"Ojeknya kemana sih? Ko nggak muncul-muncul? Mana nggak ada sinyal lagi' jadi nggak bisa order ojol. Hiih, nyebelin banget sih!" celoteh Wulan kesal."Maaf, Bu. Mau tanya, disini pangkalan ojek di sebelah mana ya?" tanya Wulan pada ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya di teras."Disini nggak ada pangkalan ojek, Neng. Adanya angkot, tapi jauh di depan sana. Satu kilo lagi lah kurang lebih," jawab Ibu itu membuat Wulan terkejut.'Ya Tuhan, bagaimana ini? Masa aku harus jalan kaki satu kilo meter untuk bisa naik angkot?' "Ya udah, Bu' makasih ya," ucap Wulan. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya pelan."Gimana? Masih kuat jalan?" tanya Gio mengejek. Wulan melengos membuang mukanya yang terlihat pucat. Ia enggan untuk menjawab."Cepet naik! Saya antar kamu pulang!" "Udah nggak usah gengsi, ayo naik! Nanti kulit putihmu gosong kalau lama-lama dibawah sinar matahari," tutur Gio tersenyum pada Wulan.Tidak ada pilihan lain bagi Wulan selain naik ke motor bosnya itu. Ia tidak mungkin jala
Gegas Gio berlari masuk ke dalam rumah minimalis itu. Ia melihat Wulan tergeletak tak jauh dari pintu. Disampingnya si Mbok duduk merangkul Wulan."Non, bangun Non. Non Wulan kenapa?" tanya si Mbok khawatir. "Wulan kenapa, Bu?" tanya Gio. "Nggak tau, Den. Pas si Mbok liat Non Wulan sudah tergeletak di lantai," 'Non? Kenapa ibunya Wulan memanggil Wulan Non? Terus–kenapa dia menyebut dirinya si Mbok? Aneh,' batin Gio bertanya-tanya."Ya sudah kita pindahin aja dulu' Bu. Mau dipindahin kemana?" "Ke kamar saja, Den," jawab si Mbok. Gio pun segera mengangkat tubuh Wulan dan memindahkannya ke kamar."Badan Non Wulan panas," ucap si Mbok cemas. Ia pun bergegas ke dapur untuk mengambil kompres air panas."Sebaiknya segera dibawa ke dokter saja, Bu. Biar kita tau Wulan kenapa,""Tapi rumah sakitnya jauh, Den," jawab si Mbok."Oh iya, kita panggil mantri saja ya' Den. Kalau nggak salah di depan sana ada mantri," "Ya udah, Bu. Lebih baik segera di panggil aja," "Kalau gitu' si Mbok panggil
Wulan kembali masuk ke dalam kontrakan, ia menyandarkan tubuhnya di atas kursi. Jika kondisinya lemas seperti ini bagaimana caranya ia bisa pulang? Wulan benar-benar bingung saat ini. 'Apa ini efek jatuh tadi pagi?' Batin Wulan memegang bagian kepala belakangnya yang terasa sakit.''Ah, sepertinya iya. Karena tidak biasanya aku seperti ini. Aku harus lihat, apa saja yang mereka lakukan di dalam rumah selama aku tidak ada,'' ucap Wulan. Ia pun mengambil ponselnya dan hendak melihat rekaman CCTV. Namun, panggilan dari Fatih sudah lebih dulu masuk ke ponselnya. Dengan cepat ia pun mengusap tombol jawab di layar, Wulan tidak ingin suaminya yang posesif itu marah."Assalamualaikum, Mas" ucap Wulan saat panggilan tersambung."Waalaikumsalam, Wulan. Kamu dimana? Kenapa suaranya lemes banget? Kenapa jam segini belum pulang ke rumah? Kamu baik-baik saja kan?" ucap Fatih memberondong istrinya dengan banyak pertanyaan."Aku baik-baik saja, Mas. Hanya saja tadi sedikit pusing, mungkin karena ak
***Di kediaman si Mbok."Mbok," panggil Wulan."Lho, Non Wulan? Ko sudah bangun? Ini kan masih subuh Non," ucap si Mbok saat Wulan menghampirinya di dapur."Iya, Wulan mau sholat subuh. Si Mbok punya mukena?""Ada, Non. Sebentar Mbok ambilkan," ucapnya. Ia pun masuk ke dalam kamarnya dan kembali dengan mukena berwarna cream di tangannya."Ini Non mukenanya," Wulan pun langsung mengambil mukena yang diberikan si Mbok. Lantas ia pun bergegas untuk wudhu dan sholat subuh.Selesai sholat' Wulan pun kembali ke dapur. Ia berniat untuk membantu si Mbok memasak."Tidak usah Non, biar si Mbok saja. Non Wulan istirahat saja, biar si Mbok yang masak,""Nggak apa-apa Mbok, biar Wulan bantuin. Wulan juga bingung mau ngapain jam segini, mau keluar juga masih gelap," "Mungkin karena mendung Non, makanya jam segini masih gelap. Padahal biasanya jam lima orang-orang udah pada rame pergi ke pasar," "Oh ya? Pasarnya di sebelah mana Mbok?" tanya Wulan antusias."Katanya di seberang masjid Non. Si Mbok
"Ini kopinya, Den! Silahkan diminum!" ucap si Mbok menaruh satu cangkir kopi dan satu cangkir teh di atas meja."Terima kasih, Bu" jawab Fatih."Makasih' ya, Mbok," kali ini giliran Wulan."Iya, sama-sama. Si Mbok ke dapur dulu' ya Non. Mau lanjut masak," ucap Mbok Romlah kembali ke dapur meninggalkan mereka berdua."Dia itu siapa? Kenapa manggilnya Non? Dia bukan ibumu?" tanya Gio penasaran.Wulan menoleh dan menjawab dengan ketus. "Memangnya pertanyaan seperti ini tertulis di dalam kontrak?" "Hahaha," Gio kembali tertawa. "Sepertinya belum, nanti akan saya tulis," sahut Gio membuat Wulan semakin jengkel."Pertanyaan saya itu serius, dia itu siapa? Ibu kamu atau bukan?" "Bukan, tapi sudah saya anggap ibu saya sendiri," mendengar jawaban Wulan Gio pun hanya manggut-manggut."Kalian tinggal berdua di rumah ini?""Iya,""Memangnya kamu nggak punya saudara?" Wulan pun menggeleng."Orang tua kandung kamu dimana?" "Sudah meninggal saat saya masih kecil,""Ouh, maaf–saya tidak bermaksud
Karena Gio tak kunjung kembali' Wulan pun memilih untuk menyusulnya."Pak Gio! Ko masih diem disini? Ayo! Nanti keburu hujan turun," ucap Wulan pada pria yang masih mematung di tempat itu.Gio pun mengangguk, kemudian berjalan mengekor di belakang Wulan."Akhirnya kalian pulang juga, si Mbok pikir kalian nyasar, soalnya ko lama banget," ucap si Mbok saat mereka berdua masuk ke dalam rumah."Nggak nyasar ko Mbok, Wulan cuma keasikan milih-milih, jadi lupa waktu deh,""Pantesan lupa waktu, wong yang dibeli Non Wulan sebanyak ini, kayak orang mau hajatan aja," sahut si Mbok dan langsung disambut tawa oleh mereka berdua."Yasudah, lebih baik kalian sarapan dulu. Si Mbok sudah masakin sayur sop, tempe goreng, dan sambal tomat kesukaan Non Wulan. Kalian pasti lapar kan? Udah sana makan," ucap si Mbok. Mereka berdua pun menikmati sarapan pagi bersama."Tugas saya hari ini sudah selesai yah!" ucap Wulan.Gio mengernyit dan bertanya. "Maksud kamu?""Iya, tugas memenati Bapak makan siang! Sekar
"Mas kenapa kamu diam saja? Kamu marah?" tanya Wulan saat suaminya tak juga bersuara."Menurut kamu bagaimana? Apa salah jika aku marah? Kamu nggak tau gimana khawatirnya aku disini? Aku bingung Wulan, saat kamu tidak bisa dihubungi dan aku tidak tau posisi kamu dimana, aku bingung harus bagaimana? Sedangkan kamu … kamu dengan santai mengulangi hal yang sama, kamu tidak memikirkan bagaimana cemasnya aku," Fatih meluapkan kekesalannya."Aku tau aku salah, Mas. Aku minta maaf, aku janji tidak akan mengulanginya lagi, masa gitu aja kamu marah?""Wajar dong aku marah! Bukankah kemarin juga kamu sudah janji? Tapi buktinya apa? Kamu tetap mengulangi lagi kan? Sudahlah, sekarang terserah kamu aja! Kalau memang kamu tidak suka dengan sikapku' aku tidak akan mencemaskanmu lagi," cetus Fatih marah."Bukan begitu maksud aku, Mas. Tolong jangan salah paham," tanpa permisi Fatih pun memutus panggilan."Halo, Mas? Dengar dulu penjelasan aku, Mas! Halo? Mas?"Tut! Tut! Tut! Panggilan terputus.Wulan
Pria berpakaian preman itu mendorong tubuh Bu Ratna hingga wanita bertubuh gempal itu tersungkur ke sudut sofa. Mereka mengamuk, melempar barang-barang di rumah itu dengan kasar. Dalam rekaman CCTV itu terdengar Bu Ratna menjerit histeris memohon ampun kepada para preman berwajah sangar itu."Sebenarnya siapa pria-pria itu? Kenapa mereka sangat Kasar pada Ibu?" Batin Wulan bertanya-tanya. Ia membesarkan volume suaranya, mendengarkan dengan seksama percakapan diantara mereka."Cepat bayar hutang-hutang lo sekarang juga! Kalau tidak, semua barang-barang di rumah ini gue hancurkan! Cepat bayar!" teriak salah satu dari mereka dengan kasar."Maafkan saya, saat ini saya tidak punya uang, saya janji. Minggu depan akan saya lunasi semua hutang-hutang saya," jawab Bu Ratna memohon. Wajahnya memelas dengan kedua tangan dirapatkan."Alah, alesan aja lo! Setiap ditagih pasti jawabannya sama! Makanya kalau tidak punya uang jangan gaya-gayaan main judi! Sudah tua bukannya tobat, malah banyak tingk