"Ini rumahnya. Kebetulan kamarnya hanya ada dua. Nanti, silakan kalian tentukan mau menempati kamar yang mana."
Kedua istriku menatap sekeliling. Memperhatikan isi rumah yang terbilang sangat sederhana.Aku sengaja membeli rumah ini atas saran dari Papa. Ingin melihat apakah kedua istriku akan nyaman tinggal di rumah seperti ini yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah yang kami tempati sebelumnya."Mbak Naya mau kamar yang mana?" tanya Dewi menatap kakak madunya."Silakan kamu yang tentukan. Aku tidak masalah menempati kamar yang mana saja," jawab Inaya dengan tenang. Ah, istri pertamaku itu selalu saja pasrah dan mengalah jika aku sedang memberi mereka pilihan."Kalau begitu aku akan menempati kamar depan. Gak papa kan, Mbak?""Ya, terserah kamu saja."Sebenarnya kedua kamar itu bersebelahan. Hanya saja, kamar depan ukurannya memang lebih besar jika dibandingkan dengan kamar yang satunya.Seharusnya, Inaya dan Syafa yang menempati kamar itu karena nantinya kami akan tidur bertiga. Namun, aku biarkan saja kalau mereka sudah memutuskan pilihan masing-masing tanpa ada perdebatan."Sekarang kalian istirahat. Mas mau keluar dulu sebentar. Nanti malam tidak usah masak. Mas akan bawakan makanan untuk kalian," ujarku sembari menatap kedua istriku bergantian."Mas mau ke mana?" Dewi yang bertanya."Mas ada urusan, kemungkinan sampai malam. Kalian baik-baik di rumah, ya."Keduanya mengangguk."Kalau begitu aku permisi ke kamar dulu. Mau menidurkan Syafa," pamit Inaya."Biar Mas yang bawa Syafa ke kamar. Kamu bawa koper saja," titahku sembari mengambil Syafa dari gendongan Inaya. Kemudian menuju kamar yang akan ditempati istri pertamaku bersama putri kami.Sebelum benar-benar masuk, kusempatkan menoleh ke arah Dewi yang sedang menatap ke arahku. Kuanggukkan kepala sebagai kode agar dia masuk ke kamar yang sudah dipilihnya."Mau dibawakan makanan apa?" tanyaku setelah meletakkan tubuh putriku ke atas tempat tidur. Kuhampiri Inaya yang sedang membuka koper dan mengeluarkan isinya."Apa saja," jawabnya tanpa menoleh. Tetap fokus mengeluarkan pakaian dan menatanya ke dalam lemari."Ayam bakar, mau? Itu kan makanan kesukaan kamu.""Ya. Itu saja." Lagi, Inaya menjawab singkat tanpa menoleh.Ah, aku makin dibuat takut oleh sikap Inaya. Kecurigaanku tentang dia yang kemungkinan akan meninggalkanku setelah tahu aku bangkrut saat ini makin menguat.Apakah penilaianku selama ini terhadapnya ternyata salah? Inaya yang aku kira mempunyai kemungkinan terbesar untuk bertahan, justru menyerah dan memilih pergi daripada harus hidup dalam kemiskinan?"Malam ini Mas tidur di sini."Inaya mengangguk."Nay ...." Aku mendesah lelah. Sikapnya yang seperti ini sungguh membuatku tidak nyaman.Dulu, Inaya sering kali mengajakku berbicara lebih dulu, dan tak jarang bertingkah manja ketika kami sedang berdua. Inaya pandai memuaskanku dalam hal apa pun. Bukan hanya urusan perut, ia juga pandai memuaskanku dalam urusan ranjang.Jika Inaya sesempurna itu, mengapa aku menikah lagi dengan Dewi? Jawabannya karena aku harus bertanggung jawab atas dirinya setelah ayahnya meninggal.Kecelakaan yang dialami orang tua Dewi karena aku penyebabnya. Mobil kami bertabrakan dan naasnya kondisi ayahnya sangat parah. Beruntung ibunya Dewi masih bisa diselamatkan berbeda dengan ayahnya yang menghembuskan napas terakhir setelah menitipkan putrinya padaku.Aku tidak punya pilihan lain. Bukan karena takut mendekam di balik jeruji besi, tetapi rasa kasihan melihat Dewi dan ibunya yang harus kehilangan kepala keluarga, membuatku mengambil keputusan besar hari itu juga.Ya, aku menikahinya di rumah sakit, di depan jenazah ayahnya Dewi. Aku tidak sempat memberitahu Inaya maupun orang tuaku karena keadaannya saat itu sangatlah mendesak.Inaya.Awalnya istri pertamaku seperti enggan menerima kehadiran Dewi di tengah-tengah kami. Namun setelah aku memberitahu alasan mengapa aku menikahi adik madunya tersebut, Inaya berbesar hati menerima, meski setelah itu, sikapnya benar-benar berubah menjadi lebih pendiam.Ah, entah dengan cara apa agar aku bisa mengembalikan Inaya yang dulu. Jujur saja aku sangat merindukan saat-saat ketika Inaya bersikap hangat padaku."Mas pergi dulu," pamitku dan beranjak keluar kamar, meninggalkan Inaya yang hanya merespon dengan anggukkan.❤️❤️❤️"Bagaimana? Istri-istrimu tidak syok melihat rumah yang kamu beli?" tanya Papa.Setelah berpamitan kepada kedua istriku, aku menuju ke rumah Papa untuk membicarakan perihal rencananya yang menurutku kurang masuk akal.Papa hanya mengatakan alasannya bahwa ia ingin menguji kedua istriku. Namun, aku menebak ada sesuatu yang Papa sembunyikan dibalik rencananya itu."Tidak. Mereka terlihat biasa-biasa saja." Aku berkata apa adanya. Baik Inaya maupun Dewi tidak ada yang merespon secara berlebihan."Boleh aku tahu kenapa Papa merencanakan hal seperti ini? Apa benar hanya karena ingin menguji kesetiaan kedua istriku?" tanyaku mulai menyelidik."Ya, hanya karena itu. Memangnya kenapa? Apa kamu berpikiran Papa punya alasan lain?""Mungkin saja." Aku mengangkat bahu. "Karena menurutku rencana Papa kurang masuk akal. Bukankah Papa tahu sendiri baik Inaya maupun Dewi tidak ada yang pernah berbuat macam-macam? Mereka istri yang baik. Bahkan Papa sangat menyayangi Inaya. Lalu, untuk apa kita harus menguji mereka?" cecarku.Terlihat Papa menghembuskan napas kasar. "Kita lihat saja nanti. Kamu akan tahu jawabannya setelah Papa bisa membuktikan bahwa rencana ini akan sangat berguna untukmu."Ah, lagi-lagi aku dibuat bingung oleh perkataan Papa."Kadang, apa yang terlihat sempurna dari luar bisa saja sebaliknya. Jangan terkecoh, Dipta. Atau kamu akan menyesal nantinya," imbuhnya terdengar serius.**Bersambung."Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana. "Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu.""Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat." Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini. Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar
"Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini. Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu. Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku. "Mas mau sarapan apa?" Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya. "Kamu mau nyari sarap
"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka. "Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan. "Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi. Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya. "Saya jadi driver taksi online.""Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana." "Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun. "Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu. Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip se
"Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini."Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut. "Sekarang kamu kerja di mana?" "Saya jadi driver taksi online."Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya. "Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya. Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia sepe
"Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna. Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di r
Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap