Tidak ada yang bisa memilih takdirnya dalam hidup. Semua itu misteri, dan telah melekat pada setiap manusia begitu keberadaanya di muka bumi ini dipastikan. Saat seorang bayi terlahir, dia sudah dihadapkan pada relalita kehidupan yang akan dia jalani, jika dia terlahir dari rahim artis kaya raya, sebelum bisa membuka mata pun dia sudah ratusan kali menjadi objek kamera dan fotonya tersebar dilihat banyak orang yang sama sekali tak ia kenal. Tapi jika dia terlahir dari rahim perempuan miskin yang untuk mencari makan pun sulit, maka realita pertama yang dihadapinya adalah kelaparan, ibunya tak mampu memberikan asi. Kebetulan bayi yang sedang mendapat takdir buruk itu kini sedang menangis di pelukan ibunya yang berpakaian compang-camping, dia duduk di pinggiran gang sebuah kota metropolitan dengan dus bekas di depannya, menganga meminta koin dan lembaran uang dari para pejalan yang lewat. Kebanyakan dari mereka hanya lewat tanpa melihat, bahkan mungkin tak menyadari keberadaan ibu dan a
Apa yang baru saja terjadi benar-benar terasa seperti mimpi. Lemon terpejam, di atas sebuah truk yang mengarah entah ke mana. Di kepalanya hanya ada senyuman pertama dan terakhir Wilo, manusia menyebalkan yang selama ini hanya memanfaatkannya sebagai senjata pencari uang. Dia berkali-kali mencoba untuk mengalahkan pria itu namun selalu gagal. Meskipun kesal mengakuinya, namun dia tahu pria itu adalah pria paling hebat yang pernah dia temui, mungkin secara tidak sadar, Lemon sudah membentuk keyakinan bahwa pria hebat seperti Wilo tidak akan pernah bisa kalah apalagi mati. Mungkin, jauh dari dalam dirinya dia mengagumi pria itu. Mengingat bagaimana bom itu meledak, membuat perasaannya tak tenang dan terus menggumamkan kalimat, “dia tidak akan mati.” Truk itu terus melaju sepanjang malam, sampai matahari terbit pun belum ada tanda-tanda akan berhenti. Ketika hari terang, Lemon bersembunyi ditutupi jerami agar tak terlihat orang lain. Setelah keadaannya sedikit tenang, dia mulai memperha
Mansion utama Erlangga akhirnya selesai diperbaiki, Arga Erlangga mengumumkan pada semua bawahannya bahwa mereka akan segera kembali pindah ke sana. Semua pelayan pun tampak sibuk bersiap-siap, termasuk Dio. Dio mendahulukan semua kebutuhan Arga, terutama membereskan dokumen-dokumen penting. Sementara Arga seharian sibuk dengan Paman Yoga dan Yogi di kantor. Dio membereskan dokumen sampai malam, semuanya gara-gara kebiasaan Arga yang ingin menyelesaikan pekerjaan dengan cepat tanpa memperhatikan kerapihan, jadinya dia yang harus selalu membereskannya sampai berlarut-larut. Itu baru dokumen fisik, belum lagi dokumen digital yang menurut Dio lebih sulit dipilah karena tak bisa disentuh. Ditengah-tengah pekerjaannya, konsentrasinya sedikit terusik saat didengarnya engsel pintu dari arah balkon berbunyi. Dia yang dulu kadang suka menemui Lily dari balkon, akhirnya mengerti kenapa gadis itu selalu cemberut dan melarangnya datang dari sana, ternyata menyeramkan mendengar suara dari arah ya
Hari kepindahan Arga ke mansion utamanya akhirnya tiba. Dia berdiri di depan mansion, menatap mansion yang sudah berdiri puluhan tahun itu dengan perasaan campur aduk. Karena penyerangan waktu itu, semenjak menjadi kepala keluarga Arga belum pernah tinggal di sana lagi, dan akhirnya kini warisan tampat kepala keluarga Erlangga tinggal itu akan segera dia tempati. Dia berjalan masuk, memperhatikan pelayan-pelayannya yang hilir mudik membawa barang-barang. Dia tadi mau ikut angkut-angkut, tapi Dio memelototinya dan mengatakan agar dia tidak ikut campur. “Kau urus saja perkerjaan yang hanya bisa dilakukan olehmu,” kata Dio ketika melarang Arga. Arga hanya bisa mendengus, pekerjaan di kantor sedang santai, dia belum benar-benar punya kegiatan sekarang ini. Akhirnya dia hanya melihat-lihat dan sesekali membantu pelayan yang kesusahan. Di aula utama mansion, tempat pertama yang ada setelah memasuki pintu utama, terpampang lukisan besar dengan figura mewah menampilkan sosok Adhitama Erlang
Sebuah mansion dengan warna abu-abu yang gelap berdiri megah berbenteng dinding tebal dan gerbang baja yang tinggi dan kuat. Di sekelilingnya terdapat danau yang airnya tampak gelap karena sangat dalam. Sebuah jembatan dengan lebar tiga meter dan panjang 20 meter menjadi penghubung antara mansion itu dari jalan raya. Karena berada di dataran tinggi, saat pagi menjelang, ada kabut tipis yang menyelimuti mansion itu, membuat penampilannya semakin suram dan misterius. Tak seperti rumah-rumah para bangsawan lain yang menonjolkan kemewahan pada gerbangnya, gerbang mansion yang satu itu mengutamakan kekuatan dengan tanpa menambahkan dekorasi. Satu-satunya pola hiasan di muka gerbang itu adalah pola bunga edelweis yang timbul di gerbang kanan dan kiri, ketika gerbang tertutup, pola itu membentuk sebuah bunga edelweis yang utuh. Seorang pelayan utusan Erlangga bergidik bahkan ketika baru melihat siluet mansion dari kejauhan. Ini adalah mansion paling ditakuti dari semua mansion utama Trikula.
Malam menjelang, Lily berdiri dengan jantung yang tak mau tenang di tengah kamar pengantin yang berhiaskan bunga-bunga. Ketika Arga keluar dari kamar mandi, dia dengan cepat pura-pura sedang menyisir rambut. Arga perlahan berjalan mendekat, lalu dia duduk di sisi ranjang yang penuh taburan kelopak mawar. Lily berhenti dari menyisir rambut, takut kegugupannya nampak jelas jika terus melakukan hal itu. Tak lama terdengar suara Arga mengatakan, “aku sedikit haus.” Awalnya Lily spontan berpikir untuk mengambilkannya minum, namun kemudian dia mematung. Itu persis seperti yang Nyonya Wilma katakan! Jantungnya yang sudah sedikit tenang kembali menggila. Namun Lily tak punya pilihan, dia pun menghampiri Arga, duduk di sisinya dan sambil sedikit menghadap padanya, dia menjawab, “ha-hamba membawa air untuk Tuan.” Arga yang menatapnya tersenyum, ekspresi Lily yang sedang gugup terlihat sangat manis. “Boleh aku minta seteguk?” Arga melanjutkan. Lily menggigit bibir sebelum menjawab, “seluruhnya
Adelin sudah merasa ada yang aneh sejak lama. Dia menyadari hal itu setelah dua tahun tinggal di mansion Erlangga. Sesuatu yang aneh itu adalah, dia selalu merasakan ada yang tak seharusnya berada di sana, seperti perasaan takut karena hantu ketika sendirian. Tapi yang dirasakannya bukan ketakutan, melainkan penasaran. Dirinya selalu diliputi rasa ingin tahu mengapa dia merasakan hal itu. Kadang dia merasa mungkin ada penyusup, tapi semua hal yang dia periksa sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda adanya penyusup. Semua serba normal, semua selalu pada tempatnya, dan meski perasaan itu terus datang secara tiba-tiba dalam waktu yang lama, namun rumah Erlangga tak pernah mendapat kasus pencurian atau hal-hal lain yang melibatkan penyusup. Jadi Adelin menyimpulkan kalau penyusup itu tidak pernah ada, dan perasaannya hanya halusinasi saja. Kemudian penyerangan pada Trikula akhirnya terjadi, Erlangga berduka dengan kehilangan kepala keluarganya. Adelin merasa telah gagal melindungi keluarg
Lily terbangun ketika sorot matahari dari jendela sudah meninggi. Gorden di ruangan yang masih asing di matanya itu setengah terbuka, bagian gelapnya jatuh pada ranjang di mana Lily tertidur. Lily mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa aneh dengan pemandangan tak biasa yang ia lihat ketika membuka mata. Setelah ia berguling ke samping dan melihat luasnya ranjang yang dia tiduri, baru dia sadar kalau kini, dia sudah menjadi Nyonya Erlangga dan ini adalah kamarnya bersama Arga. Sekelebat ingatan kejadian semalam muncul dalam otaknya, membuatnya tersipu malu. Dia merasa akan sedikit canggung ketika bertemu dengan Arga nanti. Tunggu, setelah Lily pikir-pikir lagi, ini adalah pagi pertamanya sebagai seorang istri dan dia bangun kesiangan sementara suaminya telah pergi entah ke mana. Belum apa-apa dia sudah merasa tak berguna. Lily bangkit mengenakan kimono tidurnya dan melihat secarik kertas di atas meja. Lipatannya dia buka dan di muncul tulisan, “selamat pagi istriku, makanlah, ini b
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang