Pagi hari, suasana sudah agak ramai dengan banyaknya pelayan yang kasak-kusuk. Dio mendekati Monika, namun belum dia mengeluarkan suara, gadis itu sudah menyemburnya dengan luapan kalimat.
“Kau!”, katanya menunjuk tepat ke hidung Dio, “lakukan sesuatu pada tuan putrimu itu! Kau baby sitter-nya kan!?”
“Tolong jelaskan ada apa, Monika.” Sebelum Monika menyembur lagi, pundaknya ditepuk oleh seorang pelayan yang tampak lebih senior, dan spontan membuat sikap Monika berubah.
“Nona Adelin,” mereka menyapa.
Adelin menjelaskan apa yang terjadi, gadis yang kemarin menghilang dan membuat gempar itu menolak makan sejak semalam, dan dia terus mengurung diri di kamar. Selain hal itu, yang menjadi pergunjingan para pelayan adalah kemungkinan gadis itu akan menjadi nyonya mereka, yang mana jika itu benar, mereka akan mendapat nyonya yang sangat merepotkan. Mendengar itu membuat Dio memasang senyum miring. Gosip di antara wanita memang mengerikan. Namun apa yang Monika katakan tadi memang benar, dia harus melakukan sesuatu, Arga sudah menitipkan gadis itu padanya.
***
Seonggok buntalan selimut berada tepat di tengah kasur queen sized yang bantal gulingnya acak-acakan. Dari ruangan yang remang-remang karena cahaya mentari yang tak diizinkan masuk itu tampak samar terlihat rambut panjang berantakan yang menyembul keluar dari celah kecil di buntalan itu. Ketukan pintu yang tadi ramai terdengar kini sudah senyap, langkah kaki ribut beberapa orang kini menghilang. Perlahan buntalan itu terbuka, membuat gadis di dalamnya menghembuskan napas lega. Sulit dipercaya penampakan kacau balau itu adalah sosok sama yang disebut-sebut sebagai tuan putri oleh orang-orang.
Sebuah suara aneh membuyarkan lamunan si gadis dan membuatnya spontan bangkit dari kasur. Sambil perlahan mendekat, dia mencari-cari dalam memori otaknya mengenai bunyi serupa dari apa yang baru ia dengar. Kesimpulan otaknya yang sedang tidak dalam kondisi prima tersebut adalah, itu bunyi pasir yang terkena kaca. Perlahan pintu balkon kamarnya dia buka, membuat cahaya mentari pagi menerpa dengan hangat ke kulitnya. Perlu waktu baginya untuk bisa sepenuhnya membuka mata. Dan yang dilihatnya setelah sepenuhnya berada di balkon adalah pemandangan yang sangat lucu. Burung-burung kecil ramai meloncat-loncat dan mematuk sesuatu di lantai balkonnya.
“Mereka jinak loh.”
Sebuah suara membuat si gadis terperanjat. Ia melihat ke sana kemari tapi tak ada orang di balkonya dan ini adalah lantai dua. Gemerisik daun dan dahan yang bergerak membuatnya makin kaget, dilhatnya seorang pria dengan rambut sebahu yang tangan kirinya diperban sedang duduk bergelayut di dahan pohon besar yang menjulur ke kamarnya.
“Saya selalu memberi mereka makan, bisa dibilang mereka termasuk bagian keluarga ini.”
Alih-alih mendapat balasan, gadis itu dengan ekspresi terkejut langsung berhambur ke dalam kamar, sebelum ia mencapai tujuannya, pria yang tak lain adalah Dio langsung melompat dari dahan dan menahan gadis itu, namun dia berontak dan tak sengaja mendorong Dio hingga terjatuh membentur pagar balkon.
Gadis yang setengah histeris itu terkesiap melihat ada rembesan merah yang membasahi perban pria itu dari dalam. Di tengah kebingungannya, Dio hanya terkekeh dan sesekali meringis.
“Ah … Monika pasti akan mengomel lagi.”
***
Di samping burung-burung yang masih makan dengan riang di balkon itu, Dio duduk berhadapan dengan si gadis yang kini tampak murung. Gadis itu mengambil butiran beras di lantai balkon yang sejak tadi dimakan burung-burung di sana. Bunyi mirip pasir tadi ternyata adalah beras itu. Mungkin pria di depannya sengaja menabur beras di sana untuk menarik perhatiannya.
“Maaf atas tanganmu. Aku … tidak sengaja.”
Dio tersenyum, “Ini bukan apa-apa, Nona.”
“Henti …“
“Eh?” Dio rasanya mendengar gadis itu berbicara pelan.
“Berhenti! Berhenti memperlakukanku seperti seorang putri!”
“Ah, tapi Anda-“
“Berhenti bicara formal begitu!!!”
Dio terdiam sejenak, “baiklah, kalau begitu … siapa namamu?”
Gadis itu menunduk lalu dengan lirih menjawab, “Lily. Lily saja.”
Meski tak paham apa yang terjadi, tapi Dio berusaha mencerna apa yang sebenarnya dirasakan gadis itu, kenapa putri salah satu dari Trikula tak mau mengenalkan diri dengan menyebutkan nama keluarganya. Jika namanya Lily, berarti dia adalah Lily Melodia.
“Lily, senang bertemu denganmu. Namaku Dio.”
Dan begitulah, perkenalan dua manusia di bawah hangatnya mentari pagi diiringi cicitan burung-burung yang sedang sarapan.
***
Arga ada di sebuah ruangan luas menduduki salah satu dari deretan kursi yang ditata melingkari ruangan. Lingkaran kursi itu berundak-undak sebanyak tiga baris. Hampir tiap kursi tersisi kecuali di baris paling bawah, di sana penuh dengan orang-orang nyaris tua yang memakai pakaian hitam. Serikat Trikula, begitulah julukan resmi mereka. Bisa dibilang mereka adalah hakim atau penegak hukum bagi Trikula. Di tengah lingkaran itu ada sebuah kursi besi yang diduduki seorang lelaki dengan tangan terikat. Mata Arga memicing saat dilihatnya lelaki itu penuh dengan luka memar dan darah di hidung dan sudut mulutnya. Arga memijat pelipis dan menghela napas lelah, setengah berminat mendengarkan orang-orang serikat itu melakukan interogasi terbuka pada tersangka penyerangan di tengah-tengah mereka, yang sama sekali tak memberikan hasil apa pun.
Saat introgasi itu selesai, seorang pria menyejajarkan langkahnya dengan Arga yang sedang berjalan di sebuah koridor.
“Senang melihat Kepala Keluarga Erlangga selamat dan dalam keadaan baik. Ah, maafkan kelancangan saya, saya turut berduka cita untuk kepala keluarga sebelumnya.”
Arga melirik tanpa sedikitpun mengurangi tempo langkahnya. Pria di sebelahnya berperawakan lebih pendek darinya dan lebih kurus, kulitnya putih pucat, rambutnya hitam panjang sepunggung dan diikat rendah dengan asal. Saat tersenyum, sudut mata dan bibirnya memberikan kesan licik yang tajam.
“Terima kasih atas perhatiannya, Tuan muda Gunada.”
“Tentu, tentu. Terlebih lagi Anda selamat dari penyerangan itu, sungguh kabar yang membahagiakan.”
“Begitukah? Aku sampai lupa bahwa penyerangan itu dilakukan pada Trikula. Hanya keluarga Gunada yang nyaris tak ada korban jiwa dan kerusakan sama sekali. Sungguh kabar yang membahagiakan.” Arga memberi penekanan pada kalimat terakhir dan mempercepat langkahnya, meninggalkan si pria kurus yang terdiam di tengah koridor.
Pria itu menatap punggung Arga. Tanggannya menarik dasi di antara jasnya yang tampak sedikit longgar. Matanya yang membentuk kurva saat tersenyum tadi kini datar dan dingin.
“Ahhh menyebalkan. Kemarin aku masih bisa sejajar dengannya dan kini baru jadi kepala keluarga sehari pun sudah sombong! Cih!”
***
Seorang supir membukakan pintu mobil hitam yang kemudian dimasuki Arga. Sebelum masuk, matanya melirik mobil lain yang terparkir di hadapan gedung tua megah itu yang berjarak kurang lebih 10 meter dari mobilnya. Di sana tampak juga seorang pria berjas rapi dengan rambut panjang sepunggung yang diikat ponytail sedang menatapnya sebelum akhirnya memasuki mobil. Arga tahu siapa itu, itu adalah Tuan muda Gunada yang lain.
“Aku tak melihat satupun keluarga Melodia di pertemuan.”
Arga membuka suara, seiring dengan mobilnya yang melaju pelan meninggalkan gedung. Di sampingnya, seorang pria tua yang rambut hitamnya sudah menjadi abu-abu menutup dokumen sebelum menanggapi, “kabarnya mereka masih melaksanakan upacara pemakaman untuk korban penyerangan. Mereka juga menitipkan salam dan duka cita pada Anda melalui pelayannya yang hadir mewakili.”
“Begitu. Pantas ke mana pun aku melirik hanya ada Gunada di sana.”
Pria tua itu tersenyum maklum, tuannya yang baru ini masih sangat muda.
“Ke mana selanjutnya?” Arga menatap jam tangan sambil bersiap untuk agenda selanjutnya.
“Wafatnya komisaris terdahulu membuat jajaran atas perusahan tidak stabil. Nampaknya mereka perlu bukti bahwa komisaris baru mampu memimpin dengan baik.”
Helaan napas pelan beberapa kali dilakukan Arga sambil berpikir apa yang harus dia lakukan untuk memenangkan tantangan yang satu itu. Dia sudah tahu dari awal bahwa jalannya akan sulit. Tapi dia sudah memutuskan untuk terjun dan menaklukkan semuanya.
“Baiklah. Mohon bimbingannya, Paman.”
“Dengan senang hati, Tuan.”
Hari ini Dio menemukan fakta baru tentang gadis bernama Lily itu. Alasan kenapa ia bersikap seperti bocah pembuat masalah, adalah satu, dia sama sekali belum mendapat penjelasan mengenai rumah siapa ini, kenapa ia secara paksa dibawa kemari, dan apa yang mereka inginkan darinya. Kedua, semua orang di rumah itu memperlakukannya bagai seorang putri, para pelayan nyaris memandikan dan menyuapinya makan. Dio masih ingat jelas bagaimana gadis itu begitu frustrasi saat dia berkata dengan jengkel, “aku tidak bisa makan dengan banyak sendok dan garpu sambil dipelototi para pelayan itu!!!” Karena itu, kali ini Dio membawanya ke sudut labirin mawar yang dinaungi oleh sebuah pohon besar. “Ini tempat rahasiaku.” Dio duduk begitu saja di rumput sambil meletakan beberapa kotak makanan. “Kau benar-benar hafal jalur di labirin ini?” tanya Lily. Dio terkekeh, “karena aku yang menciptakannya. Ada petanya kalau kamu mau lihat.” Lily sedikit terperanjat dan duduk berhadapan dengan Dio. “Kamu yang b
Zaman dahulu kala, saat negeri ini masih berupa beberapa kerajaan yang terpisah, terdapat tiga kerajaan besar yang menjadi induk dari kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Gunada di barat, Erlangga di timur, dan Melodia di selatan. Ketiga kerajaan itu memimpin dengan bijak, tak ada satupun keluhan terdengar dari para warga yang ada dalam naungannya. Kabar akan kesejahteraan masing-masing pun terdengar oleh satu sama lain. Yang pertama membuka celah interaksi adalah adanya undangan dari Kerajaan Erlangga pada kedua kerajaan tersebut. Dari sana mereka beraliansi, membentuk sebuah tatanan yang menghasilkan lebih dari apa yang disebut kesejahteraan. Dan sejak saat itu, tiga kerajaan besar itu disebut Trikula. Namun tak ada sejarah damai yang akan berlangsung selamanya. Percikan api konflik dimulai saat kebetulan Erlangga dan Gunada sama-sama mempunyai raja yang berusia muda. Tak seperti kedua kerajaan itu yang dipimpin seorang raja, Melodia selalu dipimpin seorang ratu, yang sialnya ada
Di halaman depan vila, tampak beberapa mobil hitam berjajar. Orang-orang tinggi besar yang tadi di dalamnya kini berbaris mengikuti seorang wanita bangsawan yang tampak anggun sekaligus dominan. Semua yang ada di sana tahu siapa itu, terutama Nyonya Wilma yang paham betul derajat wanita ini setara dengan Tuannya. Nyonya Wilma sudah memberikan penyambutan terbaiknya di depan pintu utama, namun wanita itu tampak tak tertarik basa-basi dan dengan tegas meminta bertemu dengan Arga. “Mohon maaf sebelumnya, tapi Tuan kami-“ “Ah, sudah cukup. Aku hanya ingin mengambil kembali milikku yang dia curi.” Tangan wanita itu terangkat dan spontan para pria tinggi besar di belakangnya berpencar, ada yang masuk ke vila, ada yang pergi ke arah taman. Para penjaga Erlangga yang jumlahnya tidak banyak merasa geram, namun tuannya sudah memerintahkan untuk sebisa mungkin menghindari konflik dengan keluarga lain untuk saat ini. Mereka akhirnya hanya memastikan orang-orang itu tak menyakiti siapa pun dan
Lily berdiri di sebuah tempat yang luas. Luas sampai angin yang membelai rambut coklat bergelombangnya mungkin adalah angin dari belahan dunia lain. Dia terkejut saat kakinya yang tak mengenakan alas disapu dinginnya gelombang air berbuih. Dia mundur beberapa langkah, menyadari dirinya sedang berdiri di hadapan cakrawala. Camar terbang melengkung, udara berbau garam, dan air laut yang terhampar sampai seolah menyentuh langit, adalah pemandangan yang membuatnya rindu sekaligus sedih. “Lily.” Dia menoleh, seseorang tak jauh di belakangnya melambai dan tersenyum. Seorang pria dengan rambut coklat dan wajah ramah yang tak asing. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Seketika ia sadar itu adalah mimpi. Dia langsung dirasuki perasaan untuk segera bangun dari tidur, namun pria itu menghampiri dan menggenggam tangannya. “Kenapa menangis? Hm?” Dia harus menengadah untuk melihat wajah pria itu, lalu ia menatap tangan dan kakinya. Itu adalah tubuhnya saat masih kecil. “Ayah?” ia memanggi
Kisahnya bermula di sebuah pesisir selatan, sebuah tampat yang menghadap langsung ke arah samudra. Pemandangan yang ia lihat setiap hari adalah ayah ibunya, rumah kayunya yang sederhana, tetangga-tetangga yang ramah, jaring-jaring ikan, perahu-perahu, dan pasir pantai yang berkerlap-kerlip bagai permata, meski aslinya itu hanya pantulan bijih besi yang terkandung di dalam pasir. Ia hidup dengan bahagia sebagai seorang anak pesisir yang riang, sebagai gadis bernama Lily, hanya Lily saja. Kadang, saat malam ayahnya akan memainkan sebuah biola di serambi rumah, membuat ia dan ibunya terbuai indahnya alunan melodi lain selain deburan ombak dan desiran angin malam. Lily sudah tertarik pada biola itu sejak kecil, ia sering memainkannya dan sesekali diajari ayahnya. Anak-anak sekitar sana pun senang mendengarnya bermain. Baginya itu adalah dunia kecilnya yang sempurna. Sampai suatu saat sebuah bencana membuat dunia itu menjadi suram dan sepi. Desanya diserang sebuah wabah, ayah ibunya, dan
Sejak pagi kediaman Erlangga telah ribut oleh perkacakapan para pelayan. Lily yang terbangun karena kegaduhan itu, namun dia sama sekali tak ambil pusing dan langsung menuju kamar mandi. Dengan masih setengah terpejam ia memutar kran dan dihinggapi sebuah kejanggalan akan hilangnya suara air yang seharusnya sudah terdengar seiring dengan alirannya yang membasahi tangan Lily. Matanya pun terbuka sepenuhnya memastikan bahwa memang tak ada air di sana. Ia memutar-mutar kran, namun hasilnya tetap sama. Seketika dia paham kenapa para pelayan itu ribut sejak pagi. Lily keluar kamar setelah mengganti baju tidurnya. Rambutnya ia ikat sekenanya dan turun ke lantai bawah. Ia perlu seseorang untuk menanyakan situasi, namun para pelayan yang tadi ribut kini menghilang. Dia seketika hendak membuka mulut ketika matanya menangkap siluet seseorang berpakaian pelayan, namun lidahnya segera tertahan dan moodnya mendadak berubah jengkel saat melihat pelayan itu berpotongan rambut bob. “Dari semua orang
Suatu siang, saat Lily sedang membantu bersih-bersih, ia mendengar pembicaraan beberapa pelayan bahwa mereka baru saja diselamatkan tiga pendekar. Apa yang didengarnya itu tentu saja membuat alisnya mengernyit karena terdengar seperti sebuah dialog dalam film fantasi. Lily awalnya berpikir mungkin ia salah dengar dan orang itu hanya sedang membicarakan film. Tapi sebutan ‘tiga pendekar’ itu dia dengar lagi dan lagi. “Hari ini aku dimarahi tiga pendekar.” “Tadi tiga pendekar menyuruhku membawa ini ke sana.” “Sudah lama ya, tidak dilatih tiga pendekar.” Dan semua yang ia dengar itu membuatnya penasaran setengah mati. Ia ingin bertanya, tapi para pelayan itu selalu sungkan tiap bicara dengannya. Jadi yang terlintas di kepala Lily hanya ada empat orang untuk ditanyai. Namun dengan segera Lily mengoreksi pemikirannya barusan. Silvi akan sedikit sulit jika ditanya tanpa disuap makanan, dan Monika … “ugh”, memikirkannya saja Lily sudah malas. Jadi kesimpulannya ada dua orang yang bisa di
Setelah mengetahui soal tiga pendekar, Lily meminta kepada Adelin untuk diajari bela diri. Namun ia sibuk dan merasa keterampilannya tidak akan cocok untuk Lily. Meski di sebut tiga pendekar dan punya kemampuan yang hebat, namun mereka bertiga ternyata memiliki spesialisasi masing-masing. Silvi jago karate, Monika lebih ke taekwondo, sedangkan Adelin tak punya keahlian khusus, ia bisa semua dasar bela diri dan memakainya dalam pertarungan dengan caranya sendiri. Jadi Adelin menyarankan belajar kepada Silvi. Lily menuruti saran Adelin dan Silvi setuju mengajarinya, karena itu saat sore ketika pekerjaan rumah sudah selesai, ia memulai latihannya dan dibuat heran karena yang ia lakukan setelah satu jam latihan dimulai hanya duduk ala sinden dengan badan tegap dan berhadapan dengan Silvi yang bermeditasi dengan posisi bersila. “Uhm … Silvi?” Tak ada respons, Silvi masih terpejam dengan posisi tangan yang serupa dengan para pertapa. Lily sudah tak bisa duduk dengan seimbang, kakinya ter