Adelin sudah merasa ada yang aneh sejak lama. Dia menyadari hal itu setelah dua tahun tinggal di mansion Erlangga. Sesuatu yang aneh itu adalah, dia selalu merasakan ada yang tak seharusnya berada di sana, seperti perasaan takut karena hantu ketika sendirian. Tapi yang dirasakannya bukan ketakutan, melainkan penasaran. Dirinya selalu diliputi rasa ingin tahu mengapa dia merasakan hal itu. Kadang dia merasa mungkin ada penyusup, tapi semua hal yang dia periksa sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda adanya penyusup. Semua serba normal, semua selalu pada tempatnya, dan meski perasaan itu terus datang secara tiba-tiba dalam waktu yang lama, namun rumah Erlangga tak pernah mendapat kasus pencurian atau hal-hal lain yang melibatkan penyusup. Jadi Adelin menyimpulkan kalau penyusup itu tidak pernah ada, dan perasaannya hanya halusinasi saja. Kemudian penyerangan pada Trikula akhirnya terjadi, Erlangga berduka dengan kehilangan kepala keluarganya. Adelin merasa telah gagal melindungi keluarg
Lily terbangun ketika sorot matahari dari jendela sudah meninggi. Gorden di ruangan yang masih asing di matanya itu setengah terbuka, bagian gelapnya jatuh pada ranjang di mana Lily tertidur. Lily mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa aneh dengan pemandangan tak biasa yang ia lihat ketika membuka mata. Setelah ia berguling ke samping dan melihat luasnya ranjang yang dia tiduri, baru dia sadar kalau kini, dia sudah menjadi Nyonya Erlangga dan ini adalah kamarnya bersama Arga. Sekelebat ingatan kejadian semalam muncul dalam otaknya, membuatnya tersipu malu. Dia merasa akan sedikit canggung ketika bertemu dengan Arga nanti. Tunggu, setelah Lily pikir-pikir lagi, ini adalah pagi pertamanya sebagai seorang istri dan dia bangun kesiangan sementara suaminya telah pergi entah ke mana. Belum apa-apa dia sudah merasa tak berguna. Lily bangkit mengenakan kimono tidurnya dan melihat secarik kertas di atas meja. Lipatannya dia buka dan di muncul tulisan, “selamat pagi istriku, makanlah, ini b
Arga, Dio dan Yogi sedang berada di ruangan Arga untuk menemani Lily menonton konser biola yang disiarkan di televisi. Lily merasa wajib menontonnya karena Evan Melodia akan bermain di sana bersama para pemain biola senior. Sepanjang acara terlihat Lily sangat menikmatinya, terutama ketika Evan yang bermain. Dia pemain paling muda di sana namun permainannya adalah yang paling indah menurut Lily. Di akhir, setelah permainannya selesai, Evan berbicara, “permainanku yang terakhir spesial kupersembahkan untuk kakakku tercinta, Lily Erlangga.” Lily spontan terkejut dan menutup mulutnya, ketiga pria yang ada di sana juga sedikit bersorak. Saat Evan bilang kakak, tentu dalam otak mereka yang pertama muncul adalah Elva Melodia. Lily tampak terharu, Arga memeluknya. “Waahh senangnya jadi kakak kesayangan Evan …“ goda Yogi. Lily lalu memukul lengannya. Dio terkikik melihat tingkah mereka. Dia ikut senang hubungan Lily dan Evan begitu harmonis, tapi sepertinya akan ada orang yang tidak senang
Di kediaman Martin, Lemon berlari di sebuah koridor mengejar seseorang yang mengenakan pakaian pelayan. Begitu berbelok, Lemon mendapati pria itu menghilang. Seorang pelayan wanita keluar dari sebuah ruangan dan terkejut melihatnya, spontan Lemon memukul tengkuknya dan dia terkulai tak sadarkan diri. Lemon lalu melangkah pelan, pistol siap di tangan, satu per satu ruangan dia periksa namun orang yang dia kejar masih tak ditemukan, sampai akhirnya hanya menyisakan satu ruangan di ujung koridor. Lemon membenarkan pegangan pada pistolnya, pintu di dobrak, moncong pistol dia arahkan sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun ruangan itu hanya penuh dengan lukisan dan beberapa kanvas kosong. Tapi kemudian Lemon tersentak, spontan melihat ke arah kanvas persegi besar yang langsung rubuh, ketika tangan kanan menangkisnya, pria bertopeng sudah tepat di depannya dan menyayatnya dengan pisau. Lemon mendecih, pria itu berniat menyerang leher tapi dia mengelak dan hanya mengenai lengan
Di kamar sebuah hotel yang berada di lantai tertinggi, Elva dan Rava duduk menghadap jendela besar yang terbuka lebar. Di sisi-sisi jendela, tirai putihnya berayun-ayun tertiup angin. “Merah!” ucap Elva dengan semangat. “Hmmm, biru!” balas Rava. Mereka sedang melakukan permainan sederhana yang mengharuskan mereka menebak warna yang muncul dengan benar. Tak jauh dari hotel yang mereka tempati, ada gedung tinggi dengan baliho besar yang menampilkan iklan minuman segar, background iklan itu akan berganti warna tiap satu menit. “Yeee aku menang lagi!” sorak Elva ketika baliho itu memunculkan warna merah. Sesuai kesepakatan, yang kalah harus diolesi oleh lipstik di wajahnya, dan Rava yang selalu salah menebak, sudah penuh dengan coretan lipstik di wajah. “Ah aku menyerah! Aku tidak mau main lagi!” Rava tampak jengkel, sementara Elva tertawa-tawa atas kemenangannya. Di belakang mereka tampak ada papan catur dengan bidak-bidaknya yang tercecer di sisinya, lalu ada kartu remi yang bebaur
Dua bulan terlewat sejak pernikahan Arga dan Lily. Akhir-akhir ini belum ada kabar lagi dari Lemon, dan semua tampak stabil bagi Arga. Dia jadi punya banyak waktu untuk bersama dengan Lily. Dan hari ini, rencananya mereka akan pesta barbeku di halaman belakang. Dio, Paman Yoga dan Yogi mendapat tugas membeli bahan-bahannya. Arga, Lily dan tiga pendekar menyiapkan tempat dan peralatannya. Mereka juga mengundang Nyonya Wilma, tapi perempuan tua itu menolak. Pesta barbeku kecil-kecilan itu lumayan seru, Yogi selalu berusaha mendekati Adelin, dan seperti biasa dia akan dicegat Monika. “Sudah kubilang hentikan kelakuanmu! Nona Adelin tak cocok untuk orang sepertimu!” bentak Monika. Yogi yang jengkel membalas, “apa hakmu melarangku, dasar gorila!?" "Hah!?" Dio yang tertawa dengan kelakuan mereka berkomentar, “aku tak bisa membayangkan seheboh apa jika kalian menikah.” Dan Dio langsung mendapat pelototan dari mereka berdua. “Berisik!” Silvi yang sedang menikmati dagingnya protes. “Aah
Rava benar-benar dikurung sekarang. Dia tak pernah dibiarkan sendirian dalam sebuah ruangan, Morgan menempatkan orang-orangnya untuk terus mengawasi gerak-gerik cucunya itu. Keadaan itu sudah berlangsung selama tiga minggu lebih sejak dia kembali pulang setelah sebelumnya kabur untuk bermain-main. Rava hanya terkulai lemas di kursinya, kini bahkan untuk bernapas pun terasa tidak enak. Ketukan pintu terdengar, si penjaga di ruangan itu langsung mengeceknya dan mengizinkannya masuk. Rava mendengus, dia bahkan sudah tak punya wewenang di ruangannya sendiri. Apanya yang kepala keluarga Gunada? Jelas sekali dia hanya boneka yang sedang dimainkan kakeknya. Orang yang datang ternyata adalah seorang pelayan yang membawakannya makanan. Pelayan itu tampak terkejut melihat sarapan tadi pagi masih utuh tak disentuh tuannya. Tanpa banyak bicara, dia mengganti makanan di atas meja itu dengan yang baru. Rava hanya menatapnya dengan malas. Tapi beberapa detik kemudian, dia merasa sedikit pusing. Tak
Dio menatap Arga dan Lily dari kejauhan. Mereka tampak bahagia selayaknya pasangan muda lain yang berbahagia menantikan adanya anak pertama. Dia bersyukur melihat pemandangan itu. Meski banyak kemelut di balik bayangan, tapi keadaan para keluarga bangsawan terbilang stabil dan harmonis. Setidaknya untuk saat ini, karena tadi pagi, datang utusan dari Gunada yang memberi kabar bahwa Irgan Gunada resmi menjadi kepala keluarga. Dio tak paham ada drama apa di baliknya, tapi berita itu jelas-jelas mengundang banyak pertanyaan. Dan pertanyaan paling utama adalah, apa yang terjadi pada Rava? Dio menggenggam surat yang dibawa utusan Gunada itu, dia hendak memberikannya pada Arga, tapi melihatnya sedang berbahagia membuat Dio tak mau mengganggunya. Akhirnya Dio berbalik, dan malah menemukan Monika sedang bersandar di tembok memperhatikannya. “Apa?” tanya Dio yang heran melihat Monika mengernyitkan alis ke arahnya. “Aku turut prihatin.” Dio semakin tak paham, “untuk?” Monika melirik Arga da
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang