"Ada yang ingin Mas bicarakan pada kalian berdua."
Inaya dan Dewi mendekat. Mereka duduk di sofa panjang tepat berseberangan dengan tempatku duduk saat ini."Apa yang ingin Mas bicarakan?" Dewi bertanya dengan ekspresi bingung. Ini kali pertama aku berbicara pada kedua istriku dalam waktu bersamaan. Sedangkan Inaya tetap diam. Hanya matanya yang menatapku begitu lekat. Ah, Inaya memang menjadi lebih pendiam semenjak aku memutuskan berpoligami. Ia tidak pernah menolak atau protes akan niatku itu. Akan tetapi, perubahan sikapnya selama satu tahun ini telah menjelaskan semuanya. Inaya menyimpan lukanya sendirian dan berusaha menyembunyikannya dariku."Mas bangkrut," ucapku dalam satu kali tarikan napas.Inaya dan Dewi saling tatap. Keduanya belum ada yang membuka suara hingga aku memutuskan untuk melanjutkan bicara."Perusahaan mengalami kerugian besar. Mas terlilit hutang dan harus membayar gaji pekerja. Semua aset kita disita termasuk rumah dan kendaraan. Sekarang perusahaan diambil alih oleh Akbar. Papa memberhentikan Mas karena dianggap tidak becus menjalankannya. Maaf, mulai besok, kita harus keluar dari rumah ini.""A-apa sampai separah itu, Mas? Papa sama sekali tidak mau membantu Mas? Bukankah perusahaan itu milik keluarga? Kenapa semuanya harus dilimpahkan sama Mas?" cecar Dewi yang sepertinya tidak terima. Memang, perusahaan yang aku kelola adalah milik keluarga. Akan tetapi, tentu saja aku yang harus bertanggung jawab karena aku lah yang menjadi pemimpin di sana. Segala resiko harus aku tanggung sendiri jika sampai terjadi hal seperti ini."Wi, kamu pasti mengerti bagaimana posisi Mas. Papa tidak akan pernah mau membantu karena memang ini semua tanggung jawab Mas. Sekarang Mas minta, kemasi barang-barang kalian. Kita akan pindah ke rumah yang sudah Mas beli tidak jauh dari sini. Tapi maaf jika nanti kalian kecewa karena rumah itu sangat jauh berbeda dengan rumah yang kita tempati sekarang," tuturku sembari menatap kedua istriku bergantian. Inaya hanya mengangguk sedangkan Dewi masih diam tanpa memberi respon."Kalau sudah tidak ada yang akan Mas bicarakan lagi, aku permisi ke kamar. Kasihan Syafa kalau harus ditinggal sendirian.""Iya. Hanya itu yang mau Mas bicarakan. Istirahatlah karena besok kita harus bangun pagi-pagi."Inaya beranjak menuju kamar di lantai bawah. Memang, semenjak aku berpoligami, Istri pertamaku tidak mau tidur di kamar atas dengan alasan Syafa yang sudah mulai aktif. Aku berpura-pura percaya saja meski sebenarnya diri ini tahu alasan yang sebenarnya. Inaya tidak ingin bersebelahan dengan kamar adik madunya.Dewi pun beranjak tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku paham pasti ia tengah kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Rencana ini sudah kususun rapi bersama Papa. Tidak mungkin aku batalkan hanya karena istriku yang merajuk.Entah apa yang ada di pikiran Papa hingga memberiku ide gila seperti ini. Ia memintaku untuk berpura-pura bangkrut demi menguji kesetiaan kedua istriku. Ah, Papa memang ada-ada saja. Namun, tak ayal aku melakukannya karena memang diri ini pun ingin tahu sejauh mana kedua istriku bisa bersabar dalam menghadapi ujian kemiskinan."Kita lihat siapa yang lebih setia." Itu kata Papa.🌺🌺🌺🌺"Masih berkemas?"Inaya terperanjat ketika aku memasuki kamar kami. Tangan yang tengah memasukkan pakaian ke dalam koper sempat terhenti."Iya, Mas. Ini belum selesai. Tinggal memasukkan baju-bajunya Syafa," jawabnya sambil meneruskan mengemas pakaian. Perlahan, aku mendekat. Duduk di bibir ranjang sambil memperhatikan dia yang sepertinya tidak nyaman akan kehadiranku."Nay, apa kamu kecewa karena Mas bangkrut?"Inaya menatapku sejenak, lalu menggelengkan kepalanya perlahan tanpa menjawab."Maaf karena Mas tidak bisa membahagiakan kamu. Mas hanya bisa memberimu luka dan penderitaan dalam pernikahan ini. Tapi Mas harap, kamu jangan menyerah. Tetaplah bersama Mas sampai maut memisahkan kita. Mas berjanji akan berusaha memperbaiki semuanya meski kondisi kita tak lagi seperti dulu."Inaya mengulas senyum. Mata indahnya menatapku lekat sebelum mengatakan sesuatu yang mampu memunculkan ketakutan pada diri ini."Aku akan selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas dalam kondisi apa pun. Aku akan bertahan tapi maaf entah sampai kapan.""Maksudnya?""Aku akan pergi ketika diri ini sudah mulai lelah."Aku terdiam. Jawaban Inaya membuatku tak berkutik. Sebegitu besarnya luka yang aku beri hingga dia ingin meninggalkanku? Atau ... Karena aku bangkrut dia tak ingin lagi mendampingiku?"Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Malam ini waktunya Abang bersama Dewi, kan?"Aku mengangguk sebagai jawaban. Dengan berat, kulangkahkan kaki ini keluar kamar menuju kamarku yang lain. Begitu pintu kubuka, Dewi tengah duduk di depan meja rias sambil membereskan beberapa kosmetik miliknya."Belum tidur?""Sebentar lagi.""Mau Mas bantu?""Gak usah, tinggal ini saja kok."Aku duduk di bibir ranjang. Memperhatikan raut wajahnya yang nampak murung. Pasti karena mendengar berita kebangkrutanku."Kamu marah sama Mas?"Dewi menghentikan sejenak kegiatannya, kemudian menggelengkan kepala."Maaf karena Mas tidak bisa menjadi suami yang baik. Mas harus kehilangan semuanya karena kecerobohan Mas. Tapi Mas minta, kamu tetaplah di samping Mas. Kamu itu penyemangat yang selalu membuat hari-hari Mas berwarna. Berjanjilah tidak akan meninggalkan Mas."Inaya berdiri kemudian menghampiriku. Duduk bersebelahan sambil memegang lenganku."Aku akan berusaha untuk tetap di samping Mas meski keadaan kita tak lagi seperti dulu. Mas jangan menyerah. Aku yakin Mas akan bisa bangkit kembali."Ah, aku lega mendengarnya. Dewi memang lebih pengertian jika dibanding Inaya. Untuk ujian yang pertama, aku memberi mereka skor 1 untuk Dewi dan 0 untuk Inaya karena mempunyai niat untuk meninggalkanku.**Bersambung."Ini rumahnya. Kebetulan kamarnya hanya ada dua. Nanti, silakan kalian tentukan mau menempati kamar yang mana."Kedua istriku menatap sekeliling. Memperhatikan isi rumah yang terbilang sangat sederhana. Aku sengaja membeli rumah ini atas saran dari Papa. Ingin melihat apakah kedua istriku akan nyaman tinggal di rumah seperti ini yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah yang kami tempati sebelumnya. "Mbak Naya mau kamar yang mana?" tanya Dewi menatap kakak madunya. "Silakan kamu yang tentukan. Aku tidak masalah menempati kamar yang mana saja," jawab Inaya dengan tenang. Ah, istri pertamaku itu selalu saja pasrah dan mengalah jika aku sedang memberi mereka pilihan. "Kalau begitu aku akan menempati kamar depan. Gak papa kan, Mbak?""Ya, terserah kamu saja."Sebenarnya kedua kamar itu bersebelahan. Hanya saja, kamar depan ukurannya memang lebih besar jika dibandingkan dengan kamar yang satunya. Seharusnya, Inaya dan Syafa yang menempati kamar itu karena nantinya kami a
"Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana. "Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu.""Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat." Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini. Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar
"Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini. Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu. Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku. "Mas mau sarapan apa?" Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya. "Kamu mau nyari sarap
"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka. "Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan. "Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi. Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya. "Saya jadi driver taksi online.""Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana." "Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun. "Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu. Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip se
"Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini."Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut. "Sekarang kamu kerja di mana?" "Saya jadi driver taksi online."Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya. "Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya. Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia sepe
"Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna. Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di r
Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari