Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
"Papa sudah mengetahui semuanya? Jadi ini alasan Papa memintaku berpura-pura bangkrut?""Duduklah dulu, Dip. Kalau bicara itu yang tenang."Aku menghela napas gusar. Bisa-bisanya Papa memintaku bersikap tenang setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya.Dipta yang bo doh!Mudah sekali diperdaya dan dibohongi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan kondisiku saat itu. Aku yang diserang panik tentu saja tidak bisa berpikir jernih, apalagi mencaritahu tentang alasan meninggalnya Papa Hadi. Setelah mendengar bahwa pria paruh baya tersebut dinyatakan meninggal, aku berpikir bahwa kecelakaan itulah yang menjadi penyebabnya.Sungguh! Aku merasa menjadi orang paling bo doh di muka bumi ini."Papa memang sudah mengetahui semuanya," kata Papa yang membuat emosiku hampir meledak. Bisa-bisanya Papa menyembunyikan hal penting seperti ini dariku. Beruntung Syafa tertidur dan aku meminta asisten rumah tangga di rumah Papa untuk menjaganya agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan pria yang saat
"Muka kamu kusut begitu? Lagi ada masalah?" Akbar tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu. Aku mendengkus tak suka dengan sikapnya yang satu ini. Main nyelonong seakan aku tidak punya privasi di ruanganku sendiri. "Kalau masuk itu ketuk pintu dulu!" Dia terkekeh. "Sorry, kebiasaan," jawabnya santai sembari duduk di sofa. "Jadi gimana? Mau cerita?" tanyanya lagi. "Maksudmu cerita apa?" kuhela napas berat sembari memijat pelipis yang terasa pening. "Ya ... masalahmu. Siapa tahu aku bisa membantu. Om Darma bilang kamu sudah tahu tentang alasan kematian mertuamu yang sebenarnya. Apa karena masalah itu?" "Jadi kamu juga tahu yang sebenarnya?" Akbar mengangguk. Lagi-lagi aku merasa menjadi orang paling bo doh karena hanya aku yang tidak tahu apa pun tentang hal sepenting itu. "Aku sudah tahu sejak dulu. Tapi kamu jangan marah." Akbar mengangkat kedua tangan. "Aku hanya mengikuti rencana papamu. Lantas bagaimana? Sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan kamu ambil ke depannya? A
"Nyonya Dewi bertemu dengan pria itu di sebuah Resto, Pak. Dan sampai sekarang mereka masih di sana.""Apa mereka hanya berdua?""Betul. Mereka hanya berdua.""Baiklah. Pantau terus mereka.""Siap, Pak."Kuhela napas gusar. Ternyata memang benar Dewi janjian bertemu dengan pria itu. Meski mereka hanya bertemu di Resto, tetap saja Dewi telah membohongiku karena dia sama sekali tidak meminta izin dariku. Dewi. Sepertinya dia mulai nyaman dengan pria bernama Ivan. Karena kalau tidak, ia pasti akan menolak ketika pria itu mengajaknya bertemu, apalagi tanpa sepengetahuan diriku. Tak sadar, tangan ini meremas pakaian yang belum kukenakan. Dewi mulai bermain api dengan memilih membohongiku dan menerima ajakan Ivan. Seharusnya, sebagai wanita bersuami, Dewi bisa menjaga nama baikku dengan tidak bertemu pria lain, apalagi hanya berdua."Mandinya sudah, Mas?"Aku terperanjat. Menoleh, Inaya sudah berdiri di belakangku sembari membawa segelas teh hangat. "Sudah, Sayang.""Kenapa bajunya belu
"Cukup, Mas! Jangan memukulinya!"Dewi terus berteriak saat aku menghajar Ivan dengan brutal. Ia nampak panik ketika Ivan sudah terkulai tak berdaya, sedangkan aku masih belum berhenti memberi pria itu pelajaran. Aku paling tidak suka jika milikku disentuh orang lain, apalagi mereka hampir saja melakukan perbuatan zina di dalam kamar ini. Beruntung aku cepat datang. Karena kalau tidak, Ivan pasti sudah menikmati tubuh istriku. Ah, membayangkannya saja aku jijik. Dengan tidak tahu malu, Dewi hampir saja menyerahkan diri kepada pria yang bukan suaminya. "Cukup, Pak! Jangan sampai dia mati dan Bapak masuk penjara."Dua orang anak buahku menahan lengan yang hampir saja melayangkan pukulan ke sekian kali. Aku terengah. Mengatur napas yang yang masih memburu akibat emosi yang tak terkendali. "Mas ...."Kutatap nyalang wajah Dewi yang memucat. Dia pasti tidak pernah menduga jika aku akan menyusulnya ke tempat ini. "Jadi ini alasan kamu mengajukan cuti? Bukan untuk beristirahat, melainka
"Aku sudah menceraikan Dewi, Pa. Dia berselingkuh dariku."Papa bergeming. Matanya tak lepas dari penampilanku yang terlihat berantakan, pun wajahku yang tidak bisa menyembunyikan raut kesedihan. Bagaimanapun keputusan yang aku ambil malam ini adalah keputusan yang sebenarnya tidak pernah aku inginkan. Tidak mudah melepas Dewi begitu saja setelah aku mulai mempunyai rasa padanya. "Aku tidak pernah menduga dia akan tega berbuat seperti itu hanya karena uang," lirihku dengan menunduk. Memijat kepala yang terasa pening setelah kejadian demi kejadian yang mengejutkan hari ini. "Bagaimana rasanya ketika kamu dikhianati?" tanya Papa. Aku mendongak hingga mata kami saling berserobok. "Sangat menyakitkan, bukan? Apakah kamu tidak pernah berpikir, seperti itulah yang dirasakan Inaya ketika kamu membawa Dewi pulang dan mengenalkannya sebagai istri barumu? Coba rasakan hancurnya perasaan Inaya saat suami yang begitu dicintainya ternyata mengkhianati kepercayaan yang ia berikan?" ujarnya meno
Pov Inaya"Mbak Nay kuat sekali. Kalau aku jadi Mbak Nay, aku akan memilih bercerai dan pergi dari kehidupan Mas Dipta."Mbak Meli mengusap bahuku. Sebagai sesama wanita, ia pasti ikut merasakan kepedihan yang aku rasakan dalam pernikahanku. Jika menuruti kata hati, sudah dari dulu aku memilih pergi dari kehidupan Mas Dipta. Hidup bertiga dengan Syafa dan Ayah akan lebih baik daripada hidup bertiga bersama suami dan adik madu. Namun, aku kembali berpikir ulang. Ayah sudah semakin menua, sedangkan Syafa masih membutuhkan sosok keluarga yang lengkap. Aku tidak ingin egois dengan hanya mementingkan perasaanku sendiri. Jika sampai aku bercerai dari Mas Dipta, Syafa akan kehilangan sosok Ayah dan aku akan kembali menjadi beban bagi Ayah. Aku yang hanya seorang ibu rumah tangga tentu masih bergantung kepada suamiku. Andai suatu saat aku memutuskan berpisah, aku harus mempersiapkan diri, setidaknya memiliki penghasilan agar aku bisa menghidupi diriku sendiri. "Saya tidak punya pilihan se