"Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini.
"Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut."Sekarang kamu kerja di mana?""Saya jadi driver taksi online."Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya."Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya.Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia seperti ragu untuk duduk di sana."Sofa-nya bersih kok, Ma," kataku sedikit kesal.Ia akhirnya duduk meski terlihat tidak nyaman. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya ketika ia beberapa kali merubah posisi duduk."Sebentar, aku mau meminta Inaya untuk membuatkan minum." Namun, baru saja aku membalikan badan, Inaya muncul dari arah dapur dengan membawa nampan di tangannya."Aku sudah membuatkan minum untuk Nyonya Hera," ucapnya sembari meletakkan minuman tersebut ke atas meja. "Silakan, Nyonya," ujarnya sopan, kemudian mengambil tempat duduk di sebelahku setelah aku memberinya isyarat."Terima kasih." Jawaban Mama Hera terdengar ketus. "Jadi kalian hanya berdua di rumah? Memangnya Nak Dipta gak berangkat kerja?""Sebentar lagi saya berangkat, Ma. Agak siangan.""Enak dong, ya. Dewi cape-cape kerja bantu suaminya ... eh kalian malah berduaan. Memangnya istri pertama Nak Dipta ini gak punya inisiatif seperti Dewi buat cari kerja? Masa dia hanya duduk manis di rumah dan tinggal nerima duit!"Cukup!Kesabaraanku hampir habis jika Inaya terus disudutkan. Entah apa yang terjadi pada ibu mertuaku karena sikapnya tiba-tiba berubah semenjak tahu aku mengalami kebangkrutan. Padahal dulu, tidak pernah sekalipun Mama Hera berbicara ketus padaku. Apa mungkin ia tidak terima karena sekarang menantunya ini miskin?"Sebenarnya maksud kedatangan Mama ke sini untuk apa?" tanyaku masih berusaha memendam emosi agar tidak meledak. Walau bagaimanapun, dia orang tua yang wajib aku hormati."Mama cuma mau melihat kondisi kalian yang sekarang. Miris sekali nasib kamu ya, Nak Dipta. Dikeluarkan dari perusahaan dan sama sekali tidak diberi modal untuk membuka usaha. Alhasil putri saya juga ikut menderita.""Maaf, lalu sekarang mau Mama apa?""Mau saya?" Dia menunjuk dirinya sendiri. "Saya hanya ingin Nak Dipta bersikap tegas. Jangan timpang sebelah. Masa Putri saya disuruh kerja tapi dia tidak?" Mama Hera menunjuk Inaya dengan dagunya. "Yang adil dong jadi suami!"Aku melirik Inaya yang tetap tenang. Dia sepertinya tidak terpengaruh oleh setiap kalimat bernada hinaan yang keluar dari mulut Mama Hera. Justru aku yang tidak terima karena istriku terus disudutkan. Mama Hera tidak tahu jika Inaya ikut bekerja keras untuk membantu perekonomian kami di saat ia pun harus menjaga Syafa."Inaya juga kerja. Istri pertama saya ini tidak berpangku tangan seperti yang Mama tuduhkan," sergahku."Kerja?" Mama Hera tertawa sinis. "Kerja apa? Bukannya dia hanya lulusan SMA? Mana bisa kerja di perusahaan besar seperti Dewi. Paling juga jadi OG," cibirnya."Tolong jangan menghina istri saya, Ma!" Aku tidak bisa lagi menahan emosi. Hampir saja aku kembali melontarkan kalimat dengan nada tinggi jika saja Inaya tidak menahan dengan memegang lenganku dan menggelengkan kepala."Saya memang tidak bekerja di perusahaan besar seperti Dewi. Tapi saya juga punya otak dan tenaga untuk membuat sesuatu yang bisa membantu perekonomian kami. Mungkin pendapatan saya tidak seberapa jika dibandingkan gaji putri Anda. Tapi saya pastikan, sepeserpun saya tidak akan pernah ikut mencicipi hasil kerja kerasnya." Begitu tenang Inaya berucap, membuatku kagum padanya. Istri pertamaku bisa mengelola emosinya dengan baik padahal Mama Hera sejak tadi berusaha memancing keributan dengannya."Saya memang bukan wanita yang berpendidikan tinggi, Nyonya. Tapi saya jamin, saya masih bisa bersaing dengan kalian yang mengaku berasal dari keluarga terhormat.""Apa maksud ucapanmu? Kamu menantang saya?""Tidak. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ternyata pendidikan formal seseorang tidak menjamin orang itu memiliki adab dan etika yang baik. Jika memang kalian memiliki dua hal tersebut, kalian pasti tidak akan meminta seorang pria beristri untuk menikahi putri kalian tanpa meminta izin kepada istrinya terlebih dahulu."Jaga ucapanmu!" Mama Hera menunjuk Inaya dengan wajah berang. Aku harus segera menyudahi perdebatan mereka agar Mama Hera tidak semakin lepas kendali dan bisa saja menyakiti istriku."Maaf, Ma. Saya mohon dengan sangat, Mama pulang saja. Jika memang maksud kedatangan Mama ke sini hanya untuk melihat kondisi kami sekarang, seharusnya Mama tidak terus menerus menghina istri saya dan jujur saya tidak terima!" Aku sedikit menaikkan nada bicara agar Mama Hera paham bahwa aku tersinggung.Benar kata Inaya bahwa pendidikan formal seseorang tidak menjamin orang tersebut mempunyai etika yang baik. Mungkin salah satunya adalah diriku yang memilih menikahi Dewi tanpa meminta izin kepada Inaya.Ya, jujur saja aku merasa tersindir oleh ucapan istriku tadi."Kasihan Dewi. Dia harus menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Saya jadi ragu apakah kamu memperlakukan putri saya dengan adil. Ternyata keputusan saya untuk meminta kamu menikahinya adalah salah."Mama Hera beranjak keluar rumah tanpa berpamitan. Aku biarkan saja karena itu lebih baik daripada ia terus memancing keributan.Aku menoleh ke arah Inaya yang masih duduk dengan tatapan kosong. Kugenggam jemarinya dan mengusapnya lembut."Kamu baik-baik saja?" tanyaku khawatir.Ia menoleh. Tidak ada senyuman. Hanya tatapan datar yang ia berikan padaku."Selama ini aku selalu berusaha untuk baik-baik saja. Hinaan dari mamanya Dewi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakitnya ketika dikhianati oleh orang yang dicintai," ucapnya menohok.Inaya melepaskan genggaman tanganku. Ia meninggalkanku yang masih terpaku setelah mendengar kalimat yang ia lontarkan.Berusaha baik-baik saja.Ya, Inaya berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya memendan kesakitan teramat dalam.Sepertinya semua ini harus segera diakhiri. Aku harus bicara pada Papa hari ini juga agar ia menghentikan rencananya. Aku tidak ingin Inaya menjadi sasaran kekecewaan mamanya Dewi yang seharusnya ditujukan padaku.**Bersambung."Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna. Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di r
Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
"Papa sudah mengetahui semuanya? Jadi ini alasan Papa memintaku berpura-pura bangkrut?""Duduklah dulu, Dip. Kalau bicara itu yang tenang."Aku menghela napas gusar. Bisa-bisanya Papa memintaku bersikap tenang setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya.Dipta yang bo doh!Mudah sekali diperdaya dan dibohongi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan kondisiku saat itu. Aku yang diserang panik tentu saja tidak bisa berpikir jernih, apalagi mencaritahu tentang alasan meninggalnya Papa Hadi. Setelah mendengar bahwa pria paruh baya tersebut dinyatakan meninggal, aku berpikir bahwa kecelakaan itulah yang menjadi penyebabnya.Sungguh! Aku merasa menjadi orang paling bo doh di muka bumi ini."Papa memang sudah mengetahui semuanya," kata Papa yang membuat emosiku hampir meledak. Bisa-bisanya Papa menyembunyikan hal penting seperti ini dariku. Beruntung Syafa tertidur dan aku meminta asisten rumah tangga di rumah Papa untuk menjaganya agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan pria yang saat
"Muka kamu kusut begitu? Lagi ada masalah?" Akbar tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu. Aku mendengkus tak suka dengan sikapnya yang satu ini. Main nyelonong seakan aku tidak punya privasi di ruanganku sendiri. "Kalau masuk itu ketuk pintu dulu!" Dia terkekeh. "Sorry, kebiasaan," jawabnya santai sembari duduk di sofa. "Jadi gimana? Mau cerita?" tanyanya lagi. "Maksudmu cerita apa?" kuhela napas berat sembari memijat pelipis yang terasa pening. "Ya ... masalahmu. Siapa tahu aku bisa membantu. Om Darma bilang kamu sudah tahu tentang alasan kematian mertuamu yang sebenarnya. Apa karena masalah itu?" "Jadi kamu juga tahu yang sebenarnya?" Akbar mengangguk. Lagi-lagi aku merasa menjadi orang paling bo doh karena hanya aku yang tidak tahu apa pun tentang hal sepenting itu. "Aku sudah tahu sejak dulu. Tapi kamu jangan marah." Akbar mengangkat kedua tangan. "Aku hanya mengikuti rencana papamu. Lantas bagaimana? Sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan kamu ambil ke depannya? A
"Nyonya Dewi bertemu dengan pria itu di sebuah Resto, Pak. Dan sampai sekarang mereka masih di sana.""Apa mereka hanya berdua?""Betul. Mereka hanya berdua.""Baiklah. Pantau terus mereka.""Siap, Pak."Kuhela napas gusar. Ternyata memang benar Dewi janjian bertemu dengan pria itu. Meski mereka hanya bertemu di Resto, tetap saja Dewi telah membohongiku karena dia sama sekali tidak meminta izin dariku. Dewi. Sepertinya dia mulai nyaman dengan pria bernama Ivan. Karena kalau tidak, ia pasti akan menolak ketika pria itu mengajaknya bertemu, apalagi tanpa sepengetahuan diriku. Tak sadar, tangan ini meremas pakaian yang belum kukenakan. Dewi mulai bermain api dengan memilih membohongiku dan menerima ajakan Ivan. Seharusnya, sebagai wanita bersuami, Dewi bisa menjaga nama baikku dengan tidak bertemu pria lain, apalagi hanya berdua."Mandinya sudah, Mas?"Aku terperanjat. Menoleh, Inaya sudah berdiri di belakangku sembari membawa segelas teh hangat. "Sudah, Sayang.""Kenapa bajunya belu
"Cukup, Mas! Jangan memukulinya!"Dewi terus berteriak saat aku menghajar Ivan dengan brutal. Ia nampak panik ketika Ivan sudah terkulai tak berdaya, sedangkan aku masih belum berhenti memberi pria itu pelajaran. Aku paling tidak suka jika milikku disentuh orang lain, apalagi mereka hampir saja melakukan perbuatan zina di dalam kamar ini. Beruntung aku cepat datang. Karena kalau tidak, Ivan pasti sudah menikmati tubuh istriku. Ah, membayangkannya saja aku jijik. Dengan tidak tahu malu, Dewi hampir saja menyerahkan diri kepada pria yang bukan suaminya. "Cukup, Pak! Jangan sampai dia mati dan Bapak masuk penjara."Dua orang anak buahku menahan lengan yang hampir saja melayangkan pukulan ke sekian kali. Aku terengah. Mengatur napas yang yang masih memburu akibat emosi yang tak terkendali. "Mas ...."Kutatap nyalang wajah Dewi yang memucat. Dia pasti tidak pernah menduga jika aku akan menyusulnya ke tempat ini. "Jadi ini alasan kamu mengajukan cuti? Bukan untuk beristirahat, melainka
"Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar
"Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah
Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu
"Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya
"Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya
"Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a
Lima bulan sudah Inaya terbaring koma di rumah sakit, dan selama itu pula hampir setiap malam aku menungguinya di sana. Aku selalu mengajaknya berbicara, menceritakan perkembangan putra-putri kami yang sangat membutuhkan kehadiran sosok ibunya. Syafa yang hampir setiap hari menanyakan sang Bunda, dan Aqlan yang terpaksa harus minum susu formula. Putra bungsuku itu dirawat oleh seorang Baby Sitter yang dipekerjakan sejak Aqlan keluar dari rumah sakit. Sesekali Ayah Wirya berkunjung ke rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Meski senyum tak pernah lepas dari bibir pria paruh baya itu, tetapi aku tahu, dalam hatinya menyimpan kesedihan yang teramat dalam sebab sang putri yang tak kunjung bangun dari koma. "Tadi Aqlan nangis. Dia gak mau ditinggal kakeknya. Syafa juga begitu. Dia merengek dan membujuk Ayah agar tidak pulang. Mereka sangat dekat dengan kedua kakeknya. Mas sampai kewalahan kalau sudah membujuk mereka, sama susahnya waktu Mas membujuk kamu yang sedang merajuk." Aku te
Tujuh hari setelah meninggalnya Mama Hera, pernikahan Dewi dan Ivan digelar di rumah mantan istriku tersebut. Sengaja mereka memajukan jadwal, sebab Ivan ingin segera memboyong Dewi ke hunian yang sudah ia sediakan. Orang tua Ivan yang belum pulang dari ibadah umroh hanya mengirimkan doa serta restu lewat telepon. Namun meski begitu, saudara angkat Ivan yang lain turut hadir di acara sakral kakak angkatnya tersebut. Tidak ada undangan maupun pesta mewah yang digelar, sebab Dewi yang meminta. Cukup keluarga inti dan beberapa orang tetangga dekat yang diberitahu untuk datang dan menyaksikan prosesi ijab qobul. "Cantik banget, sih." Kukecup pipi Inaya yang sedang mematut diri di depan cermin. Ya, atas undangan langsung dari kedua mempelai, aku dan Inaya turut datang untuk meyaksikan hari bahagia mereka. "Dari dulu juga sudah cantik." Dia menjawab sambil mencebikkan bibir. "Sejak kapan istri Mas jadi narsis begini?" Lagi, kukecup pipinya. "Tapi gak papa. Mas suka. Apalagi akhir-akhir
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu