"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
Read more