"Ini rumahnya. Kebetulan kamarnya hanya ada dua. Nanti, silakan kalian tentukan mau menempati kamar yang mana."
Kedua istriku menatap sekeliling. Memperhatikan isi rumah yang terbilang sangat sederhana.Aku sengaja membeli rumah ini atas saran dari Papa. Ingin melihat apakah kedua istriku akan nyaman tinggal di rumah seperti ini yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah yang kami tempati sebelumnya."Mbak Naya mau kamar yang mana?" tanya Dewi menatap kakak madunya."Silakan kamu yang tentukan. Aku tidak masalah menempati kamar yang mana saja," jawab Inaya dengan tenang. Ah, istri pertamaku itu selalu saja pasrah dan mengalah jika aku sedang memberi mereka pilihan."Kalau begitu aku akan menempati kamar depan. Gak papa kan, Mbak?""Ya, terserah kamu saja."Sebenarnya kedua kamar itu bersebelahan. Hanya saja, kamar depan ukurannya memang lebih besar jika dibandingkan dengan kamar yang satunya.Seharusnya, Inaya dan Syafa yang menempati kamar itu karena nantinya kami akan tidur bertiga. Namun, aku biarkan saja kalau mereka sudah memutuskan pilihan masing-masing tanpa ada perdebatan."Sekarang kalian istirahat. Mas mau keluar dulu sebentar. Nanti malam tidak usah masak. Mas akan bawakan makanan untuk kalian," ujarku sembari menatap kedua istriku bergantian."Mas mau ke mana?" Dewi yang bertanya."Mas ada urusan, kemungkinan sampai malam. Kalian baik-baik di rumah, ya."Keduanya mengangguk."Kalau begitu aku permisi ke kamar dulu. Mau menidurkan Syafa," pamit Inaya."Biar Mas yang bawa Syafa ke kamar. Kamu bawa koper saja," titahku sembari mengambil Syafa dari gendongan Inaya. Kemudian menuju kamar yang akan ditempati istri pertamaku bersama putri kami.Sebelum benar-benar masuk, kusempatkan menoleh ke arah Dewi yang sedang menatap ke arahku. Kuanggukkan kepala sebagai kode agar dia masuk ke kamar yang sudah dipilihnya."Mau dibawakan makanan apa?" tanyaku setelah meletakkan tubuh putriku ke atas tempat tidur. Kuhampiri Inaya yang sedang membuka koper dan mengeluarkan isinya."Apa saja," jawabnya tanpa menoleh. Tetap fokus mengeluarkan pakaian dan menatanya ke dalam lemari."Ayam bakar, mau? Itu kan makanan kesukaan kamu.""Ya. Itu saja." Lagi, Inaya menjawab singkat tanpa menoleh.Ah, aku makin dibuat takut oleh sikap Inaya. Kecurigaanku tentang dia yang kemungkinan akan meninggalkanku setelah tahu aku bangkrut saat ini makin menguat.Apakah penilaianku selama ini terhadapnya ternyata salah? Inaya yang aku kira mempunyai kemungkinan terbesar untuk bertahan, justru menyerah dan memilih pergi daripada harus hidup dalam kemiskinan?"Malam ini Mas tidur di sini."Inaya mengangguk."Nay ...." Aku mendesah lelah. Sikapnya yang seperti ini sungguh membuatku tidak nyaman.Dulu, Inaya sering kali mengajakku berbicara lebih dulu, dan tak jarang bertingkah manja ketika kami sedang berdua. Inaya pandai memuaskanku dalam hal apa pun. Bukan hanya urusan perut, ia juga pandai memuaskanku dalam urusan ranjang.Jika Inaya sesempurna itu, mengapa aku menikah lagi dengan Dewi? Jawabannya karena aku harus bertanggung jawab atas dirinya setelah ayahnya meninggal.Kecelakaan yang dialami orang tua Dewi karena aku penyebabnya. Mobil kami bertabrakan dan naasnya kondisi ayahnya sangat parah. Beruntung ibunya Dewi masih bisa diselamatkan berbeda dengan ayahnya yang menghembuskan napas terakhir setelah menitipkan putrinya padaku.Aku tidak punya pilihan lain. Bukan karena takut mendekam di balik jeruji besi, tetapi rasa kasihan melihat Dewi dan ibunya yang harus kehilangan kepala keluarga, membuatku mengambil keputusan besar hari itu juga.Ya, aku menikahinya di rumah sakit, di depan jenazah ayahnya Dewi. Aku tidak sempat memberitahu Inaya maupun orang tuaku karena keadaannya saat itu sangatlah mendesak.Inaya.Awalnya istri pertamaku seperti enggan menerima kehadiran Dewi di tengah-tengah kami. Namun setelah aku memberitahu alasan mengapa aku menikahi adik madunya tersebut, Inaya berbesar hati menerima, meski setelah itu, sikapnya benar-benar berubah menjadi lebih pendiam.Ah, entah dengan cara apa agar aku bisa mengembalikan Inaya yang dulu. Jujur saja aku sangat merindukan saat-saat ketika Inaya bersikap hangat padaku."Mas pergi dulu," pamitku dan beranjak keluar kamar, meninggalkan Inaya yang hanya merespon dengan anggukkan.❤️❤️❤️"Bagaimana? Istri-istrimu tidak syok melihat rumah yang kamu beli?" tanya Papa.Setelah berpamitan kepada kedua istriku, aku menuju ke rumah Papa untuk membicarakan perihal rencananya yang menurutku kurang masuk akal.Papa hanya mengatakan alasannya bahwa ia ingin menguji kedua istriku. Namun, aku menebak ada sesuatu yang Papa sembunyikan dibalik rencananya itu."Tidak. Mereka terlihat biasa-biasa saja." Aku berkata apa adanya. Baik Inaya maupun Dewi tidak ada yang merespon secara berlebihan."Boleh aku tahu kenapa Papa merencanakan hal seperti ini? Apa benar hanya karena ingin menguji kesetiaan kedua istriku?" tanyaku mulai menyelidik."Ya, hanya karena itu. Memangnya kenapa? Apa kamu berpikiran Papa punya alasan lain?""Mungkin saja." Aku mengangkat bahu. "Karena menurutku rencana Papa kurang masuk akal. Bukankah Papa tahu sendiri baik Inaya maupun Dewi tidak ada yang pernah berbuat macam-macam? Mereka istri yang baik. Bahkan Papa sangat menyayangi Inaya. Lalu, untuk apa kita harus menguji mereka?" cecarku.Terlihat Papa menghembuskan napas kasar. "Kita lihat saja nanti. Kamu akan tahu jawabannya setelah Papa bisa membuktikan bahwa rencana ini akan sangat berguna untukmu."Ah, lagi-lagi aku dibuat bingung oleh perkataan Papa."Kadang, apa yang terlihat sempurna dari luar bisa saja sebaliknya. Jangan terkecoh, Dipta. Atau kamu akan menyesal nantinya," imbuhnya terdengar serius.**Bersambung."Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana. "Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu.""Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat." Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini. Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar
"Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini. Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu. Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku. "Mas mau sarapan apa?" Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya. "Kamu mau nyari sarap
"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka. "Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan. "Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi. Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya. "Saya jadi driver taksi online.""Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana." "Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun. "Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu. Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip se
"Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini."Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut. "Sekarang kamu kerja di mana?" "Saya jadi driver taksi online."Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya. "Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya. Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia sepe
"Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna. Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di r
Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
"Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar
"Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah
Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu
"Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya
"Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya
"Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a
Lima bulan sudah Inaya terbaring koma di rumah sakit, dan selama itu pula hampir setiap malam aku menungguinya di sana. Aku selalu mengajaknya berbicara, menceritakan perkembangan putra-putri kami yang sangat membutuhkan kehadiran sosok ibunya. Syafa yang hampir setiap hari menanyakan sang Bunda, dan Aqlan yang terpaksa harus minum susu formula. Putra bungsuku itu dirawat oleh seorang Baby Sitter yang dipekerjakan sejak Aqlan keluar dari rumah sakit. Sesekali Ayah Wirya berkunjung ke rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Meski senyum tak pernah lepas dari bibir pria paruh baya itu, tetapi aku tahu, dalam hatinya menyimpan kesedihan yang teramat dalam sebab sang putri yang tak kunjung bangun dari koma. "Tadi Aqlan nangis. Dia gak mau ditinggal kakeknya. Syafa juga begitu. Dia merengek dan membujuk Ayah agar tidak pulang. Mereka sangat dekat dengan kedua kakeknya. Mas sampai kewalahan kalau sudah membujuk mereka, sama susahnya waktu Mas membujuk kamu yang sedang merajuk." Aku te
Tujuh hari setelah meninggalnya Mama Hera, pernikahan Dewi dan Ivan digelar di rumah mantan istriku tersebut. Sengaja mereka memajukan jadwal, sebab Ivan ingin segera memboyong Dewi ke hunian yang sudah ia sediakan. Orang tua Ivan yang belum pulang dari ibadah umroh hanya mengirimkan doa serta restu lewat telepon. Namun meski begitu, saudara angkat Ivan yang lain turut hadir di acara sakral kakak angkatnya tersebut. Tidak ada undangan maupun pesta mewah yang digelar, sebab Dewi yang meminta. Cukup keluarga inti dan beberapa orang tetangga dekat yang diberitahu untuk datang dan menyaksikan prosesi ijab qobul. "Cantik banget, sih." Kukecup pipi Inaya yang sedang mematut diri di depan cermin. Ya, atas undangan langsung dari kedua mempelai, aku dan Inaya turut datang untuk meyaksikan hari bahagia mereka. "Dari dulu juga sudah cantik." Dia menjawab sambil mencebikkan bibir. "Sejak kapan istri Mas jadi narsis begini?" Lagi, kukecup pipinya. "Tapi gak papa. Mas suka. Apalagi akhir-akhir
"Alhamdulillah, kondisi Papa makin membaik. Untuk sementara Papa tinggal dulu bersama kami sampai benar-benar pulih," kata Inaya.Istriku sedang menyuapi Papa yang nanti siang sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sedangkan aku menyaksikan percakapan mertua dan menantu itu di sofa yang tidak jauh dari mereka. "Papa tidak mau merepotkan kalian. Kan ada Bi Asih dan Mang Ujang yang menemani Papa di rumah.""Siapa yang merasa direpotkan? Aku malah senang bisa merawat Papa. Pokoknya Papa harus tinggal bersama kami sampai benar-benar sembuh dan tidak ada penolakan," tegas istriku. "Baiklah, Nak. Papa ikut bagaimana baiknya saja. Bagaimana kandungan kamu? Sudah diperiksa lagi?" "Alhamdulillah calon cucu Papa sehat. Belum sih, Pa. Jadwal periksanya Minggu depan.""Syukurlah. Lalu bagaimana dengan suamimu? Apa dia berbuat ulah lagi?" "Papa kok nanya begitu?" Kali ini, aku ikut bicara."Ya ... siapa tahu kamu buat ulah lagi. Biasanya kalau tidak ada Papa, kan tidak ada yang mengawasi kamu