Rumah kediaman Erlangga sekali lagi diselimuti aura negatif karena tuan mereka kembali berada dalam suasana hati yang mengerikan. Yogi yang kembali datang untuk mengantarkan dokumen heran kenapa ia selalu saja datang saat suasananya mencekam. “Terakhir kali begini, aku harus masuk ke sarang penghianat untuk memperbaiki suasananya. Kali ini kira-kira aku harus apa?” gumamnya sendiri saat ia berdiri bersandar di luar pintu ruangan Arga karena sang tuan tidak membukakan pintu untuknya. “Kali ini tidak ada yang bisa kau lakukan.” Sebuah suara menanggapi gumamannya, ternyata itu Dio yang mendekat dari arah tangga. “Lagi pula gara-gara orang sepertimu yang selalu membantu memecahkan masalahnya, dia jadi tumpul untuk membenarkan masalah hidupnya sendiri. Berhenti memanjakan dia!” Dio misuh-misuh, Yogi menatapnya dalam diam, namun pikirannya berkata, “orang yang selalu membantu menyelesaikan masalah dan memanjakan Tuan Arga? Bukannya itu kau!?” Yogi ingin mengatakan itu dengan keras tapi i
Esoknya, siang hari, Arga mematung di dapur. Alasannya karena di tempat yang ia tuju, ada Dio yang sedang fokus menyeduh kopi instan, sama seperti yang akan dia lakukan. Dia yakin dari jarak itu Dio sudah menyadari keberadaannya, namun orang itu tak menggubrisnya sama sekali. Dia pun mendekat, tepat ke sisi kiri Dio yang sedang membuka kemasan kopinya. Wajah Dio penuh dengan plester di hidung, pipi, pelipis dan sisi mulut, sementara Arga hanya di hidung saja, namun tangan kanannya di perban dan tak bisa ia gunakan untuk beberapa hari. Arga lalu menyobek kemasan kopi dengan giginya. Itu kopi hitam lokal tanpa gula, sehingga setelah ia memasukkan kopi ke dalam gelas, ia mulai kesulitan membuka toples berisi gula dengan satu tangan. Dio lalu mengambil toples dari tangannya dan memasukkan dua butir gula padat pada gelas Arga, dan dua butir ke dalam gelasnya sendiri. Mereka lalu bergantian mengisi air panas dari dispenser di depan mereka. Saat akan mengaduk, rak sendok ada tepat disamping
Malam hari, Arga memasuki ruang kerjanya dan begitu menutup pintu, ia sadar seseorang yang tidak diundang ada di ruangan ini. Ia lalu berjalan dengan santai menuju kursinya, seolah tak menyadari apa pun. Keamanan di rumah ini sudah tak perlu dipertanyakan baginya, karena itu saat ada seseorang yang berhasil menyusup, hanya ada dua kemungkinan, entah itu hantu atau memang seorang elit. Dan Arga belum pernah menemui seorang elit yang sangat pandai menyusup di dunia ini kecuali seseorang yang dia kenal. Maka dari itu, saat seseorang masuk dari pintu balkonnya yang setengah terbuka, ia cuek saja dan melanjutkan mengetik sesuatu di laptopnya. Omong-omong tangannya yang diperban sudah sepenuhnya sembuh. “Keamananmu menurun.” Seseorang itu membuka mulut, membuat suaranya yang dalam dan serak-serak basah merambat ke sekitar ruangan. “Mereka orang-orang baru,” ucap Arga cuek, “penjaga terbaikku wafat saat penyerangan waktu itu,” tambahnya dengan prihatin. “Masih lebih baik dari pada yang l
Meski tak sesuai harapan, namun kasus mata-mata akhirnya selesai. Meski begitu Lemon menyuruh mereka untuk terus berhati-hati, bisa saja mata-matanya ada lebih dari satu. Arga sangat tak senang dengan wacana itu. Baginya rumah adalah tempat bersantai, tempat di mana semua beban bisa ditanggalkan. Sangat tidak menyenangkan jika dia harus waspada pada musuh di dalam rumahnya sendiri. Dio lalu mengingatkan bahwa ‘rumah’ yang Arga maksud itu adalah kediaman salah satu dari Trikula, tentu saja akan ada perbedaan dengan rumah damai yang dihuni sebuah keluarga sederhana. Mendengar itu, Arga hanya cemberut dan memalingkan muka. Melihat keadaan rumahnya yang belum stabil, Arga berjalan-jalan menghampiri para pekerjanya dan bicara dengan mereka tentang kasus mata-mata itu. Sebagian pekerja bahkan takut untuk dekat-dekat dengan lokasi jatuhnya Igas. Arga paham itu sama sekali bukan hal yang sepele, sebuah nyawa baru saja melayang di sana. Arga pun memutuskan mengecek tempat itu, Dio memang berk
Tidak ada yang bisa memilih takdirnya dalam hidup. Semua itu misteri, dan telah melekat pada setiap manusia begitu keberadaanya di muka bumi ini dipastikan. Saat seorang bayi terlahir, dia sudah dihadapkan pada relalita kehidupan yang akan dia jalani, jika dia terlahir dari rahim artis kaya raya, sebelum bisa membuka mata pun dia sudah ratusan kali menjadi objek kamera dan fotonya tersebar dilihat banyak orang yang sama sekali tak ia kenal. Tapi jika dia terlahir dari rahim perempuan miskin yang untuk mencari makan pun sulit, maka realita pertama yang dihadapinya adalah kelaparan, ibunya tak mampu memberikan asi. Kebetulan bayi yang sedang mendapat takdir buruk itu kini sedang menangis di pelukan ibunya yang berpakaian compang-camping, dia duduk di pinggiran gang sebuah kota metropolitan dengan dus bekas di depannya, menganga meminta koin dan lembaran uang dari para pejalan yang lewat. Kebanyakan dari mereka hanya lewat tanpa melihat, bahkan mungkin tak menyadari keberadaan ibu dan a
Apa yang baru saja terjadi benar-benar terasa seperti mimpi. Lemon terpejam, di atas sebuah truk yang mengarah entah ke mana. Di kepalanya hanya ada senyuman pertama dan terakhir Wilo, manusia menyebalkan yang selama ini hanya memanfaatkannya sebagai senjata pencari uang. Dia berkali-kali mencoba untuk mengalahkan pria itu namun selalu gagal. Meskipun kesal mengakuinya, namun dia tahu pria itu adalah pria paling hebat yang pernah dia temui, mungkin secara tidak sadar, Lemon sudah membentuk keyakinan bahwa pria hebat seperti Wilo tidak akan pernah bisa kalah apalagi mati. Mungkin, jauh dari dalam dirinya dia mengagumi pria itu. Mengingat bagaimana bom itu meledak, membuat perasaannya tak tenang dan terus menggumamkan kalimat, “dia tidak akan mati.” Truk itu terus melaju sepanjang malam, sampai matahari terbit pun belum ada tanda-tanda akan berhenti. Ketika hari terang, Lemon bersembunyi ditutupi jerami agar tak terlihat orang lain. Setelah keadaannya sedikit tenang, dia mulai memperha
Mansion utama Erlangga akhirnya selesai diperbaiki, Arga Erlangga mengumumkan pada semua bawahannya bahwa mereka akan segera kembali pindah ke sana. Semua pelayan pun tampak sibuk bersiap-siap, termasuk Dio. Dio mendahulukan semua kebutuhan Arga, terutama membereskan dokumen-dokumen penting. Sementara Arga seharian sibuk dengan Paman Yoga dan Yogi di kantor. Dio membereskan dokumen sampai malam, semuanya gara-gara kebiasaan Arga yang ingin menyelesaikan pekerjaan dengan cepat tanpa memperhatikan kerapihan, jadinya dia yang harus selalu membereskannya sampai berlarut-larut. Itu baru dokumen fisik, belum lagi dokumen digital yang menurut Dio lebih sulit dipilah karena tak bisa disentuh. Ditengah-tengah pekerjaannya, konsentrasinya sedikit terusik saat didengarnya engsel pintu dari arah balkon berbunyi. Dia yang dulu kadang suka menemui Lily dari balkon, akhirnya mengerti kenapa gadis itu selalu cemberut dan melarangnya datang dari sana, ternyata menyeramkan mendengar suara dari arah ya
Hari kepindahan Arga ke mansion utamanya akhirnya tiba. Dia berdiri di depan mansion, menatap mansion yang sudah berdiri puluhan tahun itu dengan perasaan campur aduk. Karena penyerangan waktu itu, semenjak menjadi kepala keluarga Arga belum pernah tinggal di sana lagi, dan akhirnya kini warisan tampat kepala keluarga Erlangga tinggal itu akan segera dia tempati. Dia berjalan masuk, memperhatikan pelayan-pelayannya yang hilir mudik membawa barang-barang. Dia tadi mau ikut angkut-angkut, tapi Dio memelototinya dan mengatakan agar dia tidak ikut campur. “Kau urus saja perkerjaan yang hanya bisa dilakukan olehmu,” kata Dio ketika melarang Arga. Arga hanya bisa mendengus, pekerjaan di kantor sedang santai, dia belum benar-benar punya kegiatan sekarang ini. Akhirnya dia hanya melihat-lihat dan sesekali membantu pelayan yang kesusahan. Di aula utama mansion, tempat pertama yang ada setelah memasuki pintu utama, terpampang lukisan besar dengan figura mewah menampilkan sosok Adhitama Erlang