Share

Bab 6

"Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini.

"Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut.

"Sekarang kamu kerja di mana?"

"Saya jadi driver taksi online."

Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya.

"Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya.

Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia seperti ragu untuk duduk di sana.

"Sofa-nya bersih kok, Ma," kataku sedikit kesal.

Ia akhirnya duduk meski terlihat tidak nyaman. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya ketika ia beberapa kali merubah posisi duduk.

"Sebentar, aku mau meminta Inaya untuk membuatkan minum." Namun, baru saja aku membalikan badan, Inaya muncul dari arah dapur dengan membawa nampan di tangannya.

"Aku sudah membuatkan minum untuk Nyonya Hera," ucapnya sembari meletakkan minuman tersebut ke atas meja. "Silakan, Nyonya," ujarnya sopan, kemudian mengambil tempat duduk di sebelahku setelah aku memberinya isyarat.

"Terima kasih." Jawaban Mama Hera terdengar ketus. "Jadi kalian hanya berdua di rumah? Memangnya Nak Dipta gak berangkat kerja?"

"Sebentar lagi saya berangkat, Ma. Agak siangan."

"Enak dong, ya. Dewi cape-cape kerja bantu suaminya ... eh kalian malah berduaan. Memangnya istri pertama Nak Dipta ini gak punya inisiatif seperti Dewi buat cari kerja? Masa dia hanya duduk manis di rumah dan tinggal nerima duit!"

Cukup!

Kesabaraanku hampir habis jika Inaya terus disudutkan. Entah apa yang terjadi pada ibu mertuaku karena sikapnya tiba-tiba berubah semenjak tahu aku mengalami kebangkrutan. Padahal dulu, tidak pernah sekalipun Mama Hera berbicara ketus padaku. Apa mungkin ia tidak terima karena sekarang menantunya ini miskin?

"Sebenarnya maksud kedatangan Mama ke sini untuk apa?" tanyaku masih berusaha memendam emosi agar tidak meledak. Walau bagaimanapun, dia orang tua yang wajib aku hormati.

"Mama cuma mau melihat kondisi kalian yang sekarang. Miris sekali nasib kamu ya, Nak Dipta. Dikeluarkan dari perusahaan dan sama sekali tidak diberi modal untuk membuka usaha. Alhasil putri saya juga ikut menderita."

"Maaf, lalu sekarang mau Mama apa?"

"Mau saya?" Dia menunjuk dirinya sendiri. "Saya hanya ingin Nak Dipta bersikap tegas. Jangan timpang sebelah. Masa Putri saya disuruh kerja tapi dia tidak?" Mama Hera menunjuk Inaya dengan dagunya. "Yang adil dong jadi suami!"

Aku melirik Inaya yang tetap tenang. Dia sepertinya tidak terpengaruh oleh setiap kalimat bernada hinaan yang keluar dari mulut Mama Hera. Justru aku yang tidak terima karena istriku terus disudutkan. Mama Hera tidak tahu jika Inaya ikut bekerja keras untuk membantu perekonomian kami di saat ia pun harus menjaga Syafa.

"Inaya juga kerja. Istri pertama saya ini tidak berpangku tangan seperti yang Mama tuduhkan," sergahku.

"Kerja?" Mama Hera tertawa sinis. "Kerja apa? Bukannya dia hanya lulusan SMA? Mana bisa kerja di perusahaan besar seperti Dewi. Paling juga jadi OG," cibirnya.

"Tolong jangan menghina istri saya, Ma!" Aku tidak bisa lagi menahan emosi. Hampir saja aku kembali melontarkan kalimat dengan nada tinggi jika saja Inaya tidak menahan dengan memegang lenganku dan menggelengkan kepala.

"Saya memang tidak bekerja di perusahaan besar seperti Dewi. Tapi saya juga punya otak dan tenaga untuk membuat sesuatu yang bisa membantu perekonomian kami. Mungkin pendapatan saya tidak seberapa jika dibandingkan gaji putri Anda. Tapi saya pastikan, sepeserpun saya tidak akan pernah ikut mencicipi hasil kerja kerasnya." Begitu tenang Inaya berucap, membuatku kagum padanya. Istri pertamaku bisa mengelola emosinya dengan baik padahal Mama Hera sejak tadi berusaha memancing keributan dengannya.

"Saya memang bukan wanita yang berpendidikan tinggi, Nyonya. Tapi saya jamin, saya masih bisa bersaing dengan kalian yang mengaku berasal dari keluarga terhormat."

"Apa maksud ucapanmu? Kamu menantang saya?"

"Tidak. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ternyata pendidikan formal seseorang tidak menjamin orang itu memiliki adab dan etika yang baik. Jika memang kalian memiliki dua hal tersebut, kalian pasti tidak akan meminta seorang pria beristri untuk menikahi putri kalian tanpa meminta izin kepada istrinya terlebih dahulu.

"Jaga ucapanmu!" Mama Hera menunjuk Inaya dengan wajah berang. Aku harus segera menyudahi perdebatan mereka agar Mama Hera tidak semakin lepas kendali dan bisa saja menyakiti istriku.

"Maaf, Ma. Saya mohon dengan sangat, Mama pulang saja. Jika memang maksud kedatangan Mama ke sini hanya untuk melihat kondisi kami sekarang, seharusnya Mama tidak terus menerus menghina istri saya dan jujur saya tidak terima!" Aku sedikit menaikkan nada bicara agar Mama Hera paham bahwa aku tersinggung.

Benar kata Inaya bahwa pendidikan formal seseorang tidak menjamin orang tersebut mempunyai etika yang baik. Mungkin salah satunya adalah diriku yang memilih menikahi Dewi tanpa meminta izin kepada Inaya.

Ya, jujur saja aku merasa tersindir oleh ucapan istriku tadi.

"Kasihan Dewi. Dia harus menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Saya jadi ragu apakah kamu memperlakukan putri saya dengan adil. Ternyata keputusan saya untuk meminta kamu menikahinya adalah salah."

Mama Hera beranjak keluar rumah tanpa berpamitan. Aku biarkan saja karena itu lebih baik daripada ia terus memancing keributan.

Aku menoleh ke arah Inaya yang masih duduk dengan tatapan kosong. Kugenggam jemarinya dan mengusapnya lembut.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

Ia menoleh. Tidak ada senyuman. Hanya tatapan datar yang ia berikan padaku.

"Selama ini aku selalu berusaha untuk baik-baik saja. Hinaan dari mamanya Dewi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakitnya ketika dikhianati oleh orang yang dicintai," ucapnya menohok.

Inaya melepaskan genggaman tanganku. Ia meninggalkanku yang masih terpaku setelah mendengar kalimat yang ia lontarkan.

Berusaha baik-baik saja.

Ya, Inaya berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya memendan kesakitan teramat dalam.

Sepertinya semua ini harus segera diakhiri. Aku harus bicara pada Papa hari ini juga agar ia menghentikan rencananya. Aku tidak ingin Inaya menjadi sasaran kekecewaan mamanya Dewi yang seharusnya ditujukan padaku.

*

*

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rindhie
Dipta, kamu bilang Inaya menempati tahta tertinggi di hatimu, tp kamu selalu memuji dan kagum sm Dewi .. Impossible
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status