Di halaman depan vila, tampak beberapa mobil hitam berjajar. Orang-orang tinggi besar yang tadi di dalamnya kini berbaris mengikuti seorang wanita bangsawan yang tampak anggun sekaligus dominan. Semua yang ada di sana tahu siapa itu, terutama Nyonya Wilma yang paham betul derajat wanita ini setara dengan Tuannya. Nyonya Wilma sudah memberikan penyambutan terbaiknya di depan pintu utama, namun wanita itu tampak tak tertarik basa-basi dan dengan tegas meminta bertemu dengan Arga.
“Mohon maaf sebelumnya, tapi Tuan kami-“
“Ah, sudah cukup. Aku hanya ingin mengambil kembali milikku yang dia curi.”
Tangan wanita itu terangkat dan spontan para pria tinggi besar di belakangnya berpencar, ada yang masuk ke vila, ada yang pergi ke arah taman. Para penjaga Erlangga yang jumlahnya tidak banyak merasa geram, namun tuannya sudah memerintahkan untuk sebisa mungkin menghindari konflik dengan keluarga lain untuk saat ini. Mereka akhirnya hanya memastikan orang-orang itu tak menyakiti siapa pun dan tak merusak apa pun di wilayah Erlangga. Nyonya Wilma hanya bisa menghela napas pasrah melihat wanita itu pergi ke arah taman untuk mencari apa yang dia bilang miliknya. Bertahun-tahun dia berurusan dengan keluarga besar ini, namun selain pada tuannya, dia masih saja tak bisa santai saat harus berurusan dengan para kepala keluarga. Benar, wanita alpha itu adalah kepala keluarga Melodia, Elva Melodia. Nyonya Wilma langsung berbalik menatap Adelin yang langsung paham dan bergegas ke sebuah ruangan untuk mengirim pesan pada Dio. Dia ingat betul sebelum pergi, tuannya berpesan padanya tentang keluarga Melodia yang mungkin akan datang dan mencari gadis itu. Dia tak tahu gadis itu siapa tapi dia tak akan pernah mengabaikan perintah tuannya.
***
Lily berlari sedikit terseret oleh Dio yang menarik tangannya. Dio sedikit menunduk ketika berlari agar labirin yang setinggi bahunya itu bisa menutupinya dari apa pun yang mengejar mereka. Sementara Lily yang lebih pendek darinya sudah terkurung dinding labirin tanpa harus menunduk. Lily tak tahu apa yang terjadi, tapi saat melihat ekspresi serius Dio, dia langsung menurut tanpa banyak bertanya. Mereka telah keluar dari labirin, kini ia melalui jalan setapak menuju gerbang belakang vila yang masih cukup jauh. Namun tiba-tiba langkah Dio terhenti membuat Lily menabrak punggungnya.
“Hey! Ada apa?”
“Shhh!” Dio meletakkan telunjuknya di depan bibir. Akhirnya Lily melihat ada seorang pria tinggi besar berjas hitam menoleh ke sana kemari. Mungkin mereka menyusuri benteng dari gerbang depan, pikir Dio. Dia pun kembali menarik Lily, kini ia menjauhi jalan setapak, melewati bagian taman berumput tinggi yang tak terlalu diperhatikan. Namun Dio kembali melihat orang dengan setelan tadi yang ia tahu bukan orang Erlangga. Merasa terpojok, dia membawa Lily bersembunyi di bawah tanaman bunga kertas yang rimbun. Mengetahui bahwa dia sampai membawa orang sebanyak ini untuk mengincar seorang gadis, Dio merasa lebih waspada dan bersumpah tidak akan membiarkan mereka membawa Lily. Dia mulai merasa tangan Lily menjadi dingin. Sepertinya gadis itu mulai ketakutan. Lily melihat si orang besar yang berjalan tak jauh dari mereka lalu menunduk memberi hormat pada seorang wanita. Seketika mata Lily membulat. Wanita itu … dia pernah melihatnya sebelumnya. Dia ingin bertanya sesuatu pada Dio, namun tampaknya Dio sangat serius dan waspada memperhatikan mereka.
“Wanita itu … Elva Melodia. Dia Kepala Keluarga Melodia,” bisik Dio.
Lily terkejut, wanita itu salah satu dari pemimpin Trikula yang diceritakan Dio. Dan wanita itu pernah menemuinya di masa lalu. Sepertinya wanita itu memerintahkan bawahannya untuk kembali. Para orang besar itu pergi menjauhi taman belakang. Lily melihat wanita itu melihat sekeliling sebelum akhirnya dia pun pergi. Lily dan Dio menghembuskan napas lega, namun tiba-tiba tangan Lily yang tak digenggam Dio ditarik seseorang.
“Nona! Saya menemukannya!” teriak orang itu. Dio dengan cepat menggenggam tangan orang yang menarik Lily.
“Lepaskan Dia!”
Orang itu melepasnya, namun langsung mengarahkan tinjunya ke wajah Dio. Terjadi baku hatam antara mereka, Dio cukup lihai meski lawannya orang yang sangat besar. Namun orang itu licik, dia melihat perban yang tak tertutupi lengan baju Dio, lalu mengarahkan pukulan dan tendangannya ke sana. Melihat itu Lily histeris, dia berteriak meminta orang besar itu berhenti namun diabaikan. Lalu dia berbalik, melihat wanita yang mencarinya sedang berjalan mendekat. Dia berlari ke arah wanita itu dan meminta dia menyuruh bawahannya berhenti. Awalnya wanita itu hanya melihatnya dengan dingin, namun akhirnya dia melakukannya. Lily dengan cepat menghampiri Dio yang perbannya berdarah lagi, membantunya duduk bersandar di pangkal pohon palem. Wanita yang mengejarnya, Elva Melodia berjalan menghampiri Lily, dengan disertai tatapan dinginnya ia berkata.
“Kau melanggar janjimu.”
Janji? Lily mengingat-ingat, dulu di masa lalu ia dan wanita itu memang pernah membuat janji.
“Kau mendekati Erlangga agar dia membantumu menuntut hakmu pada Melodia, iya kan?”
Meski telah lama sekali, Lily masih ingat dengan janjinya, dan yang wanita itu tuduhkan sama sekali tak benar.
“Tidak! Aku tidak berencana seperti itu! Aku dibawa kemari secara paksa oleh orang yang bahkan tidak kukenal!”
“Hah!?” mata Elva memicing meremehkan.
“Dia berkata jujur!” Dio yang menahan sakit membelanya sambil terengah-engah. “Dia dibawa kemari secara sepihak atas perintah Tuan Arga.”
Wanita itu kembali menatap Lily, “jadi … kau masih menepati janjimu?” Lily balas menatapnya sambil menangis, khawatir pada Dio. Dia kembali mengulang ingatan tentang janji yang ia buat, lalu dengan yakin mengangguk dan berkata, “aku bersumpah aku tidak akan melanggar janji itu! Aku tidak pernah berencana melanggarnya.”
Lalu wanita itu berbalik tanpa berucap lagi. Bawahannya, si orang besar, tampak curiga.
“Nona …”
Wanita itu berkata tanpa menoleh, “jangan khawatir. Aku tahu orang Erlangga selalu berkata jujur.”
Si bawahannya pun paham, bosnya tidak sepenuhnya percaya pada gadis itu, dan belum selesai urusan dengannya, tapi bosnya percaya pada perkataan pelayan Erlangga bahwa gadis itu tidak menghampiri Erlangga untuk membuat masalah dengan Melodia.
***
Lily telentang di tempat tidurnya malam itu. Kejadian tadi siang membuatnya syok. Setelah Elva Melodia pergi, Dio dilarikan ke rumah sakit. Dirinya sendiri diburu pertanyaan oleh pelayan tentang keadaanya. Karena tak ada yang perlu diobati, dia pun dibiarkan sendiri di kamarnya. Dia terus berbaring tanpa menyalakan lampu maupun menutup pintu balkon yang membuat kulitnya merasakan desiran angin dingin. Lalu tiba-tiba, pintunya terbuka. Lily spontan bangkit, dan dengan cepat menghalangi matanya dari cahaya lampu yang dinyalakan oleh siapa pun yang masuk. Perlahan Lily menyingkirkan tangan dari wajahnya saat matanya mampu berdamai dengan cahaya. Di dalam kamarnya telah berdiri tiga orang pelayan. Lily ingat mereka, soalnya hanya mereka yang seragamnya berbeda dengan pelayan lain.
“Aku tidak akan minta maaf karena telah mengganggumu,” ucap seseorang paling kiri yang memiliki potongan rambut bob medium dengan poni.
“Monika!” Orang yang di tengah membentaknya dengan setengah berbisik. Dia langsung maju beberapa langkah dan menyapa Lily.
“Maaf kalau kami mengganggumu. Sebenarnya, kami mendengar dari Dio kalau Anda- kalau kamu lebih senang makan di labirin bunga. Jadi kalau kamu mau-“
“Ah, tidak perlu.” Dia memang suka makan di sana, tapi alasan utamanya karena ia tak suka ada orang lain di sekitarnya saat makan. Yah, kecuali Dio dan keluargannya dulu. “Lagi pula ini sudah malam,” Lily melirik ke luar pintu, ada rak makanan terparkir di sana, “kalau boleh aku minta makanannya saja.”
Seseorang yang paling kanan di antara mereka, yang tampaknya tidak banyak berekspresi, keluar untuk mendorong rak makanan itu ke dalam kamar. Lily yang masih duduk di atas tempat tidurnya sedikit terbelalak.
“Uhm … aku rasa makanannya terlalu banyak.”
Lalu tiba-tiba si pelayan yang minim ekspresi tadi menutup pintu kamarnya, membuat Lily berfirasat buruk karena ketiga orang itu masih di dalam.
Si pelayan berambut bob meregangkan tangan, “ahh … pekerjaan hari ini lumayan menyiksa, rumput-rumput liar itu cepat sekali tumbuhnya.”
Yang berambut panjang diikat ke belakang, sekaligus yang paling dewasa di antara mereka mengambil kain coklat dari rak makanan dan menghamparkannya di atas tempat tidur Lily, membuat dia sedikit melongo kebingungan. Si pelayan tanpa ekspresi, dengan matanya yang sayu dia menatap makanan dengan datar, lalu memindahkan makanan itu satu persatu ke atas tempat tidur.
“Heh??? Tu-tunggu, tunggu!” Ketiga orang itu mengabaikan kekagetannya dan malah duduk melingkari makanan di atas tempat tidur, lalu menatap Lily.
“’Dia sebenarnya lebih suka makan sendiri, tapi kuharap kalian mau menemaninya, aku takut dia kesepian. Dan juga … tolong jangan bersikap formal padanya,’ adalah apa yang Dio katakan.”
Dalam hati Lily langsung mengutuk Dio yang bicara seenaknya. Dia panik dengan kondisi ini, bingung harus melakukan apa.
“Ayo mulai makan!” ajak pelayan yang paling dewasa.
“Eh?? Ah … sebenarnya kalian tidak usah-“
“Kita tahu kok, kamu itu tidak bisa makan secara formal iya kan? Yah orang kaya memang punya banyak aturan, tapi kami ini cuma pelayan, santai saja lah … “ si rambut bob meracau sesukanya dan mulai melahap ayam goreng yang ia genggam. “Uuhhh makan dengan leluasa begini memang mantap!” racaunya lagi. Pelayan Erlangga dituntut untuk selalu beretika dalam setiap tindak tanduknya. Mereka memang tak harus selalu menerapkan table manner di setiap makan, tapi tetap saja banyak aturan yang membuat tubuh mereka kurang santai.
Si pelayan yang paling dewasa hanya menghela napas pasrah melihatnya, “pastikan tidak makan seperti itu saat ada Nyonya Wilma.”
Mereka bertiga mulai makan, membiarkan Lily melongo melihatnya. Si rambut bob kemudian meliriknya dan mulai jengkel.
“Oy! Kau itu jangan-jangan hanya mau makan dengan Dio? Maaf saja ksatriamu itu akan dikurung beberapa hari kedepan.” Lily kaget mengenai Dio, tapi dia lebih dulu terpancing oleh kalimat pertama wanita itu.
“Bukan begitu! Aku cuma tidak suka makan dengan orang lain!”
“Lalu kenapa dengan Dio bisa?”
Lily sedikit menggertakan gigi menanggapi nada mengejek si rambut bob.
“Sudah, sudah, ini makanlah, tidak apa-apa kan sekali-kali makan dengan teman? Ngomong-ngomong namaku Adelin, ini Monika,” dia menunjuk si rambut bob. “Dan ini silvi,” terakhir ia menepuk pundak si pelayan tanpa ekspresi yang asyik mengunyah nasi sampai pipinya kembung. Lily hendak dengan tegas menolak mereka dan menyuruh mereka keluar, namun perutnya malah berbunyi dengan sangat memalukan. Cepat-cepat dia memeluk perutnya.
“Ahahaha … huk! Uhuk!“ Monika terbahak sampai tersedak. Lily menatapnya jengkel dengan sedikit menyeringai. Lalu Silvi menyodorkan piring ayam goreng ke depan Lily. Akhirnya dia pun mendekat, dan mulai makan meski enggan. Lily makan dalam diam, tidak buruk juga makan dengan mereka, karena mereka sama sekali tak memperhatikannya dan sibuk bercerita. Meskipun sebenarnya yang bercerita adalah Monika, Adelin hanya memperhatikan dan sesekali menjawab, semenara Silvi fokus pada makanannya. Sepertinya dia yang paling lahap makan di sini.
Saat selesai, Monika bangkit dan pindah untuk duduk bersandar di sofa, sementara Adelin dengan anggun merapikan alat-alat makan mereka, dan Silvi masih menikmati anggur pencuci mulutnya. Lily membantu Adelin memindahkan piring-piring ke rak makanan. Dia lalu bertanya mengenai Dio, mereka bilang, Dio harus fokus pada kesembuhan tangannya sehingga tak bisa bertemu dengannya untuk sementara waktu. Di pertemuan malam itu, untuk pertama kalinya Lily makan dan berbicara banyak dengan orang lain selain Dio. Adelin juga memintanya untuk jangan sungkan padanya. Silvi, meski tak banyak berekspresi, dia menggenggam tangan Lily sebelum pergi meninggalkan kamarnya.
“Itu tandanya dia menyukaimu,” bisik Adelin.
“Sampai jumpa besok, Tuan Putri!” lontaran kalimat menyebalkan itu sudah pasti Monika, Lily selalu mengerut alisnya tiap berinteraksi dengan yang satu itu.
Kamar ditutup dari luar, meninggalkan Lily yang berdiri mematung memandangi sekitar. Terasa kosong dan sepi. Ini satu dari sekian alasan kenapa ia tak suka dengan orang lain. Saat mereka pergi, kau menjadi sendiri. Tapi mengingat mungkin masih ada hari esok, dan kesempatan untuk bersama mereka lagi membuat Lily senang, sedikit grogi, dan jengkel saat mengingat Monika. Teman ya … Lily berbaring, tanpa sadar ia makan terlalu banyak, lalu terlelap. Malam itu, ia bermimpi. Mimpinya berisi masa lalu yang sama sekali tidak menyenangkan.
Lily berdiri di sebuah tempat yang luas. Luas sampai angin yang membelai rambut coklat bergelombangnya mungkin adalah angin dari belahan dunia lain. Dia terkejut saat kakinya yang tak mengenakan alas disapu dinginnya gelombang air berbuih. Dia mundur beberapa langkah, menyadari dirinya sedang berdiri di hadapan cakrawala. Camar terbang melengkung, udara berbau garam, dan air laut yang terhampar sampai seolah menyentuh langit, adalah pemandangan yang membuatnya rindu sekaligus sedih. “Lily.” Dia menoleh, seseorang tak jauh di belakangnya melambai dan tersenyum. Seorang pria dengan rambut coklat dan wajah ramah yang tak asing. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Seketika ia sadar itu adalah mimpi. Dia langsung dirasuki perasaan untuk segera bangun dari tidur, namun pria itu menghampiri dan menggenggam tangannya. “Kenapa menangis? Hm?” Dia harus menengadah untuk melihat wajah pria itu, lalu ia menatap tangan dan kakinya. Itu adalah tubuhnya saat masih kecil. “Ayah?” ia memanggi
Kisahnya bermula di sebuah pesisir selatan, sebuah tampat yang menghadap langsung ke arah samudra. Pemandangan yang ia lihat setiap hari adalah ayah ibunya, rumah kayunya yang sederhana, tetangga-tetangga yang ramah, jaring-jaring ikan, perahu-perahu, dan pasir pantai yang berkerlap-kerlip bagai permata, meski aslinya itu hanya pantulan bijih besi yang terkandung di dalam pasir. Ia hidup dengan bahagia sebagai seorang anak pesisir yang riang, sebagai gadis bernama Lily, hanya Lily saja. Kadang, saat malam ayahnya akan memainkan sebuah biola di serambi rumah, membuat ia dan ibunya terbuai indahnya alunan melodi lain selain deburan ombak dan desiran angin malam. Lily sudah tertarik pada biola itu sejak kecil, ia sering memainkannya dan sesekali diajari ayahnya. Anak-anak sekitar sana pun senang mendengarnya bermain. Baginya itu adalah dunia kecilnya yang sempurna. Sampai suatu saat sebuah bencana membuat dunia itu menjadi suram dan sepi. Desanya diserang sebuah wabah, ayah ibunya, dan
Sejak pagi kediaman Erlangga telah ribut oleh perkacakapan para pelayan. Lily yang terbangun karena kegaduhan itu, namun dia sama sekali tak ambil pusing dan langsung menuju kamar mandi. Dengan masih setengah terpejam ia memutar kran dan dihinggapi sebuah kejanggalan akan hilangnya suara air yang seharusnya sudah terdengar seiring dengan alirannya yang membasahi tangan Lily. Matanya pun terbuka sepenuhnya memastikan bahwa memang tak ada air di sana. Ia memutar-mutar kran, namun hasilnya tetap sama. Seketika dia paham kenapa para pelayan itu ribut sejak pagi. Lily keluar kamar setelah mengganti baju tidurnya. Rambutnya ia ikat sekenanya dan turun ke lantai bawah. Ia perlu seseorang untuk menanyakan situasi, namun para pelayan yang tadi ribut kini menghilang. Dia seketika hendak membuka mulut ketika matanya menangkap siluet seseorang berpakaian pelayan, namun lidahnya segera tertahan dan moodnya mendadak berubah jengkel saat melihat pelayan itu berpotongan rambut bob. “Dari semua orang
Suatu siang, saat Lily sedang membantu bersih-bersih, ia mendengar pembicaraan beberapa pelayan bahwa mereka baru saja diselamatkan tiga pendekar. Apa yang didengarnya itu tentu saja membuat alisnya mengernyit karena terdengar seperti sebuah dialog dalam film fantasi. Lily awalnya berpikir mungkin ia salah dengar dan orang itu hanya sedang membicarakan film. Tapi sebutan ‘tiga pendekar’ itu dia dengar lagi dan lagi. “Hari ini aku dimarahi tiga pendekar.” “Tadi tiga pendekar menyuruhku membawa ini ke sana.” “Sudah lama ya, tidak dilatih tiga pendekar.” Dan semua yang ia dengar itu membuatnya penasaran setengah mati. Ia ingin bertanya, tapi para pelayan itu selalu sungkan tiap bicara dengannya. Jadi yang terlintas di kepala Lily hanya ada empat orang untuk ditanyai. Namun dengan segera Lily mengoreksi pemikirannya barusan. Silvi akan sedikit sulit jika ditanya tanpa disuap makanan, dan Monika … “ugh”, memikirkannya saja Lily sudah malas. Jadi kesimpulannya ada dua orang yang bisa di
Setelah mengetahui soal tiga pendekar, Lily meminta kepada Adelin untuk diajari bela diri. Namun ia sibuk dan merasa keterampilannya tidak akan cocok untuk Lily. Meski di sebut tiga pendekar dan punya kemampuan yang hebat, namun mereka bertiga ternyata memiliki spesialisasi masing-masing. Silvi jago karate, Monika lebih ke taekwondo, sedangkan Adelin tak punya keahlian khusus, ia bisa semua dasar bela diri dan memakainya dalam pertarungan dengan caranya sendiri. Jadi Adelin menyarankan belajar kepada Silvi. Lily menuruti saran Adelin dan Silvi setuju mengajarinya, karena itu saat sore ketika pekerjaan rumah sudah selesai, ia memulai latihannya dan dibuat heran karena yang ia lakukan setelah satu jam latihan dimulai hanya duduk ala sinden dengan badan tegap dan berhadapan dengan Silvi yang bermeditasi dengan posisi bersila. “Uhm … Silvi?” Tak ada respons, Silvi masih terpejam dengan posisi tangan yang serupa dengan para pertapa. Lily sudah tak bisa duduk dengan seimbang, kakinya ter
Lily termenung, membiarkan selang air di tangannya terus menyiram bunga yang sama. Itu pertama kali seseorang mengatakan hal semacam itu padanya. Dua puluh dua tahun hidupnya sama sekali belum pernah dihinggapi hal-hal berbau romansa. Jadi kini ia bingung dan tak menyangka ketika ada seorang pria dengan spesifikasi nyaris sempurna mengatakan cinta padanya. Air dari selang tiba-tiba berhenti mengalir, membuat Lily tersadar. Rupanya Adelin mematikan kran di belakangnya. “Bunganya bisa mati kedinginan kalau terus kamu siram.” Lily hanya tertawa hambar, lalu menggulung selangnya ke sisi taman. “Apa ada sesuatu?” Adelin mulai khawatir, gadis itu bukan tipe yang selalu diam. Lalu Adelin melihat Lily sedikit tersentak saat melihat Dio yang lewat di depannya. Seketika dia paham apa yang terjadi. Saat jam makan siang, Lily beristirahat di bawah pohon di sisi labirin bunga yang menjadi tempatnya dulu sering makan bersama Dio. Ia menatap langit dari celah-celah daun yang bergoyang, membiarkan
Dia berjanji akan serius namun nyatanya Lily cukup kewalahan memikirkannya. Ia sama sekali tak mengenal dunia percintaan, bahkan ia sama sekali tak paham harus mulai berpikir dari mana. Karena itu malam harinya ia langsung mencari Adelin dan mengajaknya menginap di kamarnya, agar dua orang lainnya tidak mengganggu pembicaraan serius mereka. Setelah Adelin di kamarnya, ia mulai menjelaskan kondisi yang ada seolah menceritakan suatu kasus. Adelin tersenyum kecil, ia sama sekali tak memberitahu Lily kalau ia sudah tahu kondisi itu bahkan sebelum Dio, si pelaku pembuat kasus, menyadari perasaannya. “Jadi begitulah, apa yang harus aku lakukan sekarang?” “Menurutku, jujurlah pada dirimu. Bagaimana perasaanmu terhadap Dio?” Adelin bertanya, namun Lily memasang tampang ragu, ia sendiri tak yakin dengan apa yang ia rasakan. “Sebagian orang dengan mudah jatuh cinta, sebagian lagi butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa merasakan cinta. Sebagian datang tanpa diundang, sebagian datang karena sel
Esok paginya keadaan vila menjadi lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan mondar-mandir dengan lebih gesit, bunga-bunga dalam vas terlihat baru, segar dan wangi, karpet-karpet diganti, lantai dan keramik-keramik kinclong tanpa debu maupun sidik jari. Ruang makan dengan meja panjangnya yang tak pernah digunakan menjadi penuh dengan makanan lezat dan hiasan yang juga tampak lezat. Benar, pagi ini semuanya menjadi sangat sibuk dan bersemangat karena tuan mereka sudah kembali. Terlebih lagi ia kembali tanpa kabar sebelumnya, membuat Nyonya Wilma mendadak menjadi seperti pemandu sorak yang memberikan perintah ini itu pada para pelayan. Arga pulang lewat gerbang belakang semalam. Awalnya ia bersama dengan sopirnya dan Paman Yoga, namun Paman Yoga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Akhirnya setelah mengantar Arga, pak supir diminta untuk mengantar pria tua itu sekaligus menginap di rumahnya karena sudah malam. Arga yang tak ingin membuat heboh seisi rumah meminta diturunkan di gerbang bel