"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka.
"Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan."Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi.Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya."Saya jadi driver taksi online.""Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana.""Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun."Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu.Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip seperti mereka, apalagi wanita yang dipanggil 'Mel' tadi menatapku dengan sorot memuja yang sangat kentara."Maaf, Ibu-- ibu. Saya pamit dulu."Aku melangkah cepat meninggalkan mereka yang saling berbisik. Bahkan, suara salah seorang dari mereka masih tertangkap indera pendengaranku."Ganteng sih, pantesan Mbak Dewi mau dijadikan istri kedua padahal Mas Dipta itu bukan orang kaya.""Percuma ganteng kalau tidak setia. Aku malah kasihan sama Mbak Inaya yang harus tinggal satu atap sama madunya. Laki kere kok sok-sokan poligami. Pantas saja kemarin Mbak Inaya tanya-tanya soal kerjaan sama saya. Pasti mau membantu perekonomian keluarga mereka. Penghasilan sopir taksi online itu paling berapa, sih. Belum lagi harus dibagi dua. Ya pasti gak bakalan cukup," timpal ibu yang lain."Suka heran sama laki-laki. Istri sudah cantik, baik lagi. Eh, malah masih nyari yang lain. Gak bersyukur banget!"Ah, telingaku panas mendengarnya. Inilah yang aku tidak suka saat tinggal di kompleks perumahan yang padat penduduk. Gosip dan berita apa pun akan cepat tersebar, apalagi jika menyangkut aib seseorang.Sepertinya aku harus memperingatkan Inaya agar tidak sering bergaul dengan mereka. Aku takut akan membawa pengaruh buruk terhadap istri pertamaku itu.*****"Cuma seratus lima puluh ribu, Mas?" tanya Inaya saat aku meletakkan uang hasil kerjaku hari ini di atas meja."Iya. Hari ini kan hari pertama Mas narik. Sebenarnya tadi Mas dapet tiga ratus ribu. Tapi kan dipotong biaya operasional jadi sisa bersihnya segini," paparku sembari menyandarkan tubuh pada punggung sofa, berpura-pura kelelahan agar sandiwaraku terlihat sempurna.Ya, sebenarnya hari ini aku tidak narik penumpang seperti yang mereka kira. Aku justru datang ke perusahaan untuk mengecek dan menandatangani beberapa berkas.Agar kedua istriku tidak curiga, aku sengaja menyewa mobil rental untuk memuluskan rencanaku. Selain itu, aku juga sempat mengobrol dengan salah satu Driver Taksi online dan menanyakan tentang pendapatan mereka setiap harinya.Cukup berbelit memang. Namun, aku tetap harus mengikuti rencana Papa entah sampai kapan."Kalian bagi dua, ya. Untuk Inaya delapan puluh ribu karena ada Syafa yang mulai sering minta jajan, dan untuk Dewi tujuh puluh ribu," ujarku menatap kedua istriku bergantian."Iya, Mas. Gak Papa Mbak Inaya lebih besar. Tujuh puluh ribu sepertinya sudah cukup untukku," ujar Dewi dengan tersenyum.Manisnya istri keduaku ini. Dia sama sekali tidak mengeluh saat uang belanja yang kuberikan jauh berbeda dengan yang biasa ia terima sebelum rencana ini berjalan."Terima kasih ya, Wi.""Kalau begitu Mas makan dulu. Tadi Mbak Inaya masak telur balado. Aku ambilkan, ya?" tawarnya."Gak usah, nanti Mas ambil sendiri saja. Sekarang Mas mau mandi dulu.""Oh ya, sudah."Aku beranjak meninggalkan kedua istriku yang masih duduk di ruang depan. Bergegas membersihkan diri karena aku sudah sangat kangen ingin bermain dengan Syafa.Gadis kecilku itu sempat merengek minta digendong, tetapi Inaya melarang dengan alasan tubuhku harus dibersihkan lebih dulu sebab takut membawa kuman dari luar. Aku menurut saja karena apa yang istri pertamaku katakan memang benar.*****Tak terasa satu bulan sudah kami menjalani hidup sederhana di rumah kecil ini. Baik Inaya maupun Dewi tidak pernah ada yang protes ketika aku memberi mereka uang belanja yang tidak tentu, bahkan terkadang tidak memberi mereka sama sekali dengan alasan sulit mendapatkan orderan.Sejauh ini keduanya sama-sama bisa menerima kondisiku yang sekarang ... sampai akhirnya malam ini Dewi mengatakan sesuatu yang membuatku sedikit terkejut.Setelah kami mengarungi samudera kenikmatan dan terkapar kekelahan, Dewi mengatakan ingin membicarakan sesuatu hal yang penting. Aku mengajaknya duduk sambil bersandar pada headboard ranjang dengan posisi dia yang bersandar di dadaku."Aku ingin kerja."Aku tertegun."Kerja?"Dia mengangguk. "Ya. Aku ingin membantu keuangan kita. Bukan maksudku tidak bersyukur atas pemberian dari Mas, tapi aku hanya ingin membantu agar Mas tidak terlalu lelah sampai harus pergi pagi pulang malam," ujarnya. Aku terharu. Dewi dan segala sikapnya selalu berhasil membuatku takjub."Mau kerja di mana?""Di perusahaan tempat temanku bekerja. Katanya di sana sedang membuka lowongan di bagian staf pemasaran. Aku akan mencoba melamar di sana dan semoga saja diterima."Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku tidak tega membiarkan istriku bekerja karena sebenarnya kondisiku tidak benar-benar bangkrut. Namun jika teringat akan rencana Papa, terpaksa aku mengizinkan Dewi agar ia tidak curiga."Baiklah, Mas mengizinkan kamu bekerja. Tapi kamu harus ingat, jangan terlalu cape apalagi sampai sakit. Mas tidak akan memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu yang buruk padamu akibat Mas yang tidak becus menjadi kepala keluarga.""Mas, jangan bicara seperti itu!" pekik Dewi terdengar tidak suka. "Aku tidak pernah menganggap Mas tidak berguna. Mas adalah suami yang bertanggung jawab. Aku justru bersyukur dipertemukan dengan pria seperti Mas," imbuhnya yang terdengar manis di telingaku."Terima kasih, Sayang. Mas juga bersyukur mempunyai istri sepertimu." Kukecup keningnya lama. Tangan Dewi kembali bermain di area dadaku dan aku paham apa maksudnya.*****"Kamu lagi buat apa?"Inaya terperanjat ketika aku menyentuh pundaknya. Istri pertamaku itu sedang berkutat di dapur dengan berbagai macam bahan masakan di sekelilingnya."Hari ini aku mendapat pesanan nasi box dari Bu RT untuk acara pengajian nanti malam," terangnya tanpa menoleh, kembali melanjutkan pekerjaannya memotong sayuran."Pesanan? Nasi box? Maksudnya?" Aku mengerutkan dahi.Inaya menghentikan pekerjaan. Ia berbalik menghadapku yang masih memasang wajah bingung."Maaf karena aku tidak jujur sama Mas. Sebenarnya beberapa hari ini aku membuat kue dan aneka masakan untuk dititipkan di warungnya Bu Fitri. Hasilnya memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaji Dewi yang bekerja di perusahaan besar. Tapi Alhamdulillah, aku bisa menambah uang belanja dari hasil jualanku ini. Sedangkan uang pemberian dari Mas sebagian aku tabung untuk biaya pendidikan Syafa nanti."Aku tidak bisa berkata-kata. Lidahku terlalu kelu untuk sekedar mengucapkan terima kasih yang ingin sekali aku sampaikan kepada istriku ini.Inaya memang hanya lulusan SMA, tidak seperti Dewi yang seorang Sarjana. Latar belakang keluarga mereka yang berbeda tentu saja menjadi alasan. Jika Dewi berasal dari keluarga yang berkecukupan karena almarhum ayahnya adalah seorang pensiunan perwira polisi, sedangkan Inaya berasal dari keluarga sederhana dengan ayahnya yang hanya seorang pedagang dan membuka warung kecil-kecilan di rumahnya."Mas ... tidak marah kan? Mas tidak malu karena aku berjualan seperti ini?"Aku tersenyum. Tangan ini terulur merapikan jilbab yang ia kenakan karena sebagian anak rambutnya keluar."Di saat Mas mempunyai istri yang bisa menerima kondisi Mas yang seperti ini, apalagi kalian dengan ikhlas membantu Mas agar keluarga kita tidak kekurangan, bukankah akan sangat tidak tahu diri jika Mas sampai marah?"Inaya tersenyum. Raut lega tercetak jelas dari wajahnya setelah mendengar jawabanku.Aku sempat terpaku. Sudah lama aku merindukan senyuman itu terbit dari bibir tipisnya. Inaya memang cantik, bahkan lebih cantik dari Dewi meski wajahnya jarang terkena polesan make up.Aku memberanikan diri mendekat. Memangkas jarak hingga wajah kami hanya beberapa inchi saja."Terima kasih, Sayang. Mas bangga mempunyai istri sepertimu," bisikku seraya mengusap pipinya dengan lembut.Rasanya, aku ingin melakukan lebih. Sangat jarang kesempatan seperti ini terjadi karena biasanya Inaya selalu menjaga jarak denganku.Akan tetapi, suara ketukan pintu mengurungkan niatku. Aku hampir saja mengumpat karena kesal. Ada saja gangguan jika aku sedang ingin bermesraan dengan Inaya."Mas buka pintu dulu."Ia mengangguk. Aku bergegas ke ruang depan untuk melihat siapa yang datang. Mungkin saja salah satu tetangga di sini yang kerap kali bertamu untuk menemui Inaya."Mama?"Aku dibuat terkejut saat yang kulihat justru mamanya Dewi yang sedang berdiri di depan pintu."Kenapa kaget, Nak Dipta? Kamu tidak senang Mama berkunjung ke sini?"**Bersambung."Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini."Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut. "Sekarang kamu kerja di mana?" "Saya jadi driver taksi online."Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya. "Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya. Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia sepe
"Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna. Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di r
Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
"Papa sudah mengetahui semuanya? Jadi ini alasan Papa memintaku berpura-pura bangkrut?""Duduklah dulu, Dip. Kalau bicara itu yang tenang."Aku menghela napas gusar. Bisa-bisanya Papa memintaku bersikap tenang setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya.Dipta yang bo doh!Mudah sekali diperdaya dan dibohongi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan kondisiku saat itu. Aku yang diserang panik tentu saja tidak bisa berpikir jernih, apalagi mencaritahu tentang alasan meninggalnya Papa Hadi. Setelah mendengar bahwa pria paruh baya tersebut dinyatakan meninggal, aku berpikir bahwa kecelakaan itulah yang menjadi penyebabnya.Sungguh! Aku merasa menjadi orang paling bo doh di muka bumi ini."Papa memang sudah mengetahui semuanya," kata Papa yang membuat emosiku hampir meledak. Bisa-bisanya Papa menyembunyikan hal penting seperti ini dariku. Beruntung Syafa tertidur dan aku meminta asisten rumah tangga di rumah Papa untuk menjaganya agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan pria yang saat
"Muka kamu kusut begitu? Lagi ada masalah?" Akbar tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu. Aku mendengkus tak suka dengan sikapnya yang satu ini. Main nyelonong seakan aku tidak punya privasi di ruanganku sendiri. "Kalau masuk itu ketuk pintu dulu!" Dia terkekeh. "Sorry, kebiasaan," jawabnya santai sembari duduk di sofa. "Jadi gimana? Mau cerita?" tanyanya lagi. "Maksudmu cerita apa?" kuhela napas berat sembari memijat pelipis yang terasa pening. "Ya ... masalahmu. Siapa tahu aku bisa membantu. Om Darma bilang kamu sudah tahu tentang alasan kematian mertuamu yang sebenarnya. Apa karena masalah itu?" "Jadi kamu juga tahu yang sebenarnya?" Akbar mengangguk. Lagi-lagi aku merasa menjadi orang paling bo doh karena hanya aku yang tidak tahu apa pun tentang hal sepenting itu. "Aku sudah tahu sejak dulu. Tapi kamu jangan marah." Akbar mengangkat kedua tangan. "Aku hanya mengikuti rencana papamu. Lantas bagaimana? Sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan kamu ambil ke depannya? A
"Nyonya Dewi bertemu dengan pria itu di sebuah Resto, Pak. Dan sampai sekarang mereka masih di sana.""Apa mereka hanya berdua?""Betul. Mereka hanya berdua.""Baiklah. Pantau terus mereka.""Siap, Pak."Kuhela napas gusar. Ternyata memang benar Dewi janjian bertemu dengan pria itu. Meski mereka hanya bertemu di Resto, tetap saja Dewi telah membohongiku karena dia sama sekali tidak meminta izin dariku. Dewi. Sepertinya dia mulai nyaman dengan pria bernama Ivan. Karena kalau tidak, ia pasti akan menolak ketika pria itu mengajaknya bertemu, apalagi tanpa sepengetahuan diriku. Tak sadar, tangan ini meremas pakaian yang belum kukenakan. Dewi mulai bermain api dengan memilih membohongiku dan menerima ajakan Ivan. Seharusnya, sebagai wanita bersuami, Dewi bisa menjaga nama baikku dengan tidak bertemu pria lain, apalagi hanya berdua."Mandinya sudah, Mas?"Aku terperanjat. Menoleh, Inaya sudah berdiri di belakangku sembari membawa segelas teh hangat. "Sudah, Sayang.""Kenapa bajunya belu