"Jangan pernah berani mengancam putra saya, Nyonya. Atau saya bisa saja melaporkan Anda ke polisi atas tuduhan penipuan. Saya punya bukti rekam medis dari rumah sakit tentang penyebab meninggalnya suami Anda, dan saya juga punya rekaman pembicaraan Anda dengan adik Anda."Papa terlihat mulai emosi. Tentu dia tidak terima karena Mama Hera menggunakan anak yang dikandung Dewi sebagai alat untuk menekanku. Kami sudah tahu siapa Mama Hera dan bagaimana sipatnya yang sebenarnya. Demi uang, dia akan melakukan apa saja, termasuk melakukan hal yang merugikan orang lain. "Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat. Bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung Dewi tidak harus dengan menikahi. Dipta sudah punya istri. Apakah Anda tidak memikirkan perasaan istrinya sama sekali?" Aku menoleh ke arah Inaya yang menunduk. Hati ini seakan diremas saat mengingat betapa beratnya penderitaan Inaya karena ulahku. Dimulai dengan membawakan adik madu, hatiku yang mulai terbagi, dan sekarang ia harus men
"Jadi, Mas Dipta sudah bercerai dengan Mbak Dewi?" tanya Pak Warman, pria yang menjabat ketua RT di kompleks tempat tinggal Inaya. Setelah pembicaraan dengan istriku tersebut, aku memilih keluar untuk sekedar mencari udara segar, berharap bisa menenangkan pikiran yang sedang kalut, hingga di sinilah aku sekarang. Duduk di Pos Ronda bersama Pak Warman sambil menikmati segelas kopi juga gorengan yang disuguhkan istrinya. "Iya, Pak. Saya dan Dewi sudah bercerai," jawabku setelah menyimpan gelas yang isinya sudah kosong ke atas nampan. "Maaf kalau saya terkesan kepo. Tapi saya benar-benar penasaran dan ingin bertanya langsung sama Mas Dipta soal kabar yang saya dengar dari beberapa orang warga.""Tanyakan saja, Pak. Saya akan menjawab apa adanya," ujarku mempersilakan. "Saya dengar, sebenarnya Mas Dipta ini orang kaya. Apa itu betul?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Pak Warman. Rupanya kabar tentangku yang berpura-pura bangkrut sudah tersebar di kompleks ini. Aku menebak, pasti si
"Kita pulang sekarang saja, Mas."Inaya melepas genggaman tanganku setelah aku mengatakan perihal kondisi Dewi. Bulan madu yang seharusnya berakhir indah seperti yang aku harapkan, justru berujung kekecewaan karena Inaya mengajakku pulang malam ini juga.Sebenarnya aku mengkhawatirkan kondisi mantan istriku juga janin dalam kandungannya, karena walau bagaimanapun janin itu adalah calon anakku. Namun, aku pun tidak ingin merusak kebersamaan dengan Inaya yang baru saja kami nikmati tiga hari di sini. Dilema. Lagi, aku harus dihadapkan pada pilihan sulit yang memaksaku mengorbankan salah satunya. "Mas tetap pada keputusan awal. Kita akan pulang besok sesuai jadwal sebelumnya," putusku akhirnya."Mas yakin? Apa Mas tidak mengkhawatirkan calon anak kalian?" Inaya menyipitkan mata. Seakan mencari kesungguhan dari keputusanku barusan. "Sebenarnya Mas mengkhawatirkan kondisi kandungannya. Tapi Mas sudah berjanji padamu untuk memprioritaskan kamu di atas apa pun. Kamu tenang saja. Mas akan
"Nanti pulangnya Mas jemput. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai cafe," pesanku pada Inaya saat dia mengantarku sampai ke teras rumah. Hari ini adalah hari pertama ia kerja di cafe milik Rama setelah dua hari mundur dari jadwal yang sudah mereka sepakati. Sebenarnya, ingin sekali aku melarang dan memintanya untuk tetap di rumah saja. Namun, aku tidak ingin terkesan mengekang Inaya yang bisa saja membuatnya makin tidak nyaman. Inaya memang sedang membutuhkan lingkungan baru yang bisa membantu agar suasana hatinya membaik. Semoga dengan aku mengizinkannya bekerja, dengan perlahan Inaya bisa melupakan kejadian masa lalu yang menyakitkan untuknya. Inaya sempat mendiamkanku seharian setelah kami menjenguk Dewi di rumah sakit waktu itu, dan aku paham ia sedang cemburu. Sikap Dewi yang kelewat manja padaku memang tidak bisa dibenarkan. Mantan istriku itu tidak mempedulikan perasaan Inaya yang juga sedang berada di sana menyaksikan interaksi kami. Ah, aku muak terus dihadapkan dalam sit
"Mas masih marah gara-gara tadi siang?"Inaya menghampiriku yang sedang duduk di pinggir ranjang setelah mengenakan pakaian ganti yang ia siapkan. Aku memilih bungkam dan tetap fokus pada ponsel. Rasanya masih kesal saat mengingat ia yang lebih memperhatikan pria lain ketimbang diriku, suaminya. "Maaf. Kan aku sudah bilang kalau aku tidak tahu Mas mau datang. Lagipula aku hanya ingin berterima kasih sama Mas Akbar yang sudah membantu mempromosikan cafe milik Mas Rama," ujarnya. Ia duduk di sampingku yang masih enggan menoleh padanya. "Aku sudah masak menu yang sama. Mau makan sekarang?" Aku masih bergeming. Berpura-pura menulikan telinga dari setiap kalimat yang ia ucapkan. Bukan berarti aku ingin membalas sikapnya tadi siang. Namun sungguh, aku cemburu ketika melihat Inaya dekat dengan pria lain, apalagi saat istriku tersebut tersenyum kepada mereka. "Ya sudah kalau Mas masih marah. Lebih baik aku tidur di kamar Syafa saja." Inaya beranjak menuju pintu. Aku yang awalnya ingin m
Mama Hera ditemukan tidak sadarkan diri di ruang tamu rumahnya. Dewi memintaku membawa mamanya ke rumah sakit karena ia khawatir dengan kondisi sang Mama yang terlihat lemah, pun dengan wajahnya yang pucat. Demi kemanusiaan, aku membantu mereka yang memang hanya tinggal berdua. Tidak tega rasanya membiarkan Dewi yang sedang hamil muda membawa mamanya ke rumah sakit sendirian. Dan di sinilah aku sekarang. Mondar-mandir di depan ruang IGD menemani Dewi menunggui Mama Hera yang sedang diperiksa. Aku sudah mencoba menghubungi Inaya untuk memberitahu alasan mengapa aku pulang terlambat. Namun sayang, nomor istriku tidak aktif dan hal tersebut menambah kegelisahan pada diri ini. "Mama gak akan kenapa-napa, kan, Mas? Aku takut Mama ninggalin aku sendirian," keluh Dewi dengan terisak. Aku hanya mampu menoleh dan memperhatikan wajahnya tanpa menjawab. "Aku gak bisa membayangkan kalau sampai Mama ninggalin aku. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup hanya berdua dengan anak ini.""Jangan ber
"Di mana kamu, Nay?" Aku terduduk lemas di kursi yang terdapat di teras rumah Ayah Wirya. Mendapati kenyataan bahwa Inaya dan Syafa juga tidak ada di sini membuatku kembali didera rasa cemas yang luar biasa. Entah ke mana Inaya membawa putri kami pergi jika tidak ada di rumah orang tuanya. Aku takut dia tidak akan kembali dan meninggalkanku selamanya. Ingatan ini kembali melayang pada saat pembicaraan di rumah Papa tentang anak yang dikandung Dewi. Sebenarnya aku pun sempat meragukan anak itu mengingat aku pernah memergoki Dewi dengan pria lain di kamar Villa. Namun, aku tidak ingin gegabah sebelum mendapatkan bukti yang kuat. Biarlah urusan itu aku kesampingkan dulu karena yang terpenting saat ini adalah menemukan istri dan anakku. "Lho ... Nak Dipta? Suaminya Mbak Inaya, kan?" Lamunanku buyar ketika sebuah suara mengejutkanku. Mendongak, kudapati pria paruh baya seumuran Ayah Wirya sedang berdiri dekat pagar rumah ini. "Iya, Pak. Saya Dipta, suaminya Inaya," jawabku seramah m
Pov Dewi"Menikahlah dengan Dipta. Dia itu pewaris tunggal pemilik PT. Darmawan Group. Mama yakin hidup kita akan terjamin kalau kamu menjadi istrinya."Perkataan Mama membuat gerakan tangan yang sedang menyuapi Papa terhenti. Aku dan Papa sempat saling tatap sebentar, sebelum akhirnya menoleh padanya. "Dipta? Pria yang menabrak mobil Papa, namanya Dipta?" tanyaku memastikan. "Ya. Mama sudah mencaritahu tentang siapa dia. Tak apalah kamu jadi istri kedua, yang penting kita bisa hidup enak.""Apa? Istri kedua?" Aku makin dibuat terkejut mendengar fakta dari Mama tentang pria itu. "Aku tidak mau, Ma. Jangan jadikan aku sebagai duri di pernikahan orang lain," tukasku tak setuju. "Jangan bodoh, Dewi. Memangnya kamu mau kita selamanya hidup dililit hutang? Kamu lihat sendiri papamu yang sakit-sakitan itu! Dari mana kita membayar hutang bekas biaya pengobatannya kalau kamu menolak menikah dengan Dipta?" ujar Mama dengan menunjuk Papa yang wajahnya berubah sendu. Memang, semenjak Papa di
"Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar
"Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah
Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu
"Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya
"Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya
"Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a
Lima bulan sudah Inaya terbaring koma di rumah sakit, dan selama itu pula hampir setiap malam aku menungguinya di sana. Aku selalu mengajaknya berbicara, menceritakan perkembangan putra-putri kami yang sangat membutuhkan kehadiran sosok ibunya. Syafa yang hampir setiap hari menanyakan sang Bunda, dan Aqlan yang terpaksa harus minum susu formula. Putra bungsuku itu dirawat oleh seorang Baby Sitter yang dipekerjakan sejak Aqlan keluar dari rumah sakit. Sesekali Ayah Wirya berkunjung ke rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Meski senyum tak pernah lepas dari bibir pria paruh baya itu, tetapi aku tahu, dalam hatinya menyimpan kesedihan yang teramat dalam sebab sang putri yang tak kunjung bangun dari koma. "Tadi Aqlan nangis. Dia gak mau ditinggal kakeknya. Syafa juga begitu. Dia merengek dan membujuk Ayah agar tidak pulang. Mereka sangat dekat dengan kedua kakeknya. Mas sampai kewalahan kalau sudah membujuk mereka, sama susahnya waktu Mas membujuk kamu yang sedang merajuk." Aku te
Tujuh hari setelah meninggalnya Mama Hera, pernikahan Dewi dan Ivan digelar di rumah mantan istriku tersebut. Sengaja mereka memajukan jadwal, sebab Ivan ingin segera memboyong Dewi ke hunian yang sudah ia sediakan. Orang tua Ivan yang belum pulang dari ibadah umroh hanya mengirimkan doa serta restu lewat telepon. Namun meski begitu, saudara angkat Ivan yang lain turut hadir di acara sakral kakak angkatnya tersebut. Tidak ada undangan maupun pesta mewah yang digelar, sebab Dewi yang meminta. Cukup keluarga inti dan beberapa orang tetangga dekat yang diberitahu untuk datang dan menyaksikan prosesi ijab qobul. "Cantik banget, sih." Kukecup pipi Inaya yang sedang mematut diri di depan cermin. Ya, atas undangan langsung dari kedua mempelai, aku dan Inaya turut datang untuk meyaksikan hari bahagia mereka. "Dari dulu juga sudah cantik." Dia menjawab sambil mencebikkan bibir. "Sejak kapan istri Mas jadi narsis begini?" Lagi, kukecup pipinya. "Tapi gak papa. Mas suka. Apalagi akhir-akhir
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu