvi jago karate, Monika lebih ke taekwondo, sedangkan Adelin tak punya keahlian khusus, ia bisa semua dasar bela diri dan memakainya dalam pertarungan dengan caranya sendiri. Jadi Adelin menyarankan belajar kepada Silvi. Lily menuruti saran Adelin dan Silvi setuju mengajarinya, karena itu saat sore ketika pekerjaan rumah sudah selesai, ia memulai latihannya dan dibuat heran karena yang ia lakukan setelah satu jam latihan dimulai hanya duduk ala sinden dengan badan tegap dan berhadapan dengan Silvi yang bermeditasi dengan posisi bersila. “Uhm … Silvi?” Tak ada respons, Silvi masih terpejam dengan posisi tangan yang serupa dengan para pertapa. Lily sudah tak bisa duduk dengan seimbang, kakinya ter
Lily termenung, membiarkan selang air di tangannya terus menyiram bunga yang sama. Itu pertama kali seseorang mengatakan hal semacam itu padanya. Dua puluh dua tahun hidupnya sama sekali belum pernah dihinggapi hal-hal berbau romansa. Jadi kini ia bingung dan tak menyangka ketika ada seorang pria dengan spesifikasi nyaris sempurna mengatakan cinta padanya. Air dari selang tiba-tiba berhenti mengalir, membuat Lily tersadar. Rupanya Adelin mematikan kran di belakangnya. “Bunganya bisa mati kedinginan kalau terus kamu siram.” Lily hanya tertawa hambar, lalu menggulung selangnya ke sisi taman. “Apa ada sesuatu?” Adelin mulai khawatir, gadis itu bukan tipe yang selalu diam. Lalu Adelin melihat Lily sedikit tersentak saat melihat Dio yang lewat di depannya. Seketika dia paham apa yang terjadi. Saat jam makan siang, Lily beristirahat di bawah pohon di sisi labirin bunga yang menjadi tempatnya dulu sering makan bersama Dio. Ia menatap langit dari celah-celah daun yang bergoyang, membiarkan
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang