Lily terbangun ketika sorot matahari dari jendela sudah meninggi. Gorden di ruangan yang masih asing di matanya itu setengah terbuka, bagian gelapnya jatuh pada ranjang di mana Lily tertidur. Lily mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa aneh dengan pemandangan tak biasa yang ia lihat ketika membuka mata. Setelah ia berguling ke samping dan melihat luasnya ranjang yang dia tiduri, baru dia sadar kalau kini, dia sudah menjadi Nyonya Erlangga dan ini adalah kamarnya bersama Arga. Sekelebat ingatan kejadian semalam muncul dalam otaknya, membuatnya tersipu malu. Dia merasa akan sedikit canggung ketika bertemu dengan Arga nanti. Tunggu, setelah Lily pikir-pikir lagi, ini adalah pagi pertamanya sebagai seorang istri dan dia bangun kesiangan sementara suaminya telah pergi entah ke mana. Belum apa-apa dia sudah merasa tak berguna. Lily bangkit mengenakan kimono tidurnya dan melihat secarik kertas di atas meja. Lipatannya dia buka dan di muncul tulisan, “selamat pagi istriku, makanlah, ini b
Arga, Dio dan Yogi sedang berada di ruangan Arga untuk menemani Lily menonton konser biola yang disiarkan di televisi. Lily merasa wajib menontonnya karena Evan Melodia akan bermain di sana bersama para pemain biola senior. Sepanjang acara terlihat Lily sangat menikmatinya, terutama ketika Evan yang bermain. Dia pemain paling muda di sana namun permainannya adalah yang paling indah menurut Lily. Di akhir, setelah permainannya selesai, Evan berbicara, “permainanku yang terakhir spesial kupersembahkan untuk kakakku tercinta, Lily Erlangga.” Lily spontan terkejut dan menutup mulutnya, ketiga pria yang ada di sana juga sedikit bersorak. Saat Evan bilang kakak, tentu dalam otak mereka yang pertama muncul adalah Elva Melodia. Lily tampak terharu, Arga memeluknya. “Waahh senangnya jadi kakak kesayangan Evan …“ goda Yogi. Lily lalu memukul lengannya. Dio terkikik melihat tingkah mereka. Dia ikut senang hubungan Lily dan Evan begitu harmonis, tapi sepertinya akan ada orang yang tidak senang
Di kediaman Martin, Lemon berlari di sebuah koridor mengejar seseorang yang mengenakan pakaian pelayan. Begitu berbelok, Lemon mendapati pria itu menghilang. Seorang pelayan wanita keluar dari sebuah ruangan dan terkejut melihatnya, spontan Lemon memukul tengkuknya dan dia terkulai tak sadarkan diri. Lemon lalu melangkah pelan, pistol siap di tangan, satu per satu ruangan dia periksa namun orang yang dia kejar masih tak ditemukan, sampai akhirnya hanya menyisakan satu ruangan di ujung koridor. Lemon membenarkan pegangan pada pistolnya, pintu di dobrak, moncong pistol dia arahkan sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun ruangan itu hanya penuh dengan lukisan dan beberapa kanvas kosong. Tapi kemudian Lemon tersentak, spontan melihat ke arah kanvas persegi besar yang langsung rubuh, ketika tangan kanan menangkisnya, pria bertopeng sudah tepat di depannya dan menyayatnya dengan pisau. Lemon mendecih, pria itu berniat menyerang leher tapi dia mengelak dan hanya mengenai lengan
Di kamar sebuah hotel yang berada di lantai tertinggi, Elva dan Rava duduk menghadap jendela besar yang terbuka lebar. Di sisi-sisi jendela, tirai putihnya berayun-ayun tertiup angin. “Merah!” ucap Elva dengan semangat. “Hmmm, biru!” balas Rava. Mereka sedang melakukan permainan sederhana yang mengharuskan mereka menebak warna yang muncul dengan benar. Tak jauh dari hotel yang mereka tempati, ada gedung tinggi dengan baliho besar yang menampilkan iklan minuman segar, background iklan itu akan berganti warna tiap satu menit. “Yeee aku menang lagi!” sorak Elva ketika baliho itu memunculkan warna merah. Sesuai kesepakatan, yang kalah harus diolesi oleh lipstik di wajahnya, dan Rava yang selalu salah menebak, sudah penuh dengan coretan lipstik di wajah. “Ah aku menyerah! Aku tidak mau main lagi!” Rava tampak jengkel, sementara Elva tertawa-tawa atas kemenangannya. Di belakang mereka tampak ada papan catur dengan bidak-bidaknya yang tercecer di sisinya, lalu ada kartu remi yang bebaur
Dua bulan terlewat sejak pernikahan Arga dan Lily. Akhir-akhir ini belum ada kabar lagi dari Lemon, dan semua tampak stabil bagi Arga. Dia jadi punya banyak waktu untuk bersama dengan Lily. Dan hari ini, rencananya mereka akan pesta barbeku di halaman belakang. Dio, Paman Yoga dan Yogi mendapat tugas membeli bahan-bahannya. Arga, Lily dan tiga pendekar menyiapkan tempat dan peralatannya. Mereka juga mengundang Nyonya Wilma, tapi perempuan tua itu menolak. Pesta barbeku kecil-kecilan itu lumayan seru, Yogi selalu berusaha mendekati Adelin, dan seperti biasa dia akan dicegat Monika. “Sudah kubilang hentikan kelakuanmu! Nona Adelin tak cocok untuk orang sepertimu!” bentak Monika. Yogi yang jengkel membalas, “apa hakmu melarangku, dasar gorila!?" "Hah!?" Dio yang tertawa dengan kelakuan mereka berkomentar, “aku tak bisa membayangkan seheboh apa jika kalian menikah.” Dan Dio langsung mendapat pelototan dari mereka berdua. “Berisik!” Silvi yang sedang menikmati dagingnya protes. “Aah
Rava benar-benar dikurung sekarang. Dia tak pernah dibiarkan sendirian dalam sebuah ruangan, Morgan menempatkan orang-orangnya untuk terus mengawasi gerak-gerik cucunya itu. Keadaan itu sudah berlangsung selama tiga minggu lebih sejak dia kembali pulang setelah sebelumnya kabur untuk bermain-main. Rava hanya terkulai lemas di kursinya, kini bahkan untuk bernapas pun terasa tidak enak. Ketukan pintu terdengar, si penjaga di ruangan itu langsung mengeceknya dan mengizinkannya masuk. Rava mendengus, dia bahkan sudah tak punya wewenang di ruangannya sendiri. Apanya yang kepala keluarga Gunada? Jelas sekali dia hanya boneka yang sedang dimainkan kakeknya. Orang yang datang ternyata adalah seorang pelayan yang membawakannya makanan. Pelayan itu tampak terkejut melihat sarapan tadi pagi masih utuh tak disentuh tuannya. Tanpa banyak bicara, dia mengganti makanan di atas meja itu dengan yang baru. Rava hanya menatapnya dengan malas. Tapi beberapa detik kemudian, dia merasa sedikit pusing. Tak
Dio menatap Arga dan Lily dari kejauhan. Mereka tampak bahagia selayaknya pasangan muda lain yang berbahagia menantikan adanya anak pertama. Dia bersyukur melihat pemandangan itu. Meski banyak kemelut di balik bayangan, tapi keadaan para keluarga bangsawan terbilang stabil dan harmonis. Setidaknya untuk saat ini, karena tadi pagi, datang utusan dari Gunada yang memberi kabar bahwa Irgan Gunada resmi menjadi kepala keluarga. Dio tak paham ada drama apa di baliknya, tapi berita itu jelas-jelas mengundang banyak pertanyaan. Dan pertanyaan paling utama adalah, apa yang terjadi pada Rava? Dio menggenggam surat yang dibawa utusan Gunada itu, dia hendak memberikannya pada Arga, tapi melihatnya sedang berbahagia membuat Dio tak mau mengganggunya. Akhirnya Dio berbalik, dan malah menemukan Monika sedang bersandar di tembok memperhatikannya. “Apa?” tanya Dio yang heran melihat Monika mengernyitkan alis ke arahnya. “Aku turut prihatin.” Dio semakin tak paham, “untuk?” Monika melirik Arga da
Seorang pria menatap pantulan dirinya di sebuah cermin. Dia menghela napas ketika dilihatnya wajah dalam cermin itu tak seperti wajahnya yang seharusnya. Setengah wajahnya penuh bekas luka bakar dan rambutnya di sisi wajah itu tak tumbuh lagi. “Kau tak akan mengenaliku yang seperti ini,” gumamnya dengan nada sedih. Di pikirannya ada seorang wanita yang dia harap masih menunggunya. Tapi tiap kali memilikirkan wanita itu, dia diserang perasaan takut bahwa harapannya tak terkabul. Sudah terlalu lama sejak dia dan wanita itu berpisah. Bahkan di perjumpaan mereka yang terakhir, pria itu dengan jelas mengatakan kalau mereka tak bisa bersama. Pria itu terbelenggu oleh statusnya sebagai pendosa yang tak mungkin diizinkan tuhan untuk bersama dengan hambanya yang suci. Dia sudah berulang kali memantapkan hati untuk melupakan masa lalunya. Tapi bayangan wanita itu menariknya lagi dan lagi. Pria itu akhirnya pasrah, dia menyerah pada perasaan yang semakin lama semakin menggerogotinya. Meski Tuh