Esok paginya keadaan vila menjadi lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan mondar-mandir dengan lebih gesit, bunga-bunga dalam vas terlihat baru, segar dan wangi, karpet-karpet diganti, lantai dan keramik-keramik kinclong tanpa debu maupun sidik jari. Ruang makan dengan meja panjangnya yang tak pernah digunakan menjadi penuh dengan makanan lezat dan hiasan yang juga tampak lezat. Benar, pagi ini semuanya menjadi sangat sibuk dan bersemangat karena tuan mereka sudah kembali. Terlebih lagi ia kembali tanpa kabar sebelumnya, membuat Nyonya Wilma mendadak menjadi seperti pemandu sorak yang memberikan perintah ini itu pada para pelayan. Arga pulang lewat gerbang belakang semalam. Awalnya ia bersama dengan sopirnya dan Paman Yoga, namun Paman Yoga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Akhirnya setelah mengantar Arga, pak supir diminta untuk mengantar pria tua itu sekaligus menginap di rumahnya karena sudah malam. Arga yang tak ingin membuat heboh seisi rumah meminta diturunkan di gerbang bel
Suatu siang, Arga dan Dio sedang berjalan menuju ruang tamu saat tiba-tiba ia mendengar teriakan Lily dari depan. Mereka spontan berlari, dan di sana, Lily sedang berpelukan erat dengan seorang pria tua berjas abu-abu yang sewarna dengan rambutnya. Arga dan Dio yang melihat itu sedikit ternganga, dalam hati mereka merasa dikalahkan oleh orang itu, yang tiada lain adalah tangan kanan Arga, Paman Yoga. “Hahaha, maaf baru bisa menemuimu sekarang.” Paman Yoga dengan tawa khas orang tuanya membelai pucuk kepala Lily. Lily begitu gembira, Dio yakin itu wajah Lily yang paling bahagia sejak pertama kali dia tiba di rumah ini. Melihat itu membuat Dio jadi melupakan pertanyaan kenapa Lily dan Paman saling kenal. Semenjak bertemu Paman Yoga, Lily tampak lebih bersemangat. Sebelumnya ia ketakutan di rumah asing ini. Namun setelah dia akrab dengan Dio dan yang lain ia jadi merasa punya teman. Tapi semenjak ia melihat Paman Yoga di sini, ia merasa tak perlu ada yang dikhawatirkan. Mungkin dalam be
“Miaw … “ Seekor kucing berlarian ke sana ke mari berusaha menangkap apa pun yang terlihat bergerak. Badannya yang kecil kadang terlempar karena ulah lompatannya sendiri. “Eh?? Ada kucing!?” Para pelayan gempar, mereka mencoba menangkapnya tapi kucing itu lincah bukan main. Nyonya Wilma yang takut kucing mengangkat sebelah kakinya dan berteriak histeris saat kucing itu melompat-melompat mencoba menangkap hiasan renda yang menjuntai dari roknya. Lily mengintip dari ujung tangga, penasaran dengan hal apa lagi yang membuat rumah ini menjadi heboh. Dia diam-diam selalu senang dan terhibur tiap ada sesuatu yang membuat rumah ini gempar. Terdengar suara beberapa piring pecah dari arah dapur, Lily menuruni tangga dan melihat seekor kucing kecil putih yang jadi pusat kekacauan. Seketika dia ingat, itu kucing yang ia temui saat bersama Arga. Setelah malam itu ia tak melihatnya lagi. Lily langsung berusaha menangkapnya, ia menunduk melewati beberapa pelayan yang histeris, si kucing masih me
Rupanya yang melihat Arga dan Lily keluar dari labirin bunga bukan hanya Dio dan Monika, ada sepasang mata tua yang melihat mereka dari kejauhan dan tampak tak senang dengan kedekatan yang mereka pancarkan. Nyonya Wilma berjalan anggun memperhatikan tiap pekerja yang ada di bawah tanggung jawabnya. Matanya menelisik tiap gerak para pekerja dan ujung jarinya akan menyentuh tiap furnitur yang dilewatinya. Jika ia melihat tingkah tak beradab atau melanggar aturan, atau ketika ujung jarinya mendapati secuil debu, maka tatapan sinis akan tarpasang, suaranya yang berfrekuensi tinggi menggema, memanggil pekerja bersangkutan yang lalai dalam tugasnya. Dan siapa pun pekerja itu, akan menghabiskan sepanjang harinya dalam mimpi buruk yang mengerikan. Di antara tiga pendekar, hanya Monika yang pernah merasakan mimpi buruk itu, namun sayangnya ia tak pernah kapok, bukannya berusaha untuk tak memancing kemarahan Nyonya Wilma, dia malah selalu mencari celah untuk menghindar dan terbebas dari cengke
Beberapa hari setelah Paman Yoga ada di vila, ia mengatakan akan kedatangan anaknya yang akan mulai belajar bekerja di bawah bimbingan Paman Yoga sendiri. Paman Yoga punya seorang anak laki-laki yang kini berusia 23 tahun, satu tahun lebih muda dari Arga dan Dio. Dulu Lily hidup bersama keluarga itu, namun setelah putranya keluar kota untuk sekolah, dan istrinya meninggal, Lily hidup sendirian di rumah Paman Yoga dan hanya sesekali dijenguk olehnya. Arga yang mendengar putra Pamannya itu akan datang, tiba-tiba merasakan firasar buruk. Dan benar saja, ketika seseorang yang tampak seperti Paman Yoga versi muda tiba dengan aura ceria dan positifnya, Lily langsung menyambutnya dengan akrab sebagaimana yang ia lakukan pada Paman Yoga. Tangan Lily dan pria muda itu saling bertaut, lalu mereka berputar-putar sambil tertawa, persis seperti anak TK yang sedang bermain ria. Arga yang melihatnya mematung dan setengah ternganga, sebelum akhirnya sedikit berejengit saat Dio menepuk pundaknya. “Uw
Paman Yoga dan Yogi kembali berkunjung ke vila. Mereka dikejutkan dengan suasana tempat itu yang tidak seperti biasanya. Arga menyibukkan diri bekerja di ruangannya dan tak mau ditemui siapa pun, Dio terus menerus memukul samsak yang ia gantung di gudang perkakasnya, Lily mengepel lantai dengan mata kosong dan aura negatif menyelimutinya. Yogi pun bertanya pada ayahnya. “Apa kita datang di waktu yang salah?” Paman Yoga hanya mendesah lelah, “kebetulan. Kali-kali gunakan isi kepalamu itu untuk sesuatu yang berguna.” “Ehh?” Yogi merengek mendengar itu. Kemudian dia teringat sesuatu, apakah Adelin pujaannya baik-baik saja? Pemuda enerjik itu melesat cepat menyusuri tiap ruangan, mencari keberadaan malaikat tak bersayap yang berhasil mencuri hatinya sejak pandangan pertama. Begitu sosok rupawan itu tertangkap netra hitamnya, ia berbinar dan meregankan tangan sambil berteriak, “Nona Adeliiiiinn … “ BUAGH! Sebuah tinju menghantam perut Yogi membuatnya meringkuk mengusap bagian itu. Mata
Masalah dengan Elvina telah selesai, sekarang Arga mempunyai dukungan keluarga itu tanpa syarat kapan pun ia butuhkan, meski sebenarnya dia sudah memilikinya dari awal. Satu masalah yang tersisa di otaknya adalah Lily yang sampai sekarang menjauh ketika melihatnya. Suatu sore Yogi datang menemuinya, namun gadis itu tampak belum menemukan kembali keceriaannya. Dan ketika Arga tak kunjung menemukan ide untuk memulai pembicaraannya dengan Lily, Dio datang dengan ekspresi tak senang. “Kau yakin tidak melupakan sesuatu?” Dio menyilangkan dada, bersandar pada tembok di ruang kerja Arga. Arga yang paham maksudnya menjawab tanpa menoleh, fokusnya tak teralihkan dari laptop di depannya. “Aku sudah menemui Nyonya Wilma dan menegurnya soal tingkahnya pada Lily. Dari dulu dia memang selalu keras pada pelayan yang sedang dalam masa pelatihan.” Dio sedikit kesal mendengar perkataan itu yang dipilih Arga untuk mendeskripsikan si nenek iblis. “Dari yang kulihat dia sama sekali tak berniat untuk m
Hari ini vila bagian belakang yang penerangannya rusak, akhirnya bisa kembali menyala. Dio dan beberapa pelayan pria selesai memperbaikinya meski butuh waktu lama. “Vila tua yang tangguh,” ucap paman Yoga saat ia berdiri di halaman belakang melihat vila yang menjulang di depannya. Dia sedang berkunjung sekaligus membawa beberapa makanan bagi Dio dan para pelayan yang bekerja memperbaiki vila yang saat ini sedang duduk-duduk beristirahat di rumput taman. Arga menghampirinya, “Paman, terima kasih makanannya.” “Ah, itu bukan apa-apa Tuan.” Paman Yoga lalu merogoh saku jasnya, dan menyodorkan sebuah undangan putih berpita merah muda. “Ini untuk Anda.” Arga menerimanya, itu undangan pernikahan salah satu koleganya. Ia memperhatikan undangan itu sambil terdiam, tak lama ia mendengar Lily yang sedang berbincang dengan tiga pendekar. Ia kini tampak ceria, mereka saling memandang sebelum Lily akhirnya cepat-cepat mengalihkan pandangannya dengan gugup. Arga tersenyum melihat tingkahnya, dan
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang