Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu
"Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah
"Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar
"Ada yang ingin Mas bicarakan pada kalian berdua."Inaya dan Dewi mendekat. Mereka duduk di sofa panjang tepat berseberangan dengan tempatku duduk saat ini. "Apa yang ingin Mas bicarakan?" Dewi bertanya dengan ekspresi bingung. Ini kali pertama aku berbicara pada kedua istriku dalam waktu bersamaan. Sedangkan Inaya tetap diam. Hanya matanya yang menatapku begitu lekat. Ah, Inaya memang menjadi lebih pendiam semenjak aku memutuskan berpoligami. Ia tidak pernah menolak atau protes akan niatku itu. Akan tetapi, perubahan sikapnya selama satu tahun ini telah menjelaskan semuanya. Inaya menyimpan lukanya sendirian dan berusaha menyembunyikannya dariku."Mas bangkrut," ucapku dalam satu kali tarikan napas. Inaya dan Dewi saling tatap. Keduanya belum ada yang membuka suara hingga aku memutuskan untuk melanjutkan bicara."Perusahaan mengalami kerugian besar. Mas terlilit hutang dan harus membayar gaji pekerja. Semua aset kita disita termasuk rumah dan kendaraan. Sekarang perusahaan diambil
"Ini rumahnya. Kebetulan kamarnya hanya ada dua. Nanti, silakan kalian tentukan mau menempati kamar yang mana."Kedua istriku menatap sekeliling. Memperhatikan isi rumah yang terbilang sangat sederhana. Aku sengaja membeli rumah ini atas saran dari Papa. Ingin melihat apakah kedua istriku akan nyaman tinggal di rumah seperti ini yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah yang kami tempati sebelumnya. "Mbak Naya mau kamar yang mana?" tanya Dewi menatap kakak madunya. "Silakan kamu yang tentukan. Aku tidak masalah menempati kamar yang mana saja," jawab Inaya dengan tenang. Ah, istri pertamaku itu selalu saja pasrah dan mengalah jika aku sedang memberi mereka pilihan. "Kalau begitu aku akan menempati kamar depan. Gak papa kan, Mbak?""Ya, terserah kamu saja."Sebenarnya kedua kamar itu bersebelahan. Hanya saja, kamar depan ukurannya memang lebih besar jika dibandingkan dengan kamar yang satunya. Seharusnya, Inaya dan Syafa yang menempati kamar itu karena nantinya kami a
"Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana. "Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu.""Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat." Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini. Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar
"Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini. Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu. Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku. "Mas mau sarapan apa?" Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya. "Kamu mau nyari sarap
"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka. "Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan. "Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi. Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya. "Saya jadi driver taksi online.""Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana." "Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun. "Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu. Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip se