"Gimana saya mau baca sampai tuntas, baru baca satu paragraf saja kertasnya sudah Bapak rebut," jawab Wulan dengan ketus."Hahaha, sudahlah gak usah diributkan, toh kontraknya juga sudah sah," sahut Gio dengan entengnya. Ia pun kembali menarik tangan Wulan menuju meja kosong."Mau makan apa?" tanya Gio saat pelayan memberikan buku menu kepadanya."Saya tidak lapar," jawab Wulan kesal."Ya sudah, kalau nggak lapar pesan minum saja!" ucapnya, kemudian ia pun memesan nasi ayam paket komplit dan dua gelas es jeruk. Berulang kali Wulan melihat jam di ponselnya. Ia benar-benar tidak nyaman berada didekat pria menyebalkan ini. Berbanding terbalik dengan Gio. Pria itu tak henti-hentinya memandangi Wulan yang memasang wajah kesal, semakin Wulan cemberut dan jutek semakin Gio penasaran."Ini pesanannya, Pak! Selamat menikmati," ucap pramusaji itu menaruh pesanan Gio di atas meja.Dengan lahap Gio menikmati pesanannya. Tak ada sedikitpun rasa malu atau pun canggung dalam diri pria itu. Melihat
"Nah gitu dong, jangan banyak ngebantah," ucap Gio. Ia pun berjalan menuju parkiran dan diikuti oleh Wulan dibelakangnya.'Dia mau kemana sih? Bukannya parkiran mobil ada disana, kenapa dia muter ke arah belakang?' "Ayo naik!" ucap Gio membuat Wulan terkejut."Naik motor?" tanya Wulan bingung. 'Yang benar saja' masa seorang bos dengan saham miliaran kendaraannya motor butut?' Batin Wulan"Iya! Kenapa? Kamu nggak mau saya bonceng pakai motor? Udah cepat naik, panas nih! Jangan lupa pakai helmnya" Seru pria itu kepada Wulan. Sepanjang jalan Wulan terus berpikir, jika dia seorang bos mana mungkin hanya naik motor, apa jangan-jangan dia ini bos gadungan yang sengaja ingin memeras dirinya? Dari penampilannya saja sudah meragukan, ditambah tingkah laku dan kendaraan yang dibawanya membuat Wulan semakin yakin jika pria yang memboncengnya itu seorang penipu."Nggak usah mikir yang macem-macem! Tidak semua orang kaya harus memakai mobil kan? Jalanan ibu kota ini selalu macet, kurang efektif
"Bagaimana kerjanya hari ini, Mas? Lancar?" tanya Wulan pada laki-laki yang tengah berbaring di pangkuannya."Lancar," jawab Fatih singkat."Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku lega mendengarnya. Semua produknya terjual habis?" lagi Wulan bertanya."Hmm, bisa gak kita nggak usah ngebahas kerjaan dulu. Mas ingin kita bersantai," sahut Fatih malas. Bagaimana tidak, seharian ini ia hanya sibuk mencari lowongan kerja walaupun hasilnya nihil. Fatih tidak mau terus berbohong pada istrinya."Baiklah," ucap Wulan mengelus pucuk kepala suaminya itu.Ting!Notifikasi di ponsel Wulan membuyarkan moment romantis mereka berdua.Fatih membuang nafas kasar, dengan kesal ia pun melepaskan pelukannya. Dan membiarkan istrinya itu mengambil ponsel yang ditaruh di atas bantal.[Bagaimana bajunya? Sudah kamu cuci kan?] Isi pesan singkat yang dikirim oleh Gio. Tak ingin membuang waktu, Wulan pun segera membalasnya singkat.[Sudah] send.[Sudah kamu pastikan semua nodanya hilang' kan?] Wulan menarik nafas panj
Wulan terjatuh di lantai dapur yang licin. Kepala belakangnya terasa berat karena benturan yang keras.Wulan meringis kesakitan, ia berusaha bangkit. Namun, agak sulit karena tulang ekornya pun terasa ngilu.'Aneh, siapa yang menuang pembersih lantai sebanyak ini?' Batin Wulan. Ia mencoba memanggil Ibu mertuanya, tapi sama sekali tidak dihiraukan.Hampir lima belas menit Wulan tergeletak di lantai, hingga akhirnya ia pun berusaha untuk duduk setelah rasa pusingnya sedikit berkurang.Lantas Wulan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, ia harus segera ganti baju dan mencari air hangat untuk mengompres kepala belakangnya yang masih terasa sakit. Dengan hati-hati Wulan menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia berniat untuk menghubungi suaminya. Namun, niatnya itu ia urungkan, Wulan takut akan membuat Fatih cemas dan mengganggu pekerjaannya."Astaga, kemana si benalu itu? Apa dia sudah siuman?" ucap Bu Ratna saat melihat Wulan sudah tidak tergeletak di tempatnya terjatuh."Dia itu manu
Wulan berlari menghampiri Gio yang sudah duduk menunggunya. Wajahnya yang menyeramkan membuat Wulan takut. "Kamu tau ini jam berapa?" tanya Gio. Matanya menatap tajam lawan bicaranya."Maaf, Pak. Saya telat, saya ada urusan. Tapi saya janji, saya tidak akan telat lagi," jawab Wulan berusaha menjelaskan."Bukankah saya sudah peringatkan agar kamu tidak sampai telat? Ini sudah hampir jam satu! Itu tandanya kamu sudah membuat saya menunggu satu jam, kamu tau' kan, waktu saya itu sangat berharga?""Iya, Pak. Saya tau' saya bener-bener minta maaf. Saya tidak berniat untuk membuat Pak Gio menunggu," 'Ah, sial! wajah itu. Lagi-lagi ia membuatku gemas!'"Kamu tau konsekuensinya kalau telat' kan?" tanya Gio. Wulan pun mengangguk pasrah."So' hutangmu bertambah! Itu artinya masa kerjamu juga akan bertambah," tegas Gio tak mau dibantah."Tapi, Pak. Bapak bisa gitu dong, tidak bisa seenaknya. Peraturan itu kan tidak tertulis di dalam surat perjanjian kita, mana bisa Bapak seenaknya sama saya,"
Tangan kiri Gio memegang tangan Wulan yang melingkar di pinggangnya. Ia berharap ini bukanlah mimpi. Jika pun ini mimpi' ia ingin tidur selamanya agar mimpi ini tidak berakhir.Ia menghentikan motornya di sebuah rumah kos yang padat penghuni."Turun! Kita sudah sampai!" ucap Gio pada wanita yang masih menenggelamkan wajahnya dan memeluknya dengan erat itu.Wulan segera melepaskan pelukannya dan turun dari motor dengan wajah bingung."Kita dimana ini?" tanya Wulan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling area kosan."Ini tempat tinggal saya! Ayo masuk!" ucap Gio mengajak Wulan. Pria itu pun lantas membuka kunci dan membawa masuk kresek belanjaannya. Sedangkan Wulan masih mematung tak percaya.Bagaimana mungkin seorang bos dengan investor miliaran hanya tinggal di sebuah kosan yang kecil dan padat penghuni."Kenapa bengong disana? Ayo masuk!" Suara Gio membangunkan lamunan Wulan.'Fix! Aku ditipu, dia bukan bos. Pria ini bukan pemilik perusahaan yang sahamnya miliaran, dia pasti nipu aku
"Ojeknya kemana sih? Ko nggak muncul-muncul? Mana nggak ada sinyal lagi' jadi nggak bisa order ojol. Hiih, nyebelin banget sih!" celoteh Wulan kesal."Maaf, Bu. Mau tanya, disini pangkalan ojek di sebelah mana ya?" tanya Wulan pada ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya di teras."Disini nggak ada pangkalan ojek, Neng. Adanya angkot, tapi jauh di depan sana. Satu kilo lagi lah kurang lebih," jawab Ibu itu membuat Wulan terkejut.'Ya Tuhan, bagaimana ini? Masa aku harus jalan kaki satu kilo meter untuk bisa naik angkot?' "Ya udah, Bu' makasih ya," ucap Wulan. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya pelan."Gimana? Masih kuat jalan?" tanya Gio mengejek. Wulan melengos membuang mukanya yang terlihat pucat. Ia enggan untuk menjawab."Cepet naik! Saya antar kamu pulang!" "Udah nggak usah gengsi, ayo naik! Nanti kulit putihmu gosong kalau lama-lama dibawah sinar matahari," tutur Gio tersenyum pada Wulan.Tidak ada pilihan lain bagi Wulan selain naik ke motor bosnya itu. Ia tidak mungkin jala
Gegas Gio berlari masuk ke dalam rumah minimalis itu. Ia melihat Wulan tergeletak tak jauh dari pintu. Disampingnya si Mbok duduk merangkul Wulan."Non, bangun Non. Non Wulan kenapa?" tanya si Mbok khawatir. "Wulan kenapa, Bu?" tanya Gio. "Nggak tau, Den. Pas si Mbok liat Non Wulan sudah tergeletak di lantai," 'Non? Kenapa ibunya Wulan memanggil Wulan Non? Terus–kenapa dia menyebut dirinya si Mbok? Aneh,' batin Gio bertanya-tanya."Ya sudah kita pindahin aja dulu' Bu. Mau dipindahin kemana?" "Ke kamar saja, Den," jawab si Mbok. Gio pun segera mengangkat tubuh Wulan dan memindahkannya ke kamar."Badan Non Wulan panas," ucap si Mbok cemas. Ia pun bergegas ke dapur untuk mengambil kompres air panas."Sebaiknya segera dibawa ke dokter saja, Bu. Biar kita tau Wulan kenapa,""Tapi rumah sakitnya jauh, Den," jawab si Mbok."Oh iya, kita panggil mantri saja ya' Den. Kalau nggak salah di depan sana ada mantri," "Ya udah, Bu. Lebih baik segera di panggil aja," "Kalau gitu' si Mbok panggil