Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Rak-rak tinggi yang dihuni buku-buku tua berbaris rapi di sebuah ruangan yang diterangi cahaya senja. Itu ruangan yang besar dengan beberapa kursi dan meja yang memiliki jendela-jendela besar dan menghadap ke sebuah taman di sisi kirinya. Taman itu penuh dengan berbagai macam bunga, namun yang paling banyak terlihat dan tampak mendapat perlakuan khusus adalah mawar putih. Seorang gadis duduk menghadap salah satu jendela besar itu dengan beberapa buku bersampul tebal bertengger di atas meja di hadapannya. Dia sudah sejak siang tadi ada di sana. Jika disentuh, rambutnya yang hitam panjang bergelombang terasa hangat berkat sang mentari. Ia sedang fokus membaca halaman demi halaman dari salah buku besar yang ia bawa, mengacuhkan dentang jam dinding yang mengingatkannya akan waktu yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Tak lama buku itu ia tutup, kini matanya beralih pada sebuah buku jurnal merah muda yang berhiaskan gambar bunga pada sampulnya, bunga mawar putih. Halaman pertama dibuka,
Ujung runcing rumput hijau bergoyang riang di bawah mentari pagi yang membelai dengan kehangatan yang lembut. Angin yang bermain dengan rumput itu juga menyapa seorang pemuda yang sedang duduk dengan tangan terulur menyentuh kelopak bunga. Itu bunga krisan liar berwarna merah, kontras dengan tangan si pria yang putih bersih dengan jari-jari yang panjang. Dia adalah pria yang tampan. Wajah tegas, rambut hitam lurus sebahu dengan tubuh atletis, yang jika dia tersenyum tak heran gadis-gadis yang melihatnya akan meleleh saat itu juga. Namun, ada sesuatu yang mengganggu keindahan sosok itu. Tangan kirinya terbalut perban sampai ke siku, membuat kemeja hitam yang dia kenakan harus dilipat-lipat sampai lengan agar tak mengganggu. Di tengah-tengah suara alam yang mendamaikan, pria itu mendengar gesekan rumput yang terinjak, dan begitu menoleh dia mendapati sosok pria muda yang tak kalah atletis dengan dirinya, berambut hitam pendek dan mengenakan setelan jas hitam rapi sedang menatap tepat ke
Dio berjalan di belakang Arga melewati sebuah koridor di salah satu vila keluarga Erlangga. Dia menatap jajaran bunga mawar putih di sampingnya. Itu bunga kesukaan mendiang Nyonya Erlangga. Taman bunga itu begitu penuh, di tengah taman, ada bunga mawar putih yang tatanannya seperti labirin dan tingginya kurang lebih sampai ke bahu pria dewasa yang tinggi. Saat mengedarkan pandangan melihat luasnya taman, Dio melihat ada yang bergerak di bagian bawah bunga-bunga. Eh? Apa mungkin itu kelinci? Dia ingat sang nyonya dulu juga suka hewan-hewan kecil yang imut. Tapi.. yang barusan dia lihat itu sedikit ... besar. ‘'Mohon maaf Tuan mud-, Tuan.” Sesampainya di depan sebuah kamar, mereka disambut kepala pelayan yang membungkuk dan meminta maaf. “Nenek, tolong jangan seperti itu. Nenek bisa memanggilku seperti biasa.” Arga menatap wanita tua itu dengan lembut. “Ah, tidak, tidak. Anda adalah kepala keluarga mulai sekarang. Maafkan nenek tua ini yang tak bisa menjaga tamu yang sangat penting.
Pagi hari, suasana sudah agak ramai dengan banyaknya pelayan yang kasak-kusuk. Dio mendekati Monika, namun belum dia mengeluarkan suara, gadis itu sudah menyemburnya dengan luapan kalimat. “Kau!”, katanya menunjuk tepat ke hidung Dio, “lakukan sesuatu pada tuan putrimu itu! Kau baby sitter-nya kan!?” “Tolong jelaskan ada apa, Monika.” Sebelum Monika menyembur lagi, pundaknya ditepuk oleh seorang pelayan yang tampak lebih senior, dan spontan membuat sikap Monika berubah. “Nona Adelin,” mereka menyapa. Adelin menjelaskan apa yang terjadi, gadis yang kemarin menghilang dan membuat gempar itu menolak makan sejak semalam, dan dia terus mengurung diri di kamar. Selain hal itu, yang menjadi pergunjingan para pelayan adalah kemungkinan gadis itu akan menjadi nyonya mereka, yang mana jika itu benar, mereka akan mendapat nyonya yang sangat merepotkan. Mendengar itu membuat Dio memasang senyum miring. Gosip di antara wanita memang mengerikan. Namun apa yang Monika katakan tadi memang benar,
Hari ini Dio menemukan fakta baru tentang gadis bernama Lily itu. Alasan kenapa ia bersikap seperti bocah pembuat masalah, adalah satu, dia sama sekali belum mendapat penjelasan mengenai rumah siapa ini, kenapa ia secara paksa dibawa kemari, dan apa yang mereka inginkan darinya. Kedua, semua orang di rumah itu memperlakukannya bagai seorang putri, para pelayan nyaris memandikan dan menyuapinya makan. Dio masih ingat jelas bagaimana gadis itu begitu frustrasi saat dia berkata dengan jengkel, “aku tidak bisa makan dengan banyak sendok dan garpu sambil dipelototi para pelayan itu!!!” Karena itu, kali ini Dio membawanya ke sudut labirin mawar yang dinaungi oleh sebuah pohon besar. “Ini tempat rahasiaku.” Dio duduk begitu saja di rumput sambil meletakan beberapa kotak makanan. “Kau benar-benar hafal jalur di labirin ini?” tanya Lily. Dio terkekeh, “karena aku yang menciptakannya. Ada petanya kalau kamu mau lihat.” Lily sedikit terperanjat dan duduk berhadapan dengan Dio. “Kamu yang b