"Bagaimana kondisinya, Dok?" Aku lekas berdiri ketika mendengar Papa bertanya pada Dokter yang baru saja keluar setelah melakukan pemeriksaan terhadap Dewi. Papa memintaku segera membawa Dewi ke rumah sakit karena takut terjadi sesuatu yang buruk pada mantan istri keduaku itu. Wajah Dewi memang terlihat sangat pucat. Pun dengan tubuhnya yang nampak lebih kurus jika dibandingkan dulu ketika masih menjadi istriku. "Anda keluarganya?" tanya Dokter wanita yang usianya aku perkirakan sepantaran dengan Dewi. "Bukan. Kami yang menemukan dia pingsan dan langsung membawanya ke sini," jawab Papa. Ah, rupanya Papa enggan mengakui Dewi sebagai keluarga, meski hanya sekedar formalitas di depan Dokter tersebut."Pasien mengalami dehidrasi dan karena itulah tubuhnya sangat lemah. Beruntung Anda cepat membawanya ke sini, karena kalau tidak, janin yang berada dalam kandungannya bisa saja tidak terselamatkan.""Janin?" Aku dan Papa tercengang. "Betul. Pasien sedang mengandung. Saya perkirakan usia
"Jangan pernah berani mengancam putra saya, Nyonya. Atau saya bisa saja melaporkan Anda ke polisi atas tuduhan penipuan. Saya punya bukti rekam medis dari rumah sakit tentang penyebab meninggalnya suami Anda, dan saya juga punya rekaman pembicaraan Anda dengan adik Anda."Papa terlihat mulai emosi. Tentu dia tidak terima karena Mama Hera menggunakan anak yang dikandung Dewi sebagai alat untuk menekanku. Kami sudah tahu siapa Mama Hera dan bagaimana sipatnya yang sebenarnya. Demi uang, dia akan melakukan apa saja, termasuk melakukan hal yang merugikan orang lain. "Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat. Bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dewi tidak harus dengan menikahi. Dipta sudah punya istri. Apakah Anda tidak memikirkan perasaan istrinya sama sekali?" Aku menoleh ke arah Inaya yang menunduk. Hati ini seakan diremas saat mengingat betapa beratnya penderitaan Inaya karena ulahku. Dimulai dengan membawakan adik madu, hatiku yang mulai terbagi, dan sekarang ia harus men
"Jadi, Mas Dipta sudah bercerai dengan Mbak Dewi?" tanya Pak Warman, pria yang menjabat ketua RT di kompleks tempat tinggal Inaya. Setelah pembicaraan dengan istriku tersebut, aku memilih keluar untuk sekedar mencari udara segar, berharap bisa menenangkan pikiran yang sedang kalut, hingga di sinilah aku sekarang. Duduk di Pos Ronda bersama Pak Warman sambil menikmati segelas kopi juga gorengan yang disuguhkan istrinya. "Iya, Pak. Saya dan Dewi sudah bercerai," jawabku setelah menyimpan gelas yang isinya sudah kosong ke atas nampan. "Maaf kalau saya terkesan kepo. Tapi saya benar-benar penasaran dan ingin bertanya langsung sama Mas Dipta soal kabar yang saya dengar dari beberapa orang warga.""Tanyakan saja, Pak. Saya akan menjawab apa adanya," ujarku mempersilakan. "Saya dengar, sebenarnya Mas Dipta ini orang kaya. Apa itu betul?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Pak Warman. Rupanya kabar tentangku yang berpura-pura bangkrut sudah tersebar di kompleks ini. Aku menebak, pasti si
"Kita pulang sekarang saja, Mas."Inaya melepas genggaman tanganku setelah aku mengatakan perihal kondisi Dewi. Bulan madu yang seharusnya berakhir indah seperti yang aku harapkan, justru berujung kekecewaan karena Inaya mengajakku pulang malam ini juga.Sebenarnya aku mengkhawatirkan kondisi mantan istriku juga janin dalam kandungannya, karena walau bagaimanapun janin itu adalah calon anakku. Namun, aku pun tidak ingin merusak kebersamaan dengan Inaya yang baru saja kami nikmati tiga hari di sini. Dilema. Lagi, aku harus dihadapkan pada pilihan sulit yang memaksaku mengorbankan salah satunya. "Mas tetap pada keputusan awal. Kita akan pulang besok sesuai jadwal sebelumnya," putusku akhirnya."Mas yakin? Apa Mas tidak mengkhawatirkan calon anak kalian?" Inaya menyipitkan mata. Seakan mencari kesungguhan dari keputusanku barusan. "Sebenarnya Mas mengkhawatirkan kondisi kandungannya. Tapi Mas sudah berjanji padamu untuk memprioritaskan kamu di atas apa pun. Kamu tenang saja. Mas akan
"Nanti pulangnya Mas jemput. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai cafe," pesanku pada Inaya saat dia mengantarku sampai ke teras rumah. Hari ini adalah hari pertama ia kerja di cafe milik Rama setelah dua hari mundur dari jadwal yang sudah mereka sepakati. Sebenarnya, ingin sekali aku melarang dan memintanya untuk tetap di rumah saja. Namun, aku tidak ingin terkesan mengekang Inaya yang bisa saja membuatnya makin tidak nyaman. Inaya memang sedang membutuhkan lingkungan baru yang bisa membantu agar suasana hatinya membaik. Semoga dengan aku mengizinkannya bekerja, dengan perlahan Inaya bisa melupakan kejadian masa lalu yang menyakitkan untuknya. Inaya sempat mendiamkanku seharian setelah kami menjenguk Dewi di rumah sakit waktu itu, dan aku paham ia sedang cemburu. Sikap Dewi yang kelewat manja padaku memang tidak bisa dibenarkan. Mantan istriku itu tidak mempedulikan perasaan Inaya yang juga sedang berada di sana menyaksikan interaksi kami. Ah, aku muak terus dihadapkan dalam sit
"Mas masih marah gara-gara tadi siang?"Inaya menghampiriku yang sedang duduk di pinggir ranjang setelah mengenakan pakaian ganti yang ia siapkan. Aku memilih bungkam dan tetap fokus pada ponsel. Rasanya masih kesal saat mengingat ia yang lebih memperhatikan pria lain ketimbang diriku, suaminya. "Maaf. Kan aku sudah bilang kalau aku tidak tahu Mas mau datang. Lagipula aku hanya ingin berterima kasih sama Mas Akbar yang sudah membantu mempromosikan cafe milik Mas Rama," ujarnya. Ia duduk di sampingku yang masih enggan menoleh padanya. "Aku sudah masak menu yang sama. Mau makan sekarang?" Aku masih bergeming. Berpura-pura menulikan telinga dari setiap kalimat yang ia ucapkan. Bukan berarti aku ingin membalas sikapnya tadi siang. Namun sungguh, aku cemburu ketika melihat Inaya dekat dengan pria lain, apalagi saat istriku tersebut tersenyum kepada mereka. "Ya sudah kalau Mas masih marah. Lebih baik aku tidur di kamar Syafa saja." Inaya beranjak menuju pintu. Aku yang awalnya ingin m
Mama Hera ditemukan tidak sadarkan diri di ruang tamu rumahnya. Dewi memintaku membawa mamanya ke rumah sakit karena ia khawatir dengan kondisi sang Mama yang terlihat lemah, pun dengan wajahnya yang pucat. Demi kemanusiaan, aku membantu mereka yang memang hanya tinggal berdua. Tidak tega rasanya membiarkan Dewi yang sedang hamil muda membawa mamanya ke rumah sakit sendirian. Dan di sinilah aku sekarang. Mondar-mandir di depan ruang IGD menemani Dewi menunggui Mama Hera yang sedang diperiksa. Aku sudah mencoba menghubungi Inaya untuk memberitahu alasan mengapa aku pulang terlambat. Namun sayang, nomor istriku tidak aktif dan hal tersebut menambah kegelisahan pada diri ini. "Mama gak akan kenapa-napa, kan, Mas? Aku takut Mama ninggalin aku sendirian," keluh Dewi dengan terisak. Aku hanya mampu menoleh dan memperhatikan wajahnya tanpa menjawab. "Aku gak bisa membayangkan kalau sampai Mama ninggalin aku. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup hanya berdua dengan anak ini.""Jangan ber
"Di mana kamu, Nay?" Aku terduduk lemas di kursi yang terdapat di teras rumah Ayah Wirya. Mendapati kenyataan bahwa Inaya dan Syafa juga tidak ada di sini membuatku kembali didera rasa cemas yang luar biasa. Entah ke mana Inaya membawa putri kami pergi jika tidak ada di rumah orang tuanya. Aku takut dia tidak akan kembali dan meninggalkanku selamanya. Ingatan ini kembali melayang pada saat pembicaraan di rumah Papa tentang anak yang dikandung Dewi. Sebenarnya aku pun sempat meragukan anak itu mengingat aku pernah memergoki Dewi dengan pria lain di kamar Villa. Namun, aku tidak ingin gegabah sebelum mendapatkan bukti yang kuat. Biarlah urusan itu aku kesampingkan dulu karena yang terpenting saat ini adalah menemukan istri dan anakku. "Lho ... Nak Dipta? Suaminya Mbak Inaya, kan?" Lamunanku buyar ketika sebuah suara mengejutkanku. Mendongak, kudapati pria paruh baya seumuran Ayah Wirya sedang berdiri dekat pagar rumah ini. "Iya, Pak. Saya Dipta, suaminya Inaya," jawabku seramah m