"Kita pulang sekarang saja, Mas."Inaya melepas genggaman tanganku setelah aku mengatakan perihal kondisi Dewi. Bulan madu yang seharusnya berakhir indah seperti yang aku harapkan, justru berujung kekecewaan karena Inaya mengajakku pulang malam ini juga.Sebenarnya aku mengkhawatirkan kondisi mantan istriku juga janin dalam kandungannya, karena walau bagaimanapun janin itu adalah calon anakku. Namun, aku pun tidak ingin merusak kebersamaan dengan Inaya yang baru saja kami nikmati tiga hari di sini. Dilema. Lagi, aku harus dihadapkan pada pilihan sulit yang memaksaku mengorbankan salah satunya. "Mas tetap pada keputusan awal. Kita akan pulang besok sesuai jadwal sebelumnya," putusku akhirnya."Mas yakin? Apa Mas tidak mengkhawatirkan calon anak kalian?" Inaya menyipitkan mata. Seakan mencari kesungguhan dari keputusanku barusan. "Sebenarnya Mas mengkhawatirkan kondisi kandungannya. Tapi Mas sudah berjanji padamu untuk memprioritaskan kamu di atas apa pun. Kamu tenang saja. Mas akan
"Nanti pulangnya Mas jemput. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai cafe," pesanku pada Inaya saat dia mengantarku sampai ke teras rumah. Hari ini adalah hari pertama ia kerja di cafe milik Rama setelah dua hari mundur dari jadwal yang sudah mereka sepakati. Sebenarnya, ingin sekali aku melarang dan memintanya untuk tetap di rumah saja. Namun, aku tidak ingin terkesan mengekang Inaya yang bisa saja membuatnya makin tidak nyaman. Inaya memang sedang membutuhkan lingkungan baru yang bisa membantu agar suasana hatinya membaik. Semoga dengan aku mengizinkannya bekerja, dengan perlahan Inaya bisa melupakan kejadian masa lalu yang menyakitkan untuknya. Inaya sempat mendiamkanku seharian setelah kami menjenguk Dewi di rumah sakit waktu itu, dan aku paham ia sedang cemburu. Sikap Dewi yang kelewat manja padaku memang tidak bisa dibenarkan. Mantan istriku itu tidak mempedulikan perasaan Inaya yang juga sedang berada di sana menyaksikan interaksi kami. Ah, aku muak terus dihadapkan dalam sit
"Mas masih marah gara-gara tadi siang?"Inaya menghampiriku yang sedang duduk di pinggir ranjang setelah mengenakan pakaian ganti yang ia siapkan. Aku memilih bungkam dan tetap fokus pada ponsel. Rasanya masih kesal saat mengingat ia yang lebih memperhatikan pria lain ketimbang diriku, suaminya. "Maaf. Kan aku sudah bilang kalau aku tidak tahu Mas mau datang. Lagipula aku hanya ingin berterima kasih sama Mas Akbar yang sudah membantu mempromosikan cafe milik Mas Rama," ujarnya. Ia duduk di sampingku yang masih enggan menoleh padanya. "Aku sudah masak menu yang sama. Mau makan sekarang?" Aku masih bergeming. Berpura-pura menulikan telinga dari setiap kalimat yang ia ucapkan. Bukan berarti aku ingin membalas sikapnya tadi siang. Namun sungguh, aku cemburu ketika melihat Inaya dekat dengan pria lain, apalagi saat istriku tersebut tersenyum kepada mereka. "Ya sudah kalau Mas masih marah. Lebih baik aku tidur di kamar Syafa saja." Inaya beranjak menuju pintu. Aku yang awalnya ingin m
Mama Hera ditemukan tidak sadarkan diri di ruang tamu rumahnya. Dewi memintaku membawa mamanya ke rumah sakit karena ia khawatir dengan kondisi sang Mama yang terlihat lemah, pun dengan wajahnya yang pucat. Demi kemanusiaan, aku membantu mereka yang memang hanya tinggal berdua. Tidak tega rasanya membiarkan Dewi yang sedang hamil muda membawa mamanya ke rumah sakit sendirian. Dan di sinilah aku sekarang. Mondar-mandir di depan ruang IGD menemani Dewi menunggui Mama Hera yang sedang diperiksa. Aku sudah mencoba menghubungi Inaya untuk memberitahu alasan mengapa aku pulang terlambat. Namun sayang, nomor istriku tidak aktif dan hal tersebut menambah kegelisahan pada diri ini. "Mama gak akan kenapa-napa, kan, Mas? Aku takut Mama ninggalin aku sendirian," keluh Dewi dengan terisak. Aku hanya mampu menoleh dan memperhatikan wajahnya tanpa menjawab. "Aku gak bisa membayangkan kalau sampai Mama ninggalin aku. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup hanya berdua dengan anak ini.""Jangan ber
"Di mana kamu, Nay?" Aku terduduk lemas di kursi yang terdapat di teras rumah Ayah Wirya. Mendapati kenyataan bahwa Inaya dan Syafa juga tidak ada di sini membuatku kembali didera rasa cemas yang luar biasa. Entah ke mana Inaya membawa putri kami pergi jika tidak ada di rumah orang tuanya. Aku takut dia tidak akan kembali dan meninggalkanku selamanya. Ingatan ini kembali melayang pada saat pembicaraan di rumah Papa tentang anak yang dikandung Dewi. Sebenarnya aku pun sempat meragukan anak itu mengingat aku pernah memergoki Dewi dengan pria lain di kamar Villa. Namun, aku tidak ingin gegabah sebelum mendapatkan bukti yang kuat. Biarlah urusan itu aku kesampingkan dulu karena yang terpenting saat ini adalah menemukan istri dan anakku. "Lho ... Nak Dipta? Suaminya Mbak Inaya, kan?" Lamunanku buyar ketika sebuah suara mengejutkanku. Mendongak, kudapati pria paruh baya seumuran Ayah Wirya sedang berdiri dekat pagar rumah ini. "Iya, Pak. Saya Dipta, suaminya Inaya," jawabku seramah m
Pov Dewi"Menikahlah dengan Dipta. Dia itu pewaris tunggal pemilik PT. Darmawan Group. Mama yakin hidup kita akan terjamin kalau kamu menjadi istrinya."Perkataan Mama membuat gerakan tangan yang sedang menyuapi Papa terhenti. Aku dan Papa sempat saling tatap sebentar, sebelum akhirnya menoleh padanya. "Dipta? Pria yang menabrak mobil Papa, namanya Dipta?" tanyaku memastikan. "Ya. Mama sudah mencaritahu tentang siapa dia. Tak apalah kamu jadi istri kedua, yang penting kita bisa hidup enak.""Apa? Istri kedua?" Aku makin dibuat terkejut mendengar fakta dari Mama tentang pria itu. "Aku tidak mau, Ma. Jangan jadikan aku sebagai duri di pernikahan orang lain," tukasku tak setuju. "Jangan bodoh, Dewi. Memangnya kamu mau kita selamanya hidup dililit hutang? Kamu lihat sendiri papamu yang sakit-sakitan itu! Dari mana kita membayar hutang bekas biaya pengobatannya kalau kamu menolak menikah dengan Dipta?" ujar Mama dengan menunjuk Papa yang wajahnya berubah sendu. Memang, semenjak Papa di
Pov Dewi"Maaf, Wi, Mama Hera. Saya sudah mengambil keputusan dan tidak akan bisa diubah lagi. Saya memang akan bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dewi, tetapi bukan dengan merujuknya kembali."Keputusan Mas Dipta memupuskan harapan untuk bisa kembali menjadi istrinya. Aku salah mengira. Ternyata kehadiran anak ini tidak lantas membuatnya berubah pikiran dan mau menerimaku kembali. Ini semua karena Mbak Inaya. Mas Dipta pasti ketakutan istrinya tersebut akan meninggalkannya jika kami rujuk demi anak ini. Sebagai sesama wanita, Mbak Inaya sama sekali tidak mempunyai rasa empati. Dengan pongahnya ia meminta berpisah dari Mas Dipta jika suaminya tersebut merujukku, wanita yang sedang mengandung anak pria itu ... setidaknya seperti itulah kenyataan yang mereka ketahui. Tentang siapa ayah dari janin ini memang hanya aku sendiri yang tahu. Bahkan Mama pun tidak akan pernah kuberitahu sebab kepercayaanku kepada Mama sudah mulai memudar. Aku takut, bisa saja suatu saat ia kelepa
Pov DiptaAku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Dada ini rasanya ingin meledak sebab kemarahan yang sulit kukendalikan. Kebohongan Dewi yang terbongkar hari ini benar-benar mengubah cara pandangku terhadapnya.Marah, kecewa, kesal dan sesal berbaur menjadi satu. Lagi, aku ditipu mentah-mentah oleh mantan istriku itu. Entah dosa apa yang aku lakukan di masa lalu hingga aku harus dipertemukan dengan wanita seperti dia. Wanita yang dengan mudahnya merancang rencana jahat dengan memanfaatkan janin yang tak berdosa. Benar kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sipat Dewi dengan Mama Hera ternyata sama, mereka rela melakukan apa saja demi keinginan yang belum tercapai, termasuk menipu dan mengelabui orang lain dengan licik.Sungguh, aku seperti orang bodoh di hadapan mereka. Pria sekelas Dipta Kharisma Darmawan yang merupakan pewaris tunggal dan pemimpin perusahaan, ditipu mentah-mentah oleh dua wanita ular bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Sungg