"Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana.
"Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu.""Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat."Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini.Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar tidak bersinggungan dengan Dewi."Kalau begitu kamu pindahkan saja dulu makanan ini ke piring. Mas mau melihat dia dulu."Dewi mengangguk. Ia bergegas ke dapur setelah aku menyerahkan bungkusan makanan yang kubawa tadi.Pintu kamar Inaya kubuka perlahan. Beruntung tidak dikunci karena sepertinya Inaya masih ingat bahwa malam ini adalah jatahku bersamanya.Benar saja, istri dan putriku sudah terlelap. Aku jadi tidak tega untuk membangunkan mereka. Kuputuskan untuk keluar kamar lagi dan menghampiri Dewi. Biarlah makanan milik Inaya aku simpan saja untuk besok pagi."Benar Mbak Inaya sudah tidur?""Sudah. Sepertinya dia memang sangat kelelahan. Kita langsung makan saja, ya. Kasihan kamu kalau tidur terlalu malam."Dewi menyiapkan dua piring berisi nasi dan lauk yang aku beli. Sedangkan untuk Inaya, aku meminta Dewi menyimpannya saja di atas meja dan menutupnya dengan tudung saji.Selama kami makan, mata ini tak lepas memperhatikan Dewi yang lahap menyantap makanan miliknya. Istri keduaku tidak mempermasalahkan ketika aku mengatakan bahwa nasi beserta ayam goreng yang kubawa dibeli dari pedagang yang biasa mangkal di pinggir jalan raya.Ah, makin kagum saja aku dibuatnya. Sepertinya Dewi sudah bisa menerima kondisiku saat ini."Mas kok malah ngeliatin aku?"Aku tersenyum canggung. Rupanya dia menyadari jika aku sedang memperhatikannya."Kamu makan lahap sekali. Mas jadi kenyang hanya dengan melihat kamu makan," kelakarku yang membuatnya tersipu."Habisnya aku lapar banget," cicitnya."Gak papa. Mas malah senang melihatnya. Terima kasih, ya. Kamu mau menerima kondisi kita yang seperti ini. Mas janji akan bekerja dengan giat supaya kita bisa hidup layak lagi seperti dulu.""Sama-sama, Mas. Sudah kewajibanku sebagai istri yang harus tetap berada di samping suami dalam kondisi apa pun."Ucapan Dewi membuatku terharu. Kugeser tubuh mendekat padanya, kemudian kuraih tubuhnya ke dalam pelukan. "Sekali lagi terima kasih, Sayang." Kukecup keningnya cukup lama.Dewi mendongak hingga wajah kami hanya berjarak beberapa inchi saja. Tatapan matanya yang sayu seakan menghipnotis diri ini. Aku paham arti tatapan tersebut. Namun, aku tidak bisa melakukannya dengan Dewi sekarang karena malam ini adalah jatahku bersama Inaya."Jangan malam ini, Sayang. Tunggu tiga hari lagi," bisikku tepat di depan wajahnya.Dia terlihat kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Aku akan menzolimi Inaya jika sampai melakukan hubungan suami istri dengan Dewi di saat jatahku bersamanya. Meski aku bukanlah orang yang paham agama, tetapi aku selalu mempelajari ilmu tentang poligami agar aku bisa berlaku adil terhadap kedua istriku."Padahal lagi kepengen banget," cebiknya seraya memainkan kancing kemeja yang kupakai."Sabar. Nanti saat jatah Mas sama kamu, kita bisa melakukan sepuasnya." Kucolek hidungnya dengan mesra."Baiklah." Dewi mengangguk pasrah. "Tapi kalau cuma seperti ini, boleh kan?"Dewi memang selalu penuh kejutan. Aku dibuat tak berkutik saat bibirnya membungkam bibirku. Kami saling berbagi napas selama beberapa menit. Hampir saja aku keblablasan jika tidak mengingat bisa saja Inaya terbangun dan melihat apa yang kami lakukan."Sudah, Sayang. Jangan terus memancing," bisikku sambil mengatur napas. "Kamu tidur, gih. Biar Mas yang membereskan bekas makan kita," ujarku demi menghindarinya. Kalau aku membiarkan Dewi terus bersamaku, bisa-bisa aku melupakan prinsip adil yang sedang berusaha aku lakukan terhadap istri-istriku."Biar aku saja. Mas pasti cape, kan baru pulang." Dia melarang."Tidak apa. Mas justru ingin melakukannya agar istri Mas ini bisa istirahat." Kujawil dagu lancipnya. "Masuk kamar, gih!""Oke, Mas, Sayang." Dewi mengecup pipiku kilat sebelum berlari kecil menuju kamarnya. Inilah yang membuat hidupku terasa lebih berwarna saat bersamanya. Dewi selalu berhasil membuatku tersenyum dengan tingkahnya yang manja dan penuh kejutan. Tidak seperti Inaya yang akhir-akhir ini lebih sering mendiamkanku.Sejujurnya, malam ini aku sangat merindukan Inaya. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua karena Inaya selalu beralasan harus menjaga Syafa.Mengingat malam ini malamku bersamanya, gegas kubereskan bekas makan tadi. Setelah membersihkan diri, aku memasuki kamar Inaya dan langsung bergabung ke atas tempat tidur.Inaya tidur sambil memeluk Syafa yang sepertinya sengaja ia letakkan di tengah-tengah kami. Namun, aku tak akan kehabisan akal. Perlahan, kuangkat tubuh putriku dan merebahkannya kembali di sisi dekat tembok."Selamat tidur, cantiknya Ayah," bisikku sembari mengecup rambutnya.Aku tersenyum melihat sisi di sebelah Inaya yang kini kosong. Tak ingin membuang waktu, aku segera merebahkan diri di sana, kemudian memeluk tubuh istriku erat.Hasrat yang tadi muncul saat bersama istri keduaku kini bangkit kembali. Ingin sekali aku membangunkan Inaya dan mengajaknya melanjutkan apa yang tertunda bersama Dewi. Namun, aku tidak tega untuk mengganggu istriku. Biarlah aku tahan saja asalkan malam ini bisa menatap wajah Inaya sepuasnya."Kalau Mas mau ke kamar Dewi, silakan saja. Maaf aku tidak bisa melayani Mas karena sedang kedatangan tamu bulanan. Mas pasti ingin melanjutkan apa yang kalian lakukan tadi, kan?"Aku tersentak. Rupanya Inaya belum benar-benar tidur seperti dugaanku.Apa jangan-jangan ... Inaya melihat apa yang aku dan Dewi lakukan saat di dapur?Ah, sial!**Bersambung."Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini. Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu. Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku. "Mas mau sarapan apa?" Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya. "Kamu mau nyari sarap
"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka. "Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan. "Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi. Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya. "Saya jadi driver taksi online.""Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana." "Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun. "Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu. Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip se
"Jadi ini rumah baru kalian?" tanya Mama Hera -- mamanya Dewi seraya memperhatikan sekeliling. Matanya menyapu setiap sudut rumah sederhana ini."Iya, Ma. Untuk sementara kami tinggal di sini dulu sampai saya bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah yang lebih layak," jawabku sesopan mungkin, meski aku sedikit tidak nyaman dengan sikap ibu mertuaku tersebut. "Sekarang kamu kerja di mana?" "Saya jadi driver taksi online."Mama Hera terlihat menghembuskan napas kasar. "Driver taksi online? Memangnya kamu tidak mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan? Masa mantan seorang direktur utama tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk mencarikan pekerjaan?" cecarnya. "Duduk dulu, Ma. Tidak baik mengobrol sambil berdiri," ujarku mempersilakan. Menghindari topik pembicaraan yang bisa saja ia gunakan untuk terus mencecarku. Aku tidak ingin sampai kelepasan bicara hingga akhirnya menggagalkan semuanya. Mama Hera mengernyit melihat sofa usang yang berada di ruang tamu ini. Ia sepe
"Tidak! Rencana ini harus tetap berjalan sampai Papa sendiri yang memintamu berhenti."Ketegasan Papa membuatku gusar. Entah mengapa ia begitu ngotot ingin menguji kedua istriku yang sudah jelas setia dan tidak pernah berbuat macam-macam. Aku hanya tidak ingin, baik Inaya maupun Dewi tertekan oleh keadaan saat ini. Melihat kedua istriku harus bekerja demi membantuku, tentu saja aku merasa menjadi suami yang tidak berguna. Hari ini aku mendatangi kantor untuk menemui Papa yang sedang memantau ke sana. Aku ingin menyudahi semuanya dan kembali menjalani hidup dengan normal bersama kedua istriku seperti dulu. Namun, Papa begitu tegas menolak permintaanku. Tidakkah ia merasa kasihan kepada para menantunya yang harus tinggal di rumah kecil dengan uang belanja yang pas-pasan?"Kemarin mamanya Dewi datang ke rumah. Sikapnya berubah saat tahu kalau putrinya bekerja untuk membantuku. Bahkan, Mama Hera terus menyudutkan Inaya karena ia mengira istri pertamaku itu hanya ongkang-ongkang kaki di r
Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas."Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja.""Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nan
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka.Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya.Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari
"Kamu berani membentak saya?" Mama Hera terlihat terkejut. Sama halnya denganku, ia pun baru menyaksikan sisi lain Inaya yang biasanya tidak pernah berkata dengan nada tinggi."Kenapa tidak? Saya masih bisa menahan diri ketika Anda menghina saya. Tapi saat hal yang sama Anda lakukan terhadap Ayah, saya tidak akan pernah tinggal diam," balas Inaya sengit. "Sudah, Nak. Ayah tidak apa-apa. Jangan meninggikan nada suara di hadapan orang yang lebih tua. Itu tidak sopan." Ayah mertuaku mengusap punggung putrinya. Di saat ia dihina, ia masih bisa menahan diri, bahkan tidak membalas. Sungguh, aku merasa kagum terhadap beliau. Tidak salah jika Inaya begitu mengidolakan ayahnya. "Maaf, Ma. Tolong jangan memancing keributan. Keputusan yang saya ambil ini sudah sangat tepat. Inaya sebagai istri pertama akan tetap tinggal di sini. Dan untuk Dewi, saya akan segera mencari kontrakan untuknya," putusku final. Aku tidak akan mengubah keputusanku meski Mama Hera menuduhku bersikap tidak adil terhadap
"Papa sudah mengetahui semuanya? Jadi ini alasan Papa memintaku berpura-pura bangkrut?""Duduklah dulu, Dip. Kalau bicara itu yang tenang."Aku menghela napas gusar. Bisa-bisanya Papa memintaku bersikap tenang setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya.Dipta yang bo doh!Mudah sekali diperdaya dan dibohongi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan kondisiku saat itu. Aku yang diserang panik tentu saja tidak bisa berpikir jernih, apalagi mencaritahu tentang alasan meninggalnya Papa Hadi. Setelah mendengar bahwa pria paruh baya tersebut dinyatakan meninggal, aku berpikir bahwa kecelakaan itulah yang menjadi penyebabnya.Sungguh! Aku merasa menjadi orang paling bo doh di muka bumi ini."Papa memang sudah mengetahui semuanya," kata Papa yang membuat emosiku hampir meledak. Bisa-bisanya Papa menyembunyikan hal penting seperti ini dariku. Beruntung Syafa tertidur dan aku meminta asisten rumah tangga di rumah Papa untuk menjaganya agar aku bisa lebih leluasa berbicara dengan pria yang saat