Mama Hera ditemukan tidak sadarkan diri di ruang tamu rumahnya. Dewi memintaku membawa mamanya ke rumah sakit karena ia khawatir dengan kondisi sang Mama yang terlihat lemah, pun dengan wajahnya yang pucat. Demi kemanusiaan, aku membantu mereka yang memang hanya tinggal berdua. Tidak tega rasanya membiarkan Dewi yang sedang hamil muda membawa mamanya ke rumah sakit sendirian. Dan di sinilah aku sekarang. Mondar-mandir di depan ruang IGD menemani Dewi menunggui Mama Hera yang sedang diperiksa. Aku sudah mencoba menghubungi Inaya untuk memberitahu alasan mengapa aku pulang terlambat. Namun sayang, nomor istriku tidak aktif dan hal tersebut menambah kegelisahan pada diri ini. "Mama gak akan kenapa-napa, kan, Mas? Aku takut Mama ninggalin aku sendirian," keluh Dewi dengan terisak. Aku hanya mampu menoleh dan memperhatikan wajahnya tanpa menjawab. "Aku gak bisa membayangkan kalau sampai Mama ninggalin aku. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup hanya berdua dengan anak ini.""Jangan ber
"Di mana kamu, Nay?" Aku terduduk lemas di kursi yang terdapat di teras rumah Ayah Wirya. Mendapati kenyataan bahwa Inaya dan Syafa juga tidak ada di sini membuatku kembali didera rasa cemas yang luar biasa. Entah ke mana Inaya membawa putri kami pergi jika tidak ada di rumah orang tuanya. Aku takut dia tidak akan kembali dan meninggalkanku selamanya. Ingatan ini kembali melayang pada saat pembicaraan di rumah Papa tentang anak yang dikandung Dewi. Sebenarnya aku pun sempat meragukan anak itu mengingat aku pernah memergoki Dewi dengan pria lain di kamar Villa. Namun, aku tidak ingin gegabah sebelum mendapatkan bukti yang kuat. Biarlah urusan itu aku kesampingkan dulu karena yang terpenting saat ini adalah menemukan istri dan anakku. "Lho ... Nak Dipta? Suaminya Mbak Inaya, kan?" Lamunanku buyar ketika sebuah suara mengejutkanku. Mendongak, kudapati pria paruh baya seumuran Ayah Wirya sedang berdiri dekat pagar rumah ini. "Iya, Pak. Saya Dipta, suaminya Inaya," jawabku seramah m
Pov Dewi"Menikahlah dengan Dipta. Dia itu pewaris tunggal pemilik PT. Darmawan Group. Mama yakin hidup kita akan terjamin kalau kamu menjadi istrinya."Perkataan Mama membuat gerakan tangan yang sedang menyuapi Papa terhenti. Aku dan Papa sempat saling tatap sebentar, sebelum akhirnya menoleh padanya. "Dipta? Pria yang menabrak mobil Papa, namanya Dipta?" tanyaku memastikan. "Ya. Mama sudah mencaritahu tentang siapa dia. Tak apalah kamu jadi istri kedua, yang penting kita bisa hidup enak.""Apa? Istri kedua?" Aku makin dibuat terkejut mendengar fakta dari Mama tentang pria itu. "Aku tidak mau, Ma. Jangan jadikan aku sebagai duri di pernikahan orang lain," tukasku tak setuju. "Jangan bodoh, Dewi. Memangnya kamu mau kita selamanya hidup dililit hutang? Kamu lihat sendiri papamu yang sakit-sakitan itu! Dari mana kita membayar hutang bekas biaya pengobatannya kalau kamu menolak menikah dengan Dipta?" ujar Mama dengan menunjuk Papa yang wajahnya berubah sendu. Memang, semenjak Papa di
Pov Dewi"Maaf, Wi, Mama Hera. Saya sudah mengambil keputusan dan tidak akan bisa diubah lagi. Saya memang akan bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dewi, tetapi bukan dengan merujuknya kembali."Keputusan Mas Dipta memupuskan harapan untuk bisa kembali menjadi istrinya. Aku salah mengira. Ternyata kehadiran anak ini tidak lantas membuatnya berubah pikiran dan mau menerimaku kembali. Ini semua karena Mbak Inaya. Mas Dipta pasti ketakutan istrinya tersebut akan meninggalkannya jika kami rujuk demi anak ini. Sebagai sesama wanita, Mbak Inaya sama sekali tidak mempunyai rasa empati. Dengan pongahnya ia meminta berpisah dari Mas Dipta jika suaminya tersebut merujukku, wanita yang sedang mengandung anak pria itu ... setidaknya seperti itulah kenyataan yang mereka ketahui. Tentang siapa ayah dari janin ini memang hanya aku sendiri yang tahu. Bahkan Mama pun tidak akan pernah kuberitahu sebab kepercayaanku kepada Mama sudah mulai memudar. Aku takut, bisa saja suatu saat ia kelepa
Pov DiptaAku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Dada ini rasanya ingin meledak sebab kemarahan yang sulit kukendalikan. Kebohongan Dewi yang terbongkar hari ini benar-benar mengubah cara pandangku terhadapnya.Marah, kecewa, kesal dan sesal berbaur menjadi satu. Lagi, aku ditipu mentah-mentah oleh mantan istriku itu. Entah dosa apa yang aku lakukan di masa lalu hingga aku harus dipertemukan dengan wanita seperti dia. Wanita yang dengan mudahnya merancang rencana jahat dengan memanfaatkan janin yang tak berdosa. Benar kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sipat Dewi dengan Mama Hera ternyata sama, mereka rela melakukan apa saja demi keinginan yang belum tercapai, termasuk menipu dan mengelabui orang lain dengan licik.Sungguh, aku seperti orang bodoh di hadapan mereka. Pria sekelas Dipta Kharisma Darmawan yang merupakan pewaris tunggal dan pemimpin perusahaan, ditipu mentah-mentah oleh dua wanita ular bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Sungg
Aku harus menemui Inaya sekarang juga, Pa. Malam ini aku berangkat ke Sukabumi," terangku pada Papa, sembari mengemasi beberapa potong pakaian untuk ganti di sana. "Kamu yakin dia ada di sana? Memangnya kamu tau letak kampung dan rumahnya?" cecar Papa. "Sangat yakin. Informasi ini aku dapat dari salah satu pegawai di salon milik sahabatnya Inaya. Wanita itu sedang mengunjungi istriku di Sukabumi. Aku ingat pernah ke sana sekali waktu sepupunya Inaya menikah," terangku dengan gerakan tangan yang masih memasukan beberapa pakaian ke dalam tas. "Apa tidak sebaiknya kamu berangkat besok pagi saja? Ini sudah larut. Papa khawatir kalau kamu nyetir sendirian ke sana.""Aku tidak bisa menunggu lebih lama, Pa. Aku sudah sangat kangen sama istri dan anakku."Papa menghela napas yang terdengar berat. "Setidaknya minta Pak Anton untuk menemanimu ke sana. Biar dia yang nyetir." Papa memberi saran. Jika dipikir-pikir, benar juga. Aku tidak mungkin menyetir sendiri dalam keadaan kalut seperti ini.
"Lho, Mas. Kok malah narik saya ke sini?" Rizki celingukan ketika aku menariknya ke belakang rumah salah satu warga. Beruntung Inaya dan yang lainnya belum menyadari kedatanganku hingga aku bisa bersembunyi lebih dulu. "Ada yang harus saya bicarakan dulu dengan pria itu. Mas Rizki kalau mau pulang, silakan. Tapi saya minta, jangan memberitahu istri saya kalau sekarang saya berada di sini," bisikku sembari menatap sekeliling. Memastikan Akbar dan Meli belum lewat agar nantinya aku bisa bergegas menyusul mereka. "Oh, ya sudah kalau begitu. Saya janji gak akan memberitahu Mbak Inaya. Saya ke rumah dulu ya, Mas. Takut jam makan siang keburu habis.""Silakan, maaf kalau saya merepotkan Mas Rizki.""Gak papa, Mas. Saya justru senang bisa bertemu lagi dengan Mas Dipta."Setelah kepergian Rizki, aku meminta Pak Anton untuk mengikutiku menuju jalan raya, tempat di mana mobil Akbar terparkir di sana. Aku baru menyadari bahwa mobil yang tadi sempat aku lewati adalah mobil sepupuku setelah mel
"Jalan delapan Minggu."Aku mengusap wajah kasar. Berusaha menghilangkan kegusaran setelah mendengar pengakuan Inaya tentang usia kandungannya. Di satu sisi aku bahagia karena akhirnya aku akan kembali menjadi seorang Ayah, tetapi di sisi lain aku kecewa sebab Inaya menyembunyikan kabar kehamilannya. "Sudah dua bulan dan kamu menyembunyikannya dari Mas?" Inaya mendongak. Mata kami beradu tatap untuk sekian detik sebelum dia menunduk lagi. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan kabar ini dari Mas Dipta. Aku juga baru tahu kemarin waktu aku memutuskan diperiksa karena aku sering mual dan pusing," jawabnya masih dengan menunduk. "Lagipula, untuk apa aku menyembunyikan kabar ini kalau pada akhirnya keberadaan anak ini tetap harus diketahui oleh ayahnya. Terlepas dari Mas akan senang atau tidak, aku tetap harus memberitahu," imbuhnya."Kenapa kamu berkata seperti itu, Nay? Mas tentu saja senang mendengar kabar ini. Apa Mas seburuk itu di matamu sampai kamu menduga Mas tidak akan senang d