Rupanya yang melihat Arga dan Lily keluar dari labirin bunga bukan hanya Dio dan Monika, ada sepasang mata tua yang melihat mereka dari kejauhan dan tampak tak senang dengan kedekatan yang mereka pancarkan. Nyonya Wilma berjalan anggun memperhatikan tiap pekerja yang ada di bawah tanggung jawabnya. Matanya menelisik tiap gerak para pekerja dan ujung jarinya akan menyentuh tiap furnitur yang dilewatinya. Jika ia melihat tingkah tak beradab atau melanggar aturan, atau ketika ujung jarinya mendapati secuil debu, maka tatapan sinis akan tarpasang, suaranya yang berfrekuensi tinggi menggema, memanggil pekerja bersangkutan yang lalai dalam tugasnya. Dan siapa pun pekerja itu, akan menghabiskan sepanjang harinya dalam mimpi buruk yang mengerikan. Di antara tiga pendekar, hanya Monika yang pernah merasakan mimpi buruk itu, namun sayangnya ia tak pernah kapok, bukannya berusaha untuk tak memancing kemarahan Nyonya Wilma, dia malah selalu mencari celah untuk menghindar dan terbebas dari cengke
Beberapa hari setelah Paman Yoga ada di vila, ia mengatakan akan kedatangan anaknya yang akan mulai belajar bekerja di bawah bimbingan Paman Yoga sendiri. Paman Yoga punya seorang anak laki-laki yang kini berusia 23 tahun, satu tahun lebih muda dari Arga dan Dio. Dulu Lily hidup bersama keluarga itu, namun setelah putranya keluar kota untuk sekolah, dan istrinya meninggal, Lily hidup sendirian di rumah Paman Yoga dan hanya sesekali dijenguk olehnya. Arga yang mendengar putra Pamannya itu akan datang, tiba-tiba merasakan firasar buruk. Dan benar saja, ketika seseorang yang tampak seperti Paman Yoga versi muda tiba dengan aura ceria dan positifnya, Lily langsung menyambutnya dengan akrab sebagaimana yang ia lakukan pada Paman Yoga. Tangan Lily dan pria muda itu saling bertaut, lalu mereka berputar-putar sambil tertawa, persis seperti anak TK yang sedang bermain ria. Arga yang melihatnya mematung dan setengah ternganga, sebelum akhirnya sedikit berejengit saat Dio menepuk pundaknya. “Uw
Paman Yoga dan Yogi kembali berkunjung ke vila. Mereka dikejutkan dengan suasana tempat itu yang tidak seperti biasanya. Arga menyibukkan diri bekerja di ruangannya dan tak mau ditemui siapa pun, Dio terus menerus memukul samsak yang ia gantung di gudang perkakasnya, Lily mengepel lantai dengan mata kosong dan aura negatif menyelimutinya. Yogi pun bertanya pada ayahnya. “Apa kita datang di waktu yang salah?” Paman Yoga hanya mendesah lelah, “kebetulan. Kali-kali gunakan isi kepalamu itu untuk sesuatu yang berguna.” “Ehh?” Yogi merengek mendengar itu. Kemudian dia teringat sesuatu, apakah Adelin pujaannya baik-baik saja? Pemuda enerjik itu melesat cepat menyusuri tiap ruangan, mencari keberadaan malaikat tak bersayap yang berhasil mencuri hatinya sejak pandangan pertama. Begitu sosok rupawan itu tertangkap netra hitamnya, ia berbinar dan meregankan tangan sambil berteriak, “Nona Adeliiiiinn … “ BUAGH! Sebuah tinju menghantam perut Yogi membuatnya meringkuk mengusap bagian itu. Mata
Masalah dengan Elvina telah selesai, sekarang Arga mempunyai dukungan keluarga itu tanpa syarat kapan pun ia butuhkan, meski sebenarnya dia sudah memilikinya dari awal. Satu masalah yang tersisa di otaknya adalah Lily yang sampai sekarang menjauh ketika melihatnya. Suatu sore Yogi datang menemuinya, namun gadis itu tampak belum menemukan kembali keceriaannya. Dan ketika Arga tak kunjung menemukan ide untuk memulai pembicaraannya dengan Lily, Dio datang dengan ekspresi tak senang. “Kau yakin tidak melupakan sesuatu?” Dio menyilangkan dada, bersandar pada tembok di ruang kerja Arga. Arga yang paham maksudnya menjawab tanpa menoleh, fokusnya tak teralihkan dari laptop di depannya. “Aku sudah menemui Nyonya Wilma dan menegurnya soal tingkahnya pada Lily. Dari dulu dia memang selalu keras pada pelayan yang sedang dalam masa pelatihan.” Dio sedikit kesal mendengar perkataan itu yang dipilih Arga untuk mendeskripsikan si nenek iblis. “Dari yang kulihat dia sama sekali tak berniat untuk m
Hari ini vila bagian belakang yang penerangannya rusak, akhirnya bisa kembali menyala. Dio dan beberapa pelayan pria selesai memperbaikinya meski butuh waktu lama. “Vila tua yang tangguh,” ucap paman Yoga saat ia berdiri di halaman belakang melihat vila yang menjulang di depannya. Dia sedang berkunjung sekaligus membawa beberapa makanan bagi Dio dan para pelayan yang bekerja memperbaiki vila yang saat ini sedang duduk-duduk beristirahat di rumput taman. Arga menghampirinya, “Paman, terima kasih makanannya.” “Ah, itu bukan apa-apa Tuan.” Paman Yoga lalu merogoh saku jasnya, dan menyodorkan sebuah undangan putih berpita merah muda. “Ini untuk Anda.” Arga menerimanya, itu undangan pernikahan salah satu koleganya. Ia memperhatikan undangan itu sambil terdiam, tak lama ia mendengar Lily yang sedang berbincang dengan tiga pendekar. Ia kini tampak ceria, mereka saling memandang sebelum Lily akhirnya cepat-cepat mengalihkan pandangannya dengan gugup. Arga tersenyum melihat tingkahnya, dan
Monika masuk ke kamar Lily tanpa permisi. Semalam gadis itu sama sekali tidak mengunci kamarnya. Awalnya ia hendak membangunkan Lily dengan kalimat nada tinggi yang mengandung kata-kata penyulut emosi seperti biasanya namun lidahnya mendadak kelu ketika bertatapan dengan gadis itu. Monika memang tak pandai membaca situasi dan perasaan orang, namun sekali lihat pun ia tahu perempuan di hadapannya kini sedang jauh dari kata baik-baik saja. Monika lalu duduk di kursi di depan ranjang Lily. Matanya menatap lurus ke arah gadis yang terduduk di atas ranjangnya memeluk lutut dengan tatapan kosong dan bibir kering yang pucat. “Kau tidak tidur semalaman?” tanya Monika. Tak ada jawaban, Monika bahkan tak tahu gadis itu menyadari kehadirannya atau tidak. Seingatnya tadi malam Lily masih baik-baik saja, ia terakhir melihatnya saat gadis itu dengan riang mengantarkan makanan ke ruangan Arga. Monika pun langsung paham. Ada sesuatu yang terjadi di ruangan tuannya malam itu. “Hey? Kau mendengarku?”
Rumah kediaman Erlangga sekali lagi diselimuti aura negatif karena tuan mereka kembali berada dalam suasana hati yang mengerikan. Yogi yang kembali datang untuk mengantarkan dokumen heran kenapa ia selalu saja datang saat suasananya mencekam. “Terakhir kali begini, aku harus masuk ke sarang penghianat untuk memperbaiki suasananya. Kali ini kira-kira aku harus apa?” gumamnya sendiri saat ia berdiri bersandar di luar pintu ruangan Arga karena sang tuan tidak membukakan pintu untuknya. “Kali ini tidak ada yang bisa kau lakukan.” Sebuah suara menanggapi gumamannya, ternyata itu Dio yang mendekat dari arah tangga. “Lagi pula gara-gara orang sepertimu yang selalu membantu memecahkan masalahnya, dia jadi tumpul untuk membenarkan masalah hidupnya sendiri. Berhenti memanjakan dia!” Dio misuh-misuh, Yogi menatapnya dalam diam, namun pikirannya berkata, “orang yang selalu membantu menyelesaikan masalah dan memanjakan Tuan Arga? Bukannya itu kau!?” Yogi ingin mengatakan itu dengan keras tapi i
Esoknya, siang hari, Arga mematung di dapur. Alasannya karena di tempat yang ia tuju, ada Dio yang sedang fokus menyeduh kopi instan, sama seperti yang akan dia lakukan. Dia yakin dari jarak itu Dio sudah menyadari keberadaannya, namun orang itu tak menggubrisnya sama sekali. Dia pun mendekat, tepat ke sisi kiri Dio yang sedang membuka kemasan kopinya. Wajah Dio penuh dengan plester di hidung, pipi, pelipis dan sisi mulut, sementara Arga hanya di hidung saja, namun tangan kanannya di perban dan tak bisa ia gunakan untuk beberapa hari. Arga lalu menyobek kemasan kopi dengan giginya. Itu kopi hitam lokal tanpa gula, sehingga setelah ia memasukkan kopi ke dalam gelas, ia mulai kesulitan membuka toples berisi gula dengan satu tangan. Dio lalu mengambil toples dari tangannya dan memasukkan dua butir gula padat pada gelas Arga, dan dua butir ke dalam gelasnya sendiri. Mereka lalu bergantian mengisi air panas dari dispenser di depan mereka. Saat akan mengaduk, rak sendok ada tepat disamping