Di kamar sebuah hotel yang berada di lantai tertinggi, Elva dan Rava duduk menghadap jendela besar yang terbuka lebar. Di sisi-sisi jendela, tirai putihnya berayun-ayun tertiup angin. “Merah!” ucap Elva dengan semangat. “Hmmm, biru!” balas Rava. Mereka sedang melakukan permainan sederhana yang mengharuskan mereka menebak warna yang muncul dengan benar. Tak jauh dari hotel yang mereka tempati, ada gedung tinggi dengan baliho besar yang menampilkan iklan minuman segar, background iklan itu akan berganti warna tiap satu menit. “Yeee aku menang lagi!” sorak Elva ketika baliho itu memunculkan warna merah. Sesuai kesepakatan, yang kalah harus diolesi oleh lipstik di wajahnya, dan Rava yang selalu salah menebak, sudah penuh dengan coretan lipstik di wajah. “Ah aku menyerah! Aku tidak mau main lagi!” Rava tampak jengkel, sementara Elva tertawa-tawa atas kemenangannya. Di belakang mereka tampak ada papan catur dengan bidak-bidaknya yang tercecer di sisinya, lalu ada kartu remi yang bebaur
Dua bulan terlewat sejak pernikahan Arga dan Lily. Akhir-akhir ini belum ada kabar lagi dari Lemon, dan semua tampak stabil bagi Arga. Dia jadi punya banyak waktu untuk bersama dengan Lily. Dan hari ini, rencananya mereka akan pesta barbeku di halaman belakang. Dio, Paman Yoga dan Yogi mendapat tugas membeli bahan-bahannya. Arga, Lily dan tiga pendekar menyiapkan tempat dan peralatannya. Mereka juga mengundang Nyonya Wilma, tapi perempuan tua itu menolak. Pesta barbeku kecil-kecilan itu lumayan seru, Yogi selalu berusaha mendekati Adelin, dan seperti biasa dia akan dicegat Monika. “Sudah kubilang hentikan kelakuanmu! Nona Adelin tak cocok untuk orang sepertimu!” bentak Monika. Yogi yang jengkel membalas, “apa hakmu melarangku, dasar gorila!?" "Hah!?" Dio yang tertawa dengan kelakuan mereka berkomentar, “aku tak bisa membayangkan seheboh apa jika kalian menikah.” Dan Dio langsung mendapat pelototan dari mereka berdua. “Berisik!” Silvi yang sedang menikmati dagingnya protes. “Aah
Rava benar-benar dikurung sekarang. Dia tak pernah dibiarkan sendirian dalam sebuah ruangan, Morgan menempatkan orang-orangnya untuk terus mengawasi gerak-gerik cucunya itu. Keadaan itu sudah berlangsung selama tiga minggu lebih sejak dia kembali pulang setelah sebelumnya kabur untuk bermain-main. Rava hanya terkulai lemas di kursinya, kini bahkan untuk bernapas pun terasa tidak enak. Ketukan pintu terdengar, si penjaga di ruangan itu langsung mengeceknya dan mengizinkannya masuk. Rava mendengus, dia bahkan sudah tak punya wewenang di ruangannya sendiri. Apanya yang kepala keluarga Gunada? Jelas sekali dia hanya boneka yang sedang dimainkan kakeknya. Orang yang datang ternyata adalah seorang pelayan yang membawakannya makanan. Pelayan itu tampak terkejut melihat sarapan tadi pagi masih utuh tak disentuh tuannya. Tanpa banyak bicara, dia mengganti makanan di atas meja itu dengan yang baru. Rava hanya menatapnya dengan malas. Tapi beberapa detik kemudian, dia merasa sedikit pusing. Tak
Dio menatap Arga dan Lily dari kejauhan. Mereka tampak bahagia selayaknya pasangan muda lain yang berbahagia menantikan adanya anak pertama. Dia bersyukur melihat pemandangan itu. Meski banyak kemelut di balik bayangan, tapi keadaan para keluarga bangsawan terbilang stabil dan harmonis. Setidaknya untuk saat ini, karena tadi pagi, datang utusan dari Gunada yang memberi kabar bahwa Irgan Gunada resmi menjadi kepala keluarga. Dio tak paham ada drama apa di baliknya, tapi berita itu jelas-jelas mengundang banyak pertanyaan. Dan pertanyaan paling utama adalah, apa yang terjadi pada Rava? Dio menggenggam surat yang dibawa utusan Gunada itu, dia hendak memberikannya pada Arga, tapi melihatnya sedang berbahagia membuat Dio tak mau mengganggunya. Akhirnya Dio berbalik, dan malah menemukan Monika sedang bersandar di tembok memperhatikannya. “Apa?” tanya Dio yang heran melihat Monika mengernyitkan alis ke arahnya. “Aku turut prihatin.” Dio semakin tak paham, “untuk?” Monika melirik Arga da
Seorang pria menatap pantulan dirinya di sebuah cermin. Dia menghela napas ketika dilihatnya wajah dalam cermin itu tak seperti wajahnya yang seharusnya. Setengah wajahnya penuh bekas luka bakar dan rambutnya di sisi wajah itu tak tumbuh lagi. “Kau tak akan mengenaliku yang seperti ini,” gumamnya dengan nada sedih. Di pikirannya ada seorang wanita yang dia harap masih menunggunya. Tapi tiap kali memilikirkan wanita itu, dia diserang perasaan takut bahwa harapannya tak terkabul. Sudah terlalu lama sejak dia dan wanita itu berpisah. Bahkan di perjumpaan mereka yang terakhir, pria itu dengan jelas mengatakan kalau mereka tak bisa bersama. Pria itu terbelenggu oleh statusnya sebagai pendosa yang tak mungkin diizinkan tuhan untuk bersama dengan hambanya yang suci. Dia sudah berulang kali memantapkan hati untuk melupakan masa lalunya. Tapi bayangan wanita itu menariknya lagi dan lagi. Pria itu akhirnya pasrah, dia menyerah pada perasaan yang semakin lama semakin menggerogotinya. Meski Tuh
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang