"Cukup, Mas! Jangan memukulinya!"Dewi terus berteriak saat aku menghajar Ivan dengan brutal. Ia nampak panik ketika Ivan sudah terkulai tak berdaya, sedangkan aku masih belum berhenti memberi pria itu pelajaran. Aku paling tidak suka jika milikku disentuh orang lain, apalagi mereka hampir saja melakukan perbuatan zina di dalam kamar ini. Beruntung aku cepat datang. Karena kalau tidak, Ivan pasti sudah menikmati tubuh istriku. Ah, membayangkannya saja aku jijik. Dengan tidak tahu malu, Dewi hampir saja menyerahkan diri kepada pria yang bukan suaminya. "Cukup, Pak! Jangan sampai dia mati dan Bapak masuk penjara."Dua orang anak buahku menahan lengan yang hampir saja melayangkan pukulan ke sekian kali. Aku terengah. Mengatur napas yang yang masih memburu akibat emosi yang tak terkendali. "Mas ...."Kutatap nyalang wajah Dewi yang memucat. Dia pasti tidak pernah menduga jika aku akan menyusulnya ke tempat ini. "Jadi ini alasan kamu mengajukan cuti? Bukan untuk beristirahat, melainka
"Aku sudah menceraikan Dewi, Pa. Dia berselingkuh dariku."Papa bergeming. Matanya tak lepas dari penampilanku yang terlihat berantakan, pun wajahku yang tidak bisa menyembunyikan raut kesedihan. Bagaimanapun keputusan yang aku ambil malam ini adalah keputusan yang sebenarnya tidak pernah aku inginkan. Tidak mudah melepas Dewi begitu saja setelah aku mulai mempunyai rasa padanya. "Aku tidak pernah menduga dia akan tega berbuat seperti itu hanya karena uang," lirihku dengan menunduk. Memijat kepala yang terasa pening setelah kejadian demi kejadian yang mengejutkan hari ini. "Bagaimana rasanya ketika kamu dikhianati?" tanya Papa. Aku mendongak hingga mata kami saling berserobok. "Sangat menyakitkan, bukan? Apakah kamu tidak pernah berpikir, seperti itulah yang dirasakan Inaya ketika kamu membawa Dewi pulang dan mengenalkannya sebagai istri barumu? Coba rasakan hancurnya perasaan Inaya saat suami yang begitu dicintainya ternyata mengkhianati kepercayaan yang ia berikan?" ujarnya meno
Pov Inaya"Mbak Nay kuat sekali. Kalau aku jadi Mbak Nay, aku akan memilih bercerai dan pergi dari kehidupan Mas Dipta."Mbak Meli mengusap bahuku. Sebagai sesama wanita, ia pasti ikut merasakan kepedihan yang aku rasakan dalam pernikahanku. Jika menuruti kata hati, sudah dari dulu aku memilih pergi dari kehidupan Mas Dipta. Hidup bertiga dengan Syafa dan Ayah akan lebih baik daripada hidup bertiga bersama suami dan adik madu. Namun, aku kembali berpikir ulang. Ayah sudah semakin menua, sedangkan Syafa masih membutuhkan sosok keluarga yang lengkap. Aku tidak ingin egois dengan hanya mementingkan perasaanku sendiri. Jika sampai aku bercerai dari Mas Dipta, Syafa akan kehilangan sosok Ayah dan aku akan kembali menjadi beban bagi Ayah. Aku yang hanya seorang ibu rumah tangga tentu masih bergantung kepada suamiku. Andai suatu saat aku memutuskan berpisah, aku harus mempersiapkan diri, setidaknya memiliki penghasilan agar aku bisa menghidupi diriku sendiri. "Saya tidak punya pilihan se
"Kamu beneran nyamar jadi sopir taksi online?" Papa tercengang ketika aku menceritakan alasan mengapa seharian ini tidak datang ke kantor. "Iya, Pa. Aku kangen sama Inaya. Dia tidak pernah mengangkat telepon ataupun membalas pesan dariku. Dia tidak memberi kesempatan padaku untuk sekedar bertemu Syafa. Akhirnya aku memutuskan untuk memantau mereka dari kejauhan," paparku setelah mengambil tempat duduk di depan Papa. "Sabar lah, Dip. Inaya masih perlu waktu untuk sendiri. Papa paham, tidak mudah baginya menerima kamu lagi setelah tahu kalau kamu juga mencintai Dewi. Untuk sementara biarkan dia tenang. Papa yakin Inaya tidak akan membiarkan masalah kalian menggantung seperti ini terlalu lama.""Masalahnya aku takut justru dia makin merasa nyaman dengan kehidupannya saat ini, Pa. Sekarang dia sudah bisa hidup mandiri. Dia berpenghasilan, bahkan Inaya sudah menerima tawaran untuk bekerja di cafe milik pria bernama Rama. Kalau sudah seperti itu, Inaya pasti tidak membutuhkan aku lagi!" N
"Bagaimana kondisinya, Dok?" Aku lekas berdiri ketika mendengar Papa bertanya pada Dokter yang baru saja keluar setelah melakukan pemeriksaan terhadap Dewi. Papa memintaku segera membawa Dewi ke rumah sakit karena takut terjadi sesuatu yang buruk pada mantan istri keduaku itu. Wajah Dewi memang terlihat sangat pucat. Pun dengan tubuhnya yang nampak lebih kurus jika dibandingkan dulu ketika masih menjadi istriku. "Anda keluarganya?" tanya Dokter wanita yang usianya aku perkirakan sepantaran dengan Dewi. "Bukan. Kami yang menemukan dia pingsan dan langsung membawanya ke sini," jawab Papa. Ah, rupanya Papa enggan mengakui Dewi sebagai keluarga, meski hanya sekedar formalitas di depan Dokter tersebut."Pasien mengalami dehidrasi dan karena itulah tubuhnya sangat lemah. Beruntung Anda cepat membawanya ke sini, karena kalau tidak, janin yang berada dalam kandungannya bisa saja tidak terselamatkan.""Janin?" Aku dan Papa tercengang. "Betul. Pasien sedang mengandung. Saya perkirakan usia
"Jangan pernah berani mengancam putra saya, Nyonya. Atau saya bisa saja melaporkan Anda ke polisi atas tuduhan penipuan. Saya punya bukti rekam medis dari rumah sakit tentang penyebab meninggalnya suami Anda, dan saya juga punya rekaman pembicaraan Anda dengan adik Anda."Papa terlihat mulai emosi. Tentu dia tidak terima karena Mama Hera menggunakan anak yang dikandung Dewi sebagai alat untuk menekanku. Kami sudah tahu siapa Mama Hera dan bagaimana sipatnya yang sebenarnya. Demi uang, dia akan melakukan apa saja, termasuk melakukan hal yang merugikan orang lain. "Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat. Bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dewi tidak harus dengan menikahi. Dipta sudah punya istri. Apakah Anda tidak memikirkan perasaan istrinya sama sekali?" Aku menoleh ke arah Inaya yang menunduk. Hati ini seakan diremas saat mengingat betapa beratnya penderitaan Inaya karena ulahku. Dimulai dengan membawakan adik madu, hatiku yang mulai terbagi, dan sekarang ia harus men
"Jadi, Mas Dipta sudah bercerai dengan Mbak Dewi?" tanya Pak Warman, pria yang menjabat ketua RT di kompleks tempat tinggal Inaya. Setelah pembicaraan dengan istriku tersebut, aku memilih keluar untuk sekedar mencari udara segar, berharap bisa menenangkan pikiran yang sedang kalut, hingga di sinilah aku sekarang. Duduk di Pos Ronda bersama Pak Warman sambil menikmati segelas kopi juga gorengan yang disuguhkan istrinya. "Iya, Pak. Saya dan Dewi sudah bercerai," jawabku setelah menyimpan gelas yang isinya sudah kosong ke atas nampan. "Maaf kalau saya terkesan kepo. Tapi saya benar-benar penasaran dan ingin bertanya langsung sama Mas Dipta soal kabar yang saya dengar dari beberapa orang warga.""Tanyakan saja, Pak. Saya akan menjawab apa adanya," ujarku mempersilakan. "Saya dengar, sebenarnya Mas Dipta ini orang kaya. Apa itu betul?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Pak Warman. Rupanya kabar tentangku yang berpura-pura bangkrut sudah tersebar di kompleks ini. Aku menebak, pasti si
"Kita pulang sekarang saja, Mas."Inaya melepas genggaman tanganku setelah aku mengatakan perihal kondisi Dewi. Bulan madu yang seharusnya berakhir indah seperti yang aku harapkan, justru berujung kekecewaan karena Inaya mengajakku pulang malam ini juga.Sebenarnya aku mengkhawatirkan kondisi mantan istriku juga janin dalam kandungannya, karena walau bagaimanapun janin itu adalah calon anakku. Namun, aku pun tidak ingin merusak kebersamaan dengan Inaya yang baru saja kami nikmati tiga hari di sini. Dilema. Lagi, aku harus dihadapkan pada pilihan sulit yang memaksaku mengorbankan salah satunya. "Mas tetap pada keputusan awal. Kita akan pulang besok sesuai jadwal sebelumnya," putusku akhirnya."Mas yakin? Apa Mas tidak mengkhawatirkan calon anak kalian?" Inaya menyipitkan mata. Seakan mencari kesungguhan dari keputusanku barusan. "Sebenarnya Mas mengkhawatirkan kondisi kandungannya. Tapi Mas sudah berjanji padamu untuk memprioritaskan kamu di atas apa pun. Kamu tenang saja. Mas akan