Hari ini vila bagian belakang yang penerangannya rusak, akhirnya bisa kembali menyala. Dio dan beberapa pelayan pria selesai memperbaikinya meski butuh waktu lama. “Vila tua yang tangguh,” ucap paman Yoga saat ia berdiri di halaman belakang melihat vila yang menjulang di depannya. Dia sedang berkunjung sekaligus membawa beberapa makanan bagi Dio dan para pelayan yang bekerja memperbaiki vila yang saat ini sedang duduk-duduk beristirahat di rumput taman. Arga menghampirinya, “Paman, terima kasih makanannya.” “Ah, itu bukan apa-apa Tuan.” Paman Yoga lalu merogoh saku jasnya, dan menyodorkan sebuah undangan putih berpita merah muda. “Ini untuk Anda.” Arga menerimanya, itu undangan pernikahan salah satu koleganya. Ia memperhatikan undangan itu sambil terdiam, tak lama ia mendengar Lily yang sedang berbincang dengan tiga pendekar. Ia kini tampak ceria, mereka saling memandang sebelum Lily akhirnya cepat-cepat mengalihkan pandangannya dengan gugup. Arga tersenyum melihat tingkahnya, dan
Monika masuk ke kamar Lily tanpa permisi. Semalam gadis itu sama sekali tidak mengunci kamarnya. Awalnya ia hendak membangunkan Lily dengan kalimat nada tinggi yang mengandung kata-kata penyulut emosi seperti biasanya namun lidahnya mendadak kelu ketika bertatapan dengan gadis itu. Monika memang tak pandai membaca situasi dan perasaan orang, namun sekali lihat pun ia tahu perempuan di hadapannya kini sedang jauh dari kata baik-baik saja. Monika lalu duduk di kursi di depan ranjang Lily. Matanya menatap lurus ke arah gadis yang terduduk di atas ranjangnya memeluk lutut dengan tatapan kosong dan bibir kering yang pucat. “Kau tidak tidur semalaman?” tanya Monika. Tak ada jawaban, Monika bahkan tak tahu gadis itu menyadari kehadirannya atau tidak. Seingatnya tadi malam Lily masih baik-baik saja, ia terakhir melihatnya saat gadis itu dengan riang mengantarkan makanan ke ruangan Arga. Monika pun langsung paham. Ada sesuatu yang terjadi di ruangan tuannya malam itu. “Hey? Kau mendengarku?”
Rumah kediaman Erlangga sekali lagi diselimuti aura negatif karena tuan mereka kembali berada dalam suasana hati yang mengerikan. Yogi yang kembali datang untuk mengantarkan dokumen heran kenapa ia selalu saja datang saat suasananya mencekam. “Terakhir kali begini, aku harus masuk ke sarang penghianat untuk memperbaiki suasananya. Kali ini kira-kira aku harus apa?” gumamnya sendiri saat ia berdiri bersandar di luar pintu ruangan Arga karena sang tuan tidak membukakan pintu untuknya. “Kali ini tidak ada yang bisa kau lakukan.” Sebuah suara menanggapi gumamannya, ternyata itu Dio yang mendekat dari arah tangga. “Lagi pula gara-gara orang sepertimu yang selalu membantu memecahkan masalahnya, dia jadi tumpul untuk membenarkan masalah hidupnya sendiri. Berhenti memanjakan dia!” Dio misuh-misuh, Yogi menatapnya dalam diam, namun pikirannya berkata, “orang yang selalu membantu menyelesaikan masalah dan memanjakan Tuan Arga? Bukannya itu kau!?” Yogi ingin mengatakan itu dengan keras tapi i
Esoknya, siang hari, Arga mematung di dapur. Alasannya karena di tempat yang ia tuju, ada Dio yang sedang fokus menyeduh kopi instan, sama seperti yang akan dia lakukan. Dia yakin dari jarak itu Dio sudah menyadari keberadaannya, namun orang itu tak menggubrisnya sama sekali. Dia pun mendekat, tepat ke sisi kiri Dio yang sedang membuka kemasan kopinya. Wajah Dio penuh dengan plester di hidung, pipi, pelipis dan sisi mulut, sementara Arga hanya di hidung saja, namun tangan kanannya di perban dan tak bisa ia gunakan untuk beberapa hari. Arga lalu menyobek kemasan kopi dengan giginya. Itu kopi hitam lokal tanpa gula, sehingga setelah ia memasukkan kopi ke dalam gelas, ia mulai kesulitan membuka toples berisi gula dengan satu tangan. Dio lalu mengambil toples dari tangannya dan memasukkan dua butir gula padat pada gelas Arga, dan dua butir ke dalam gelasnya sendiri. Mereka lalu bergantian mengisi air panas dari dispenser di depan mereka. Saat akan mengaduk, rak sendok ada tepat disamping
Malam hari, Arga memasuki ruang kerjanya dan begitu menutup pintu, ia sadar seseorang yang tidak diundang ada di ruangan ini. Ia lalu berjalan dengan santai menuju kursinya, seolah tak menyadari apa pun. Keamanan di rumah ini sudah tak perlu dipertanyakan baginya, karena itu saat ada seseorang yang berhasil menyusup, hanya ada dua kemungkinan, entah itu hantu atau memang seorang elit. Dan Arga belum pernah menemui seorang elit yang sangat pandai menyusup di dunia ini kecuali seseorang yang dia kenal. Maka dari itu, saat seseorang masuk dari pintu balkonnya yang setengah terbuka, ia cuek saja dan melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya. Omong-omong tangannya yang diperban sudah sepenuhnya sembuh. “Keamananmu menurun.” Seseorang itu membuka mulut, membuat suaranya yang dalam dan serak-serak basah merambat ke sekitar ruangan. “Mereka orang-orang baru,” ucap Arga cuek, “penjaga terbaikku wafat saat penyerangan waktu itu,” tambahnya dengan prihatin. “Masih lebih baik dari pada yang l
Meski tak sesuai harapan, namun kasus mata-mata akhirnya selesai. Meski begitu Lemon menyuruh mereka untuk terus berhati-hati, bisa saja mata-matanya ada lebih dari satu. Arga sangat tak senang dengan wacana itu. Baginya rumah adalah tempat bersantai, tempat di mana semua beban bisa ditanggalkan. Sangat tidak menyenangkan jika dia harus waspada pada musuh di dalam rumahnya sendiri. Dio lalu mengingatkan bahwa ‘rumah’ yang Arga maksud itu adalah kediaman salah satu dari Trikula, tentu saja akan ada perbedaan dengan rumah damai yang dihuni sebuah keluarga sederhana. Mendengar itu, Arga hanya cemberut dan memalingkan muka. Melihat keadaan rumahnya yang belum stabil, Arga berjalan-jalan menghampiri para pekerjanya dan bicara dengan mereka tentang kasus mata-mata itu. Sebagian pekerja bahkan takut untuk dekat-dekat dengan lokasi jatuhnya Igas. Arga paham itu sama sekali bukan hal yang sepele, sebuah nyawa baru saja melayang di sana. Arga pun memutuskan mengecek tempat itu, Dio memang berk
Tidak ada yang bisa memilih takdirnya dalam hidup. Semua itu misteri, dan telah melekat pada setiap manusia begitu keberadaanya di muka bumi ini dipastikan. Saat seorang bayi terlahir, dia sudah dihadapkan pada relalita kehidupan yang akan dia jalani, jika dia terlahir dari rahim artis kaya raya, sebelum bisa membuka mata pun dia sudah ratusan kali menjadi objek kamera dan fotonya tersebar dilihat banyak orang yang sama sekali tak ia kenal. Tapi jika dia terlahir dari rahim perempuan miskin yang untuk mencari makan pun sulit, maka realita pertama yang dihadapinya adalah kelaparan, ibunya tak mampu memberikan asi. Kebetulan bayi yang sedang mendapat takdir buruk itu kini sedang menangis di pelukan ibunya yang berpakaian compang-camping, dia duduk di pinggiran gang sebuah kota metropolitan dengan dus bekas di depannya, menganga meminta koin dan lembaran uang dari para pejalan yang lewat. Kebanyakan dari mereka hanya lewat tanpa melihat, bahkan mungkin tak menyadari keberadaan ibu dan a
Apa yang baru saja terjadi benar-benar terasa seperti mimpi. Lemon terpejam, di atas sebuah truk yang mengarah entah ke mana. Di kepalanya hanya ada senyuman pertama dan terakhir Wilo, manusia menyebalkan yang selama ini hanya memanfaatkannya sebagai senjata pencari uang. Dia berkali-kali mencoba untuk mengalahkan pria itu namun selalu gagal. Meskipun kesal mengakuinya, namun dia tahu pria itu adalah pria paling hebat yang pernah dia temui, mungkin secara tidak sadar, Lemon sudah membentuk keyakinan bahwa pria hebat seperti Wilo tidak akan pernah bisa kalah apalagi mati. Mungkin, jauh dari dalam dirinya dia mengagumi pria itu. Mengingat bagaimana bom itu meledak, membuat perasaannya tak tenang dan terus menggumamkan kalimat, “dia tidak akan mati.” Truk itu terus melaju sepanjang malam, sampai matahari terbit pun belum ada tanda-tanda akan berhenti. Ketika hari terang, Lemon bersembunyi ditutupi jerami agar tak terlihat orang lain. Setelah keadaannya sedikit tenang, dia mulai memperha
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang