"Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."
Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna.Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di rumah, padahal Inaya juga membantuku dengan berjualan. Aku tidak terima saat Mama Hera menyindir Inaya, Pa. Aku ingin menyudahi semuanya agar keadaan kembali normal seperti dulu," ungkapku. Memilih menceritakan kejadian kemarin agar Papa sadar bahwa rencananya itu sangat merugikan kedua istriku."Sikapnya berubah?""Ya. Dia juga berkata ketus padaku, padahal dulu dia tidak pernah melakukannya."Papa mengangguk beberapa kali. Pria yang masih gagah di usianya yang hampir menginjak kepala enam itu mengusap dagunya seperti tengah memikirkan sesuatu."Mendengar ini dari kamu, Papa makin yakin kalau rencana ini harus tetap dilanjutkan.""Pa--""Jangan membantah, Dipta! Tetap jalankan rencana Papa kalau kamu tidak ingin menyesal nantinya," tegas Papa tidak ingin dibantah.Aku menghela napas kasar untuk menutupi kegusaran dan pada akhirnya, lagi-lagi harus menuruti perintah Papa. Aku hanya berharap semua ini segera berakhir. Selain merasa iba kepada kedua istriku, aku pun tidak nyaman jika terus menerus tinggal di rumah sederhana yang lingkungannya dipenuhi orang-orang senang bergosip.Ya, tentang aku yang beristri dua sudah menyebar hampir ke seluruh kompleks. Tidak jarang bapak-bapak di sana menggodaku dengan meminta tips tentang bagaimana caranya agar istri mereka mengizinkan untuk menikah lagi. Mereka tidak tahu saja aku menikahi Dewi tanpa sepengetahuan Inaya, dan hal itulah yang memicu perubahan sikap istri pertamaku tersebut.Hah!Rasanya kepalaku mau meledak karena saking frustasi sering diabaikan Inaya. Terlebih, di saat aku sedang menginginkannya, sedangkan dia terus membentangkan jarak di antara kami.Dewi.Wanita yang kunikahi karena terpaksa, kini telah menjadi istri seutuhnya. Meski pada awalnya aku enggan untuk menyentuhnya karena merasa bersalah kepada Inaya, tetapi aku tidak bisa menzoliminya dengan mengabaikan nafkah batin untuknya.Sikapnya yang lembut juga penurut membuatku nyaman. Aku sendiri tidak bisa mengartikan rasaku yang sebenarnya untuk Dewi, karena pada kenyataannya, Inaya masih menempati tahta tertinggi di hati ini.Akan terdengar sangat tidak adil jika aku menceraikan Dewi setelah ia memasrahkan jiwa dan raganya untukku. Namun, aku pun tidak ingin Inaya makin menjauh dan hal yang paling buruk adalah jika ia sampai meminta perpisahan dariku.*****"Kemarin Mama datang ke sini ya, Mas?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki kamar karena malam ini jatahku bersamanya."Iya. Kamu yang ngasih tahu Mama alamat di sini?""Huum. Mama maksa aku buat ngasih tahu alamat baru kita. Tapi aku gak nyangka kalau Mama bakalan datang kemarin. Kalau boleh tahu, apa saja yang kalian bicarakan? Mama gak ngomong macam-macam kan?" ujarnya seraya menuntunku untuk duduk di pinggir ranjang. Ia mulai bergelayut manja di lenganku."Enggak. Mama bilang hanya ingin melihat rumah baru kita. Oh ya, bagaimana kerjaan kamu? Lancar?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar Dewi tidak terus menyinggung masalah kemarin. Aku takut ia merasa bersalah jika tahu mamanya menyudutkanku juga Inaya."Lancar. Aku betah kerja di sana.""Syukurlah, Mas senang mendengarnya. Tapi kamu harus selalu ingat, jangan terlalu lelah karena Mas akan sangat merasa bersalah kalau kamu sampai sakit.""Iya, Mas-ku, Sayang. Aku akan selalu ingat pesan Mas." Dewi mengecup pipiku sekilas. Aku membalas dengan mengecup keningnya lama."Mas keluar dulu. Mau nyari angin. Kamu tidur duluan saja, ya. Jangan nunggu sampai Mas pulang." Aku yang sudah paham akan gelagat Dewi, segera mencari alasan untuk menghindar. Jujur saja malam ini aku sedang tidak ingin melakukannya karena semenjak kedatangan Mama Hera, rasa bersalahku pada Inaya makin bertambah.Dewi mengangguk meski dapat kulihat raut kecewa di wajahnya. Semoga saja ia tidak curiga akan alasanku menghindarinya.Begitu keluar dari kamar Dewi, aku mendapati Syafa sedang bermain di ruang depan dengan boneka di tangannya. Boneka itu terlihat masih baru. Mungkin Inaya sengaja membelikannya agar putri kami tidak rewel."Wah, cantiknya Ayah punya boneka baru. Bunda yang beli?" tanyaku sembari ikut duduk di dekatnya."Bukan, Yah. Ini dari Om Akbar," jawab Syafa tanpa menoleh. Gadis berusia empat tahun itu sedang fokus pada boneka barunya."Om Akbar? Memangnya Syafa ketemu sama Om Akbar?" tanyaku penasaran. Pasalnya, Akbar tidak mengatakan apa pun saat bertemu denganku di kantor.Gadis kecilku mengangguk tanpa menjawab."Tadi aku ketemu Mas Akbar di Supermarket waktu membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Dia mengajak Syafa bermain sebentar terus membelikan boneka itu."Inaya tiba-tiba muncul dari dapur. Aku yang masih penasaran menghampirinya yang duduk agak jauh dari putri kami."Oh, kirain dia ke sini. Kalian pulang diantar sama dia?" tanyaku lagi."Enggak. Kami naik angkot."Aku bernapas lega. Jujur saja aku sedikit tidak suka jika Akbar dekat-dekat pada istri dan anakku. Bukan tanpa alasan, tetapi karena aku tahu sepupuku itu pernah menyimpan rasa pada Inaya."Permisi!"Ketukan di pintu disertai teriakkan seorang wanita menghentikan pembicaraan kami. Aku bergegas membukanya dan meminta Inaya untuk duduk saja."Eh, Mas Dipta. Mbak Inaya ada, Mas?"Ternyata dia Meli. Wanita yang kukenal sebagai pemilik salon itu tersenyum lebar saat melihatku."Ada. Maaf, ada perlu apa sama istri saya malam-malam begini?" tanyaku sedikit tak suka."Ada yang ingin saya bicarakan sama Mbak Inaya. Ini urusan bisnis. Saya boleh masuk, kan?"Aku tidak punya pilihan lain selain mempersilakan. Akan terkesan tidak sopan jika aku melarangnya bertemu dengan salah satu istriku, meski pada kenyataannya ia pun bertamu tidak mengenal waktu."Silakan, istri saya ada di dalam."Meli melewatiku begitu saja dengan gaya centilnya. Aku hanya mampu menggelengkan kepala melihat tingkahnya yang membuatku geli. Bagaimana bisa Inaya mempunyai teman wanita seperti itu?"Eh, Mbak Meli. Duduk, Mbak." Sambutan Inaya begitu hangat. Aku sengaja duduk di dekat Syafa dan berpura-pura mengajaknya bermain agar bisa mendengarkan pembicaraan mereka."Saya buatkan minum dulu ya, Mbak.""Eh, gak usah, Mbak Nay. Saya gak lama, kok. Saya ke sini cuma mau menyampaikan pesanan dari pelanggan saya. Mereka ketagihan sama kue buatan Mbak Inaya. Jeng Wine mau pesan buat acara ulang tahun anaknya, terus Jeng Farah mau pesan buat acara akikah ponakannya," terang Meli."Alhamdulillah, saya senang kalau ternyata mereka menyukai kue buatan saya. Terima kasih ya, Mbak Meli. Mbak sudah membantu mempromosikan kue-kue saya." Senyum lebar terbit dari bibir istriku.Ah, aku senang melihatnya. Andai saja Inaya setiap hari tersenyum seperti itu padaku."Sebentar saya ambil catatan dulu. Takutnya ketukar sama pesanan yang lain."Inaya beranjak ke kamar. Meninggalkanku yang masih duduk di dekat Syafa dan Meli yang kulihat sedang mengedarkan pandangan, seperti sedang mencari sesuatu."Mbak Dewi sudah tidur ya, Mas?" tanyanya. Mungkin yang ia cari adalah Istri keduaku."Sudah.""Mbak Dewi itu kerja di perusahaan besar?""Iya," jawabku singkat."Hmm. Apa di sana memakai jasa antar jemput juga?"Aku tertegun. "Maksud, Mbak Meli?" Pertanyaannya kali ini sedikit mengusikku."Oh, itu. Soalnya kemarin sore saya melihat Mbak Dewi diantar sama pria yang naik mobil mewah sampai ujung Gang. Tampan sih, tapi masih lebih tampan Mas Dipta," terangnya sambil tertawa dan menutup mulut dengan sebelah tangan.**Bersambung.Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
"Papa sudah mengetahui semuanya? Jadi ini alasan Papa memintaku berpura-pura bangkrut?""Duduklah dulu, Dip. Kalau bicara itu yang tenang."Aku menghela napas gusar. Bisa-bisanya Papa memintaku bersikap tenang setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya.Dipta yang bo doh!Mudah sekali diperdaya dan dibohongi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan kondisiku saat itu. Aku yang diserang panik tentu saja tidak bisa berpikir jernih, apalagi mencaritahu tentang alasan meninggalnya Papa Hadi. Setelah mendengar bahwa pria paruh baya tersebut dinyatakan meninggal, aku berpikir bahwa kecelakaan itulah yang menjadi penyebabnya.Sungguh! Aku merasa menjadi orang paling bo doh di muka bumi ini."Papa memang sudah mengetahui semuanya," kata Papa yang membuat emosiku hampir meledak. Bisa-bisanya Papa menyembunyikan hal penting seperti ini dariku. Beruntung Syafa tertidur dan aku meminta asisten rumah tangga di rumah Papa untuk menjaganya agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan pria yang saat
"Muka kamu kusut begitu? Lagi ada masalah?" Akbar tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu. Aku mendengkus tak suka dengan sikapnya yang satu ini. Main nyelonong seakan aku tidak punya privasi di ruanganku sendiri. "Kalau masuk itu ketuk pintu dulu!" Dia terkekeh. "Sorry, kebiasaan," jawabnya santai sembari duduk di sofa. "Jadi gimana? Mau cerita?" tanyanya lagi. "Maksudmu cerita apa?" kuhela napas berat sembari memijat pelipis yang terasa pening. "Ya ... masalahmu. Siapa tahu aku bisa membantu. Om Darma bilang kamu sudah tahu tentang alasan kematian mertuamu yang sebenarnya. Apa karena masalah itu?" "Jadi kamu juga tahu yang sebenarnya?" Akbar mengangguk. Lagi-lagi aku merasa menjadi orang paling bo doh karena hanya aku yang tidak tahu apa pun tentang hal sepenting itu. "Aku sudah tahu sejak dulu. Tapi kamu jangan marah." Akbar mengangkat kedua tangan. "Aku hanya mengikuti rencana papamu. Lantas bagaimana? Sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan kamu ambil ke depannya? A
"Nyonya Dewi bertemu dengan pria itu di sebuah Resto, Pak. Dan sampai sekarang mereka masih di sana.""Apa mereka hanya berdua?""Betul. Mereka hanya berdua.""Baiklah. Pantau terus mereka.""Siap, Pak."Kuhela napas gusar. Ternyata memang benar Dewi janjian bertemu dengan pria itu. Meski mereka hanya bertemu di Resto, tetap saja Dewi telah membohongiku karena dia sama sekali tidak meminta izin dariku. Dewi. Sepertinya dia mulai nyaman dengan pria bernama Ivan. Karena kalau tidak, ia pasti akan menolak ketika pria itu mengajaknya bertemu, apalagi tanpa sepengetahuan diriku. Tak sadar, tangan ini meremas pakaian yang belum kukenakan. Dewi mulai bermain api dengan memilih membohongiku dan menerima ajakan Ivan. Seharusnya, sebagai wanita bersuami, Dewi bisa menjaga nama baikku dengan tidak bertemu pria lain, apalagi hanya berdua."Mandinya sudah, Mas?"Aku terperanjat. Menoleh, Inaya sudah berdiri di belakangku sembari membawa segelas teh hangat. "Sudah, Sayang.""Kenapa bajunya belu
"Cukup, Mas! Jangan memukulinya!"Dewi terus berteriak saat aku menghajar Ivan dengan brutal. Ia nampak panik ketika Ivan sudah terkulai tak berdaya, sedangkan aku masih belum berhenti memberi pria itu pelajaran. Aku paling tidak suka jika milikku disentuh orang lain, apalagi mereka hampir saja melakukan perbuatan zina di dalam kamar ini. Beruntung aku cepat datang. Karena kalau tidak, Ivan pasti sudah menikmati tubuh istriku. Ah, membayangkannya saja aku jijik. Dengan tidak tahu malu, Dewi hampir saja menyerahkan diri kepada pria yang bukan suaminya. "Cukup, Pak! Jangan sampai dia mati dan Bapak masuk penjara."Dua orang anak buahku menahan lengan yang hampir saja melayangkan pukulan ke sekian kali. Aku terengah. Mengatur napas yang yang masih memburu akibat emosi yang tak terkendali. "Mas ...."Kutatap nyalang wajah Dewi yang memucat. Dia pasti tidak pernah menduga jika aku akan menyusulnya ke tempat ini. "Jadi ini alasan kamu mengajukan cuti? Bukan untuk beristirahat, melainka
"Aku sudah menceraikan Dewi, Pa. Dia berselingkuh dariku."Papa bergeming. Matanya tak lepas dari penampilanku yang terlihat berantakan, pun wajahku yang tidak bisa menyembunyikan raut kesedihan. Bagaimanapun keputusan yang aku ambil malam ini adalah keputusan yang sebenarnya tidak pernah aku inginkan. Tidak mudah melepas Dewi begitu saja setelah aku mulai mempunyai rasa padanya. "Aku tidak pernah menduga dia akan tega berbuat seperti itu hanya karena uang," lirihku dengan menunduk. Memijat kepala yang terasa pening setelah kejadian demi kejadian yang mengejutkan hari ini. "Bagaimana rasanya ketika kamu dikhianati?" tanya Papa. Aku mendongak hingga mata kami saling berserobok. "Sangat menyakitkan, bukan? Apakah kamu tidak pernah berpikir, seperti itulah yang dirasakan Inaya ketika kamu membawa Dewi pulang dan mengenalkannya sebagai istri barumu? Coba rasakan hancurnya perasaan Inaya saat suami yang begitu dicintainya ternyata mengkhianati kepercayaan yang ia berikan?" ujarnya meno