Ujung runcing rumput hijau bergoyang riang di bawah mentari pagi yang membelai dengan kehangatan yang lembut. Angin yang bermain dengan rumput itu juga menyapa seorang pemuda yang sedang duduk dengan tangan terulur menyentuh kelopak bunga. Itu bunga krisan liar berwarna merah, kontras dengan tangan si pria yang putih bersih dengan jari-jari yang panjang. Dia adalah pria yang tampan. Wajah tegas, rambut hitam lurus sebahu dengan tubuh atletis, yang jika dia tersenyum tak heran gadis-gadis yang melihatnya akan meleleh saat itu juga. Namun, ada sesuatu yang mengganggu keindahan sosok itu. Tangan kirinya terbalut perban sampai ke siku, membuat kemeja hitam yang dia kenakan harus dilipat-lipat sampai lengan agar tak mengganggu. Di tengah-tengah suara alam yang mendamaikan, pria itu mendengar gesekan rumput yang terinjak, dan begitu menoleh dia mendapati sosok pria muda yang tak kalah atletis dengan dirinya, berambut hitam pendek dan mengenakan setelan jas hitam rapi sedang menatap tepat ke arahnya. Spontan mulutnya terbuka dan menyapa.
“Tuan muda.”
Dia bergegas berdiri, menghadap pria itu lalu menundukkan kepala.
“Bagaimana tanganmu?”
“Jauh lebih baik, Tuan.”
Si pria berjas mendekat ke samping pria itu lalu duduk merentangkan kaki dan bersandar pada tangan-tangannya yang kokoh. Ekspresinya menunjukkan rasa lelah yang menumpuk, lalu setelah mendesah kesal dia berkata, “berapa kali kukatakan jangan bicara formal saat hanya ada kau dan aku.”
Mereka akhirnya duduk bersisian, di atas rumput dengan sesekali dikunjungi semilir angin, menatap bukit-bukit di kejauhan yang memanjakan mata. Mereka terus seperti itu selama beberapa menit, membiarkan hanya suara alam yang mendendang di telinga mereka, sebelum si Tuan muda akhirnya berbicara.
“Menurutmu apa orang tua itu akan menyukai tempat ini?”
“Beliau akan menyukainya.”
“Benar, lagi pula dia bersama Ibu sekarang. Padahal aku ingin menjadi yang pertama mengunjunginya di surga.” Mereka menatap ke belakang, ke arah dua makam bersisian yang penuh dengan taburan bunga.
“Itu tentu tidak bisa. Kau masih harus melakukan banyak hal. Kau harus meneruskan apa yang ditinggalkan ayahmu.”
Pikiran si Tuan muda seperti lilitan benang kusut. Dia ada di posisi di mana dia tak bisa melakukan apa pun sesuka hatinya. Ada sesuatu yang besar sedang menunggunya untuk bertindak. Jika dia memutuskan abai akan hal itu maka keseimbangan akan kacau. Lagi pula, dia tidak ingin mati memakai atribut seorang pecundang. Dia tak terlalu peduli dengan tanggapan pria tua yang menjadi ayahnya, dia hanya tak ingin terlihat buruk di hadapan sang ibunda. Dia bangkit, menghadap kedua makam itu lalu bersumpah di sana.
“Aku, Arga Erlangga, akan meneruskan posisi kepala keluarga Erlangga dan bersumpah sebaik mungkin menjaga dan menyejahterakannya.”
Setelah memantapkan hati dan menyuarakan sumpah yang akan mengikatnya seumur hidup, dia terkekeh dan menatap sosok pria yang telah tumbuh besar dengannya.
“Dio, sekarang kau bebas, pilihlah jalan hidup sesuai dengan apa yang kau inginkan. Di mana pun di dunia ini kau memilih untuk tinggal, selamanya kau akan kuanggap saudara.”
Pria yang surai hitam sebahunya menari dibelai angin itu sedikit terkejut mendengarnya. Selain karena sangat langka kalimat semacam itu keluar dari mulut tuan mudanya, dia merasa seperti diasingkan dari tempat di mana seharusnya dia berada. Tanpa banyak bicara, pria yang dipanggil Dio itu langsung mendekat ke samping si Tuan muda dan mengambil napas panjang sebelum berkata.
“Aku, Dio, di hadapan makam Tuan dan Nyonya yang kulayani, aku bersumpah untuk mengabdi pada Tuan yang baru, Arga Erlangga.”
Mendengar itu, si Tuan muda Arga menghela napas frustrasi.
“Kau paham apa yang kau katakan?”
“Sangat paham.”
“Sebagai saudaramu, aku ingin kau hidup bebas dan jauh dari urusan keluarga ini.”
“Sayangnya tak ada tempat di mana aku merasa hidup selain di keluarga ini.”
“Tangan kirimu terluka saat berusaha melindungi ayahku. Suatu hari nanti, jika itu demi keluarga, mungkin aku akan meminta lebih dari sekedar tangan.”
“Itu suatu kehormatan bagiku.”
Si Tuan muda akhirnya menyerah, namun dalam hati, dia lega selega-leganya karena Dio tetap tinggal. Pria satunya pun sama saja. Dia sudah memutuskan jalan hidup yang dia pilih, apa pun yang akan terjadi dia tak akan menyesalinya. Akhirnya si Tuan muda beranjak pergi sebelum berkata, “ayo, ada yang ingin kukenalkan padamu.”
Dio berjalan di belakang Arga melewati sebuah koridor di salah satu vila keluarga Erlangga. Dia menatap jajaran bunga mawar putih di sampingnya. Itu bunga kesukaan mendiang Nyonya Erlangga. Taman bunga itu begitu penuh, di tengah taman, ada bunga mawar putih yang tatanannya seperti labirin dan tingginya kurang lebih sampai ke bahu pria dewasa yang tinggi. Saat mengedarkan pandangan melihat luasnya taman, Dio melihat ada yang bergerak di bagian bawah bunga-bunga. Eh? Apa mungkin itu kelinci? Dia ingat sang nyonya dulu juga suka hewan-hewan kecil yang imut. Tapi.. yang barusan dia lihat itu sedikit ... besar. ‘'Mohon maaf Tuan mud-, Tuan.” Sesampainya di depan sebuah kamar, mereka disambut kepala pelayan yang membungkuk dan meminta maaf. “Nenek, tolong jangan seperti itu. Nenek bisa memanggilku seperti biasa.” Arga menatap wanita tua itu dengan lembut. “Ah, tidak, tidak. Anda adalah kepala keluarga mulai sekarang. Maafkan nenek tua ini yang tak bisa menjaga tamu yang sangat penting.
Pagi hari, suasana sudah agak ramai dengan banyaknya pelayan yang kasak-kusuk. Dio mendekati Monika, namun belum dia mengeluarkan suara, gadis itu sudah menyemburnya dengan luapan kalimat. “Kau!”, katanya menunjuk tepat ke hidung Dio, “lakukan sesuatu pada tuan putrimu itu! Kau baby sitter-nya kan!?” “Tolong jelaskan ada apa, Monika.” Sebelum Monika menyembur lagi, pundaknya ditepuk oleh seorang pelayan yang tampak lebih senior, dan spontan membuat sikap Monika berubah. “Nona Adelin,” mereka menyapa. Adelin menjelaskan apa yang terjadi, gadis yang kemarin menghilang dan membuat gempar itu menolak makan sejak semalam, dan dia terus mengurung diri di kamar. Selain hal itu, yang menjadi pergunjingan para pelayan adalah kemungkinan gadis itu akan menjadi nyonya mereka, yang mana jika itu benar, mereka akan mendapat nyonya yang sangat merepotkan. Mendengar itu membuat Dio memasang senyum miring. Gosip di antara wanita memang mengerikan. Namun apa yang Monika katakan tadi memang benar,
Hari ini Dio menemukan fakta baru tentang gadis bernama Lily itu. Alasan kenapa ia bersikap seperti bocah pembuat masalah, adalah satu, dia sama sekali belum mendapat penjelasan mengenai rumah siapa ini, kenapa ia secara paksa dibawa kemari, dan apa yang mereka inginkan darinya. Kedua, semua orang di rumah itu memperlakukannya bagai seorang putri, para pelayan nyaris memandikan dan menyuapinya makan. Dio masih ingat jelas bagaimana gadis itu begitu frustrasi saat dia berkata dengan jengkel, “aku tidak bisa makan dengan banyak sendok dan garpu sambil dipelototi para pelayan itu!!!” Karena itu, kali ini Dio membawanya ke sudut labirin mawar yang dinaungi oleh sebuah pohon besar. “Ini tempat rahasiaku.” Dio duduk begitu saja di rumput sambil meletakan beberapa kotak makanan. “Kau benar-benar hafal jalur di labirin ini?” tanya Lily. Dio terkekeh, “karena aku yang menciptakannya. Ada petanya kalau kamu mau lihat.” Lily sedikit terperanjat dan duduk berhadapan dengan Dio. “Kamu yang b
Zaman dahulu kala, saat negeri ini masih berupa beberapa kerajaan yang terpisah, terdapat tiga kerajaan besar yang menjadi induk dari kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Gunada di barat, Erlangga di timur, dan Melodia di selatan. Ketiga kerajaan itu memimpin dengan bijak, tak ada satupun keluhan terdengar dari para warga yang ada dalam naungannya. Kabar akan kesejahteraan masing-masing pun terdengar oleh satu sama lain. Yang pertama membuka celah interaksi adalah adanya undangan dari Kerajaan Erlangga pada kedua kerajaan tersebut. Dari sana mereka beraliansi, membentuk sebuah tatanan yang menghasilkan lebih dari apa yang disebut kesejahteraan. Dan sejak saat itu, tiga kerajaan besar itu disebut Trikula. Namun tak ada sejarah damai yang akan berlangsung selamanya. Percikan api konflik dimulai saat kebetulan Erlangga dan Gunada sama-sama mempunyai raja yang berusia muda. Tak seperti kedua kerajaan itu yang dipimpin seorang raja, Melodia selalu dipimpin seorang ratu, yang sialnya ada
Di halaman depan vila, tampak beberapa mobil hitam berjajar. Orang-orang tinggi besar yang tadi di dalamnya kini berbaris mengikuti seorang wanita bangsawan yang tampak anggun sekaligus dominan. Semua yang ada di sana tahu siapa itu, terutama Nyonya Wilma yang paham betul derajat wanita ini setara dengan Tuannya. Nyonya Wilma sudah memberikan penyambutan terbaiknya di depan pintu utama, namun wanita itu tampak tak tertarik basa-basi dan dengan tegas meminta bertemu dengan Arga. “Mohon maaf sebelumnya, tapi Tuan kami-“ “Ah, sudah cukup. Aku hanya ingin mengambil kembali milikku yang dia curi.” Tangan wanita itu terangkat dan spontan para pria tinggi besar di belakangnya berpencar, ada yang masuk ke vila, ada yang pergi ke arah taman. Para penjaga Erlangga yang jumlahnya tidak banyak merasa geram, namun tuannya sudah memerintahkan untuk sebisa mungkin menghindari konflik dengan keluarga lain untuk saat ini. Mereka akhirnya hanya memastikan orang-orang itu tak menyakiti siapa pun dan
Lily berdiri di sebuah tempat yang luas. Luas sampai angin yang membelai rambut coklat bergelombangnya mungkin adalah angin dari belahan dunia lain. Dia terkejut saat kakinya yang tak mengenakan alas disapu dinginnya gelombang air berbuih. Dia mundur beberapa langkah, menyadari dirinya sedang berdiri di hadapan cakrawala. Camar terbang melengkung, udara berbau garam, dan air laut yang terhampar sampai seolah menyentuh langit, adalah pemandangan yang membuatnya rindu sekaligus sedih. “Lily.” Dia menoleh, seseorang tak jauh di belakangnya melambai dan tersenyum. Seorang pria dengan rambut coklat dan wajah ramah yang tak asing. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Seketika ia sadar itu adalah mimpi. Dia langsung dirasuki perasaan untuk segera bangun dari tidur, namun pria itu menghampiri dan menggenggam tangannya. “Kenapa menangis? Hm?” Dia harus menengadah untuk melihat wajah pria itu, lalu ia menatap tangan dan kakinya. Itu adalah tubuhnya saat masih kecil. “Ayah?” ia memanggi
Kisahnya bermula di sebuah pesisir selatan, sebuah tampat yang menghadap langsung ke arah samudra. Pemandangan yang ia lihat setiap hari adalah ayah ibunya, rumah kayunya yang sederhana, tetangga-tetangga yang ramah, jaring-jaring ikan, perahu-perahu, dan pasir pantai yang berkerlap-kerlip bagai permata, meski aslinya itu hanya pantulan bijih besi yang terkandung di dalam pasir. Ia hidup dengan bahagia sebagai seorang anak pesisir yang riang, sebagai gadis bernama Lily, hanya Lily saja. Kadang, saat malam ayahnya akan memainkan sebuah biola di serambi rumah, membuat ia dan ibunya terbuai indahnya alunan melodi lain selain deburan ombak dan desiran angin malam. Lily sudah tertarik pada biola itu sejak kecil, ia sering memainkannya dan sesekali diajari ayahnya. Anak-anak sekitar sana pun senang mendengarnya bermain. Baginya itu adalah dunia kecilnya yang sempurna. Sampai suatu saat sebuah bencana membuat dunia itu menjadi suram dan sepi. Desanya diserang sebuah wabah, ayah ibunya, dan
Sejak pagi kediaman Erlangga telah ribut oleh perkacakapan para pelayan. Lily yang terbangun karena kegaduhan itu, namun dia sama sekali tak ambil pusing dan langsung menuju kamar mandi. Dengan masih setengah terpejam ia memutar kran dan dihinggapi sebuah kejanggalan akan hilangnya suara air yang seharusnya sudah terdengar seiring dengan alirannya yang membasahi tangan Lily. Matanya pun terbuka sepenuhnya memastikan bahwa memang tak ada air di sana. Ia memutar-mutar kran, namun hasilnya tetap sama. Seketika dia paham kenapa para pelayan itu ribut sejak pagi. Lily keluar kamar setelah mengganti baju tidurnya. Rambutnya ia ikat sekenanya dan turun ke lantai bawah. Ia perlu seseorang untuk menanyakan situasi, namun para pelayan yang tadi ribut kini menghilang. Dia seketika hendak membuka mulut ketika matanya menangkap siluet seseorang berpakaian pelayan, namun lidahnya segera tertahan dan moodnya mendadak berubah jengkel saat melihat pelayan itu berpotongan rambut bob. “Dari semua orang