Kiran memotret sekali lagi sebelum menyimpan ponselnya. Ia sudah mendapatkan photo-photo momen-momen puncak yang paling disukai oleh Pak Jaswin. Seperti potret saat petugas pemadam kebakaran berupaya memadamkan api, hingga evakuasi para korban ke mobil ambulance.
Sekarang yang harus ia lakukan adalah mencari sumber informasi lain untuk melengkapi tulisannya besok pagi. Liputan pertamanya tadi belum mendapatkan konsep 5W+1H. Sementara besok tadi pagi dia sudah harus menyerahkan tulisannya pada editor untuk tayang di media online maupun cetak.
"Dik, lo di sini dulu ya? Gue pengen ke rumah sakit ngeliat korban-korban yang dievakuasi. Terutama korban yang terjun bebas tadi. Gue penasaran pengen tahu identitasnya. Ngeliat posisi jatuhnya tadi, gue menduga koran adalah salah satu penghuni apartemen Pak Irman Sadikin," ungkap Kiran semangat.
"Ngapain, Ki? Tadi gue denger dari kru di mobil SNG kalo Pak Jaswin udah menurunkan tim Mbak Mega di sana. Udah, kita di sini aja sampai Pak Jaswin memerintahkan kita untuk out."
Andika tidak setuju. Kiran ini terlalu berani. Rasa penasarannya terkadang membahayakan dirinya sendiri. Bukan sekali dua kali mereka nyaris celaka karena rasa ingin tahu Kiran yang terlalu besar.
"Lo tahu sendiri tim Mbak Mega kayak apa kan? Mereka itu setengah-setengah dalam memburu berita. Palingan ntar juga bobol gambar atau bobol angle karena mereka nggak tanggap analisa," decih Kiran.
"Ya biarin aja. Itu urusan mereka. Yang bakal dimaki-maki Pak Jaswin 'kan mereka. Bukan kita." Andika tetap tidak setuju.
"Tapi gue nggak puas, Dika. Gue pengen tahu siapa dan kenapa orang tersebut bisa jatuh, sementara yang lain bisa diselamatkan tim evakuasi? Dia nggak sabar nunggu tim evakuasi datang makanya dia melompat duluan atau bagaimana? Gue penasaran soal bagaimananya itu, Dik. Lagian Pak Jaswin setuju kok kalo gue nyusul ke sono."
"Nah ini nih. Yang begini ini yang membuat gue takut kalo satu tim sama lo. Lo terlalu maju kalo dikasih kerjaan. Mengenai Pak Jaswin yang setuju. Ya jelaslah. Dia yang paling diuntungkan kalo lo dapet berita bagus. Sementara dia ongkang-ongkang kaki saja di rumah," sembur Andika kesal.
"Inget ya, Ki. Mau bagaimanapun rajinnya lo mengumpulkan berita, gaji lo tetap segitu-segitu aja. Kagak nambah. Oh ya, ada sih yang nambah. Lo mau tahu apa itu?" tantang Andika.
"Apaan coba?"
"Nambah resiko kematian. Sampai di sini, lo paham kagak?" Andika berkacak pinggang.
"Paham, Dik. Paham. Tapi gue nggak bisa membiarkan kebenaran ditutup-tutupin. Emang udah tugas kita memberitakan kebenaran kepada dunia bukan?"
"Lo bener banget. Seratus buat lo. Tapi masalahnya gue sekarang udah punya anak bini dan orang tua yang mesti gue empanin. Istilah kata, kalo gue mati, mereka juga bakalan mati. Jadi maaf-maaf aja ya, Ki. Gue kagak bisa idealis kayak lo," timpal Andika. Ia tidak bisa lagi seperti masa lajangnya dulu. Pundaknya sekarang menyangga banyak orang.
"Gue paham banget posisi lo, Dik. Makanya gue berangkat sendiri ke sononya. Gue cuma mau pamitan sama lo kok. Gue cabut ya?" Kiran menatap sekali lagi apartemen yang sudah terbakar sebagian. Kalau ia mau jujur, sebenarnya kebakaran ini tidak terlalu besar. Selain itu Damkar dan ambulance juga sangat cepat sampai di TKP. Seharusnya tidak ada korban jiwa.
"Ya udah. Hati-hati, Ki. Di luar rasa ingin tahu lo yang kelewatan, gue seneng banget bekerja satu tim dengan lo. Lo all out bet kalo kerja." Andika mengacungkan jempolnya.
"Ki, gue ada informasi untuk lo." Setelah menimbang-nimbang sejenak, Andika memutuskan untuk memberitahukan informasi yang ia dapat pada Kiran.
"Informasi apa, Dik?" ujar Kiran semangat. Kalau Andika sudah menghela napas berkali-kali begini, itu artinya ada berita besar.
"Korban yang jatuh dari apartemen tadi adalah Yanti Sadikin. Gue sempat menguping pembicaraan dua orang perempuan muda dan satu orang perempuan paruh baya yang kebingungan saat dievakuasi. Dari hasil nguping, gue tahu kalau dua perempuan muda itu adalah suster Bu Yanti dan babysitter anaknya. Sedangkan yang paruh baya adalah ART Bu Yanti. Mereka bertiga saling tunjuk saat harus menelepon Pak Irman. Tidak ada yang berani menghubungi Pak Irman untuk mengabarkan musibah ini. Pak Irman saat ini ada di luar kota."
"What, Bu Yanti yang jatuh? Bukannya Bu Yanti sudah dua tahun ini lumpuh dan hanya duduk di kursi roda?" Kiran keheranan.
"Itulah yang gue dengar tadi. Mereka semua ketakutan saat harus menelepon Pak Imran. Tidak ada yang mau disuruh menelepon," lanjut Andika lagi.
"Anak Pak Imran yang masih balita itu bagaimana?" Kiran teringat pada anak semata wayang Pak Imran yang berusia kira-kira tiga tahun.
"Selamat. Gue tadi melihat anak itu terus menangis di gendongan babysitternya," ungkap Andika lagi.
"Menarik. Gue akan menyelidikinya." Kiran berlari ke tempat mobilnya di patkir. Melalui sudut mata, Kiran memindai kalau reporter-reporter dari stasiun televisi lain juga sudah mulai bergerak. Mereka pasti sudah mendapat bocoran yang sama.
***
Kiran memarkir kendaraan di ujung jalan seberang rumah sakit. Pengalaman mengajarnya untuk tidak parkir di rumah sakit saat ada kejadian darurat seperti ini. Karena tempat parkir dipastikan akan penuh oleh para sanak saudara korban, maupun pihak-pihak yang berkepentingan.
Kiran memandang ke seberang jalan. Tampak mobil SNG stasiun tempatnya bekerja sudah terparkir berjajar dengan stasiun-stasiun televisi lainnya. Kiran berjalan ke pintu masuk rumah sakit. Di mana rekan-rekan kerjanya sedang bertugas. Kiran memindai Mega sedang melakukan siaran langsung dengan Bang Arman sebagai kameramennya. Seperti biasa pihak rumah sakit pasti tidak membolehkan awak media masuk ke rumah sakit demi ketenangan pasien. Makanya semua awak media melakukan siaran langsung di depan rumah sakit.
"Gimana caranya gue bisa masuk ke dalam ya?" Kiran mendecakkan lidah. Penjagaan rumah sakit sangat ketat. Ia tidak bisa menyelinap ke dalamnya.
Sekonyong-konyong pandangan Kiran terarah pada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Ibu tersebut tampak kerepotan. Karena lengan kanannya menggendong seorang anak yang terus menangis, sementara tangan kirinya menggandeng seorang anak lagi. Bukan itu saja, ada sebuah tas besar di pundak sang ibu.
"Saatnya beraksi!" Kiran menghampiri ibu tersebut, sebelum mencapai pintu rumah sakit. Ia mempunyai ide cemerlang untuk bisa masuk ke rumah sakit.
"Anaknya sakit ya, Bu?" tanya Kiran prihatin.
"Iya, Mbak. Demam tinggi. Makanya langsung saya bawa ke sini walau tengah malam begini," terang sang ibu sambil mempercepat langkah. Anak yang ia gandeng nyaris terjungkal mengikuti langkah-langkah panjangnya.
"Saya bantu membawakan tasnya ya, Bu? Putrinya juga saya saja yang tuntun. Biar Ibu tidak kerepotan," tawar Kiran ramah.
"Apa tidak merepotkan, Mbak?" tanya sang ibu ragu.
"Nggak kok, Bu. Saya juga memang mau ke rumah sakit menjenguk ibu saya."
Maafin Kiran ya, Ma. Kiran terpaksa bohong demi kebaikan.
"Baiklah kalau mbaknya tidak keberatan. Terima kasih ya, Mbak?" Si ibu menyerahkan tas besarnya pada Raline.
"Tidak apa-apa, Bu. Ayo Bu, kita ke UGD. Adik jalan sama Kakak ya?" Setelah mencangklong tas, Kiran menggandeng tangan sang gadis kecil. Beriringan mereka berjalan menuju UGD di ruangan paling depan.
"Ibu daftar saja dulu." Kiran mengikuti si ibu ke meja pendaftaran di depan UGD.
"Iya. Terima kasih, Mbak. Kalau Mbak mau menjenguk ibunya, silakan. Biar tasnya saya bawa lagi."
"Tidak apa-apa, Bu. Ibu saya pasti sedang tidur dini hari begini. Saya temani Ibu sampai masuk ke UGD, biar Ibu tidak repot. Setelah anak Ibu yang sakit ditangani dokter, baru saya kembali ke ruangan Ibu saya." Kiran memberi alasan yang masuk akal. Ia memang harus masuk ke UGD. Perkiraan Kiran, babysitter dan ART Pak Irman Sadikin pasti ada di UGD saat ini. Ia ingin mewawancari mereka.
"Ayo, Mbak, kita masuk. Saya sudah mendaftar." Ucapan sang ibu memutus lamunan Kiran.
"Iya, Bu." Kiran ikut dengan si ibu masuk ke UGD sembari memindai ruangan. Mencari-cari anak Pak Irman dan juga baby sitternya. UGD dini hari ini cukup ramai. Tidak heran mengingat adanya bencana kebakaran ini.
Ketika pandangan Kiran membentur dua gadis muda yang salah seorangnya mengenakan seragam khas babysitter, Kiran pun bergegas menghampiri. Dugaannya babysitter itu adalah pengasuh anak Pak Irman Sadikin. Sedangkan seorang gadis muda lagi yang berpiyama batik adalah suster Bu Yanti. Sedangkan seorang wanita paruh baya yang berdiri di antara mereka pastilah sang ART. Wajah ketiganya coreng moreng penuh jelaga. Keyakinan Kiran bertambah, saat melihat sang babysitter menggendong anak kecil yang terus menangis dan meronta-ronta saat akan dibaringkan ke bed periksa. Wajah anak balita itu juga penuh jelaga dan sesekali terbatuk di antara tangisnya."Aldy tiduran dulu di sini ya? Biar Pak Dokter gampang memeriksanya." Babysitter bersanggul cepol yang sudah acak-acak itu berusaha menenangkan anak asuhannya. "Pasti aku akan diamuk Pak Irman, karena tidak bisa menjaga Ibu. Bagaimana ini, bagaimana?" Gadis muda berpiyama batik menangis ketakutan. Kedua tangannya tidak bisa berhenti bergetar. "K
Kiran mengayun-ayun Aldy di lengannya. Memeluk sembari bergoyang ke kanan dan ke kiri. Meniru ibu-ibu yang sedang menidurkan anaknya. "Ini gerakan gue udah bener atau kagak sih? Kok lama-lama gue kayak lagi nari poco-poco." Kiran bingung sendiri. Rasanya ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Aldy masih belum juga tertidur. Balita ini terus menangis sesengukkan sambil memeluknya."Cup... cup... cup... Aldy jangan nangis lagi ya? Apa yang sakit? Bilang sama, Kakak." Kiran menyeka kening Aldy yang lembab oleh keringat. Sebenarnya bukan Aldy saja yang berkeringat. Tetapi dirinya juga. Menggendong anak berusia tiga tahun yang berbadan gembul membuat lengan dan pinggangnya pegal-pegal."Mama... mama... nangis." Dengan napas tersengal Aldy mulai berbicara."Kenapa Mama nangis, Aldy?" Kiran menginterogasi Aldy hati-hati. Setahunya anak usia tiga tahun itu sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Rizki, putri Andika juga berusia tiga tahu. Rizki sudah sangat lancar berbicara. Rizki bahk
"Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.Kiran mengamati alibi semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini."Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani. "Seperti yang dikatakan Lisna, saya--""Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio."Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya."Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-b
"Nanti malam kamu tidak ke mana-mana 'kan, Yo?" Gadis menyapa putra sulungnya. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama. Mempunyai suami dan putra seorang polisi membuat ia sulit sekali mempunyai waktu luang membersamai keduanya. Profesi anak dan suaminya ini tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Mereka harus siap siaga bekerja sewaktu-waktu. Ditambah dirinya yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, membuat waktu mereka bertemu menjadi kian terbatas. Sarapan pagi adalah satu-satunya momen di mana mereka bertiga bisa saling bertukar cerita sebelum masing-masing beraktivitas. Demitrio saling pandang dengan sang ayah sebelum meletakkan peralatan makannya. Mulai lagi. Pasti ibunya kembali dalam misi mencarikan jodoh untuknya. "Kenapa memangnya, Bu?" Demitrio pura-pura tidak tahu. Peringatan melalui tatapan tajam sang ayah, membuatnya tidak berkutik. Ayahnya memintanya untuk tidak menolak permintaan sang ibu. "Bu Ambar dan Ishana mau berkunjung," ungkap Gadis gembira. Demitrio diam.
"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengata
Kiran bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan lagu di dalam mobil. Saat berkendara sendirian seperti ini, ia memang senang mendengarkan musik. Hari ini moodnya sedang bagus-bagusnya. Dipuji oleh Pak Jaswin sekaligus Pak Herlambang itu luar biasa langkanya. Andika tadi mengatakan bahwa ia telah menggunakan setahun keberuntungannya khusus untuk hari ini.Sekitar seratus meter di depan, tampak lampu lalu lintas berubah dari kuning ke merah. Itu artinya ia harus menghentikan laju kendaraan. Kiran menginjak pedal rem. Kiran merasa ada sesuatu yang salah, saat pedal rem yang ia injak langsung mencelos ke lantai mobil. Rem mobilnya blong!Kiran panik saat mobilnya meluncur melewati lampu lalu lintas dan langsung menuju empat jalur lalu lintas yang tengah ramai oleh kendaraan. Dalam waktu sepersekian detik, Kiran memutuskan untuk melakukan rem darurat dengan cara menarik rem tangan. Akibat melakukan rem tangan dalam keadaan mobil melaju kencang, ban mobilnya slip dan kehilangan traksi.Mobil
"Rem saya blong, Om. Makanya saya terpaksa mengerem darurat dengan rem tangan," tukas Kiran apa adanya.Demitrio melirik mobil Kiran yang tergeletak di ujung jalan. Ban depan mobilnya naik hingga ke trotoar. Kiran mengikuti tatapan Demitrio. Mengamati kerusakan mobilnya dan bergidik. Ia telah menabrak begitu keras hingga kerangkanya bengkok menjadi huruf U. Sisi penumpang mobilnya juga rusak parah. Tidak heran kalau kaca mobilnya sampai lepas. Jika bukan karena sabuk pengaman, mungkin ia juga sudah terlempar keluar."Mobilmu kapan terakhir kali diservis?" tanya Demitrio penasaran."Minggu lalu, Om. Saya rajin menservis kendaraan.""Oke, sebentar." Demitrio beranjak. Ia menghampiri mobil Kiran. Setelah melongok ke dalam mobil sebentar, Demitrio merebahkan diri di trotoar. Ia kemudian menyelipkan kepala serta bahunya ke bawah mobil, tepat di belakang ban depan. Kiran bergidik. Ia takut Demitrio terkena pecahan kaca. Apa sebenarnya yang sedang dicari oleh Demitrio?Sejurus kemudian Demit
Demitrio berdecak saat merasakan ponsel di sakunya bergetar. Pasti ibunya yang menelepon. Demitrio memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Itu artinya janjinya untuk bertemu dengan Bu Ambar dan Ishana, sudah terlambat hampir dua jam lamanya."Ya, Bu?" Demitrio memasang head set karena sedang berkendara. Bersiap-siap mendengar omelan sang ibu. Ibunya telah melakukan panggilan sebanyak enam kali, tanpa ia sempat mengangkatnya. Ia sedang sibuk mengurus Kiran dan korban-korban kecelakaan lainnya pada saat ibunya menelepon."Kamu ini bagaimana sih, Yo? Janji jam tujuh malam. Ini sudah pukul sembilan, kamu belum sampai di rumah. Ibu jadi tidak enak dengan Bu Ambar dan Ishana.""Maaf, Bu. Ada kejadian darurat. Kiran kecelakan--""Hah, Kiran kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?""Kiran hanya menderita luka-luka kecil. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit bersama dengan korban-korban lainnya. Kecelakaan yang Kiran alami ini beruntun. Rio terlambat kar
Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi
"Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."
"Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan
"Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk
Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa
"Keparat! Jurnalis tukang ikut campur ini tidak ada kapok-kapoknya mencampuri urusanku!" Pak Irman membanting remote televisi. Ia sudah mengusahakan segala cara untuk melenyapkan sang jurnalis. Dimulai dari memanipulasi Lisna, Murni, bahkan meminjam tangan anak buah Juan untuk membajak pesawat. Tapi jurnalis sialan ini masih tetap hidup sampai hari ini. Entah nyawanya ada sembilan atau memang keberuntungannya yang tak habis-habis. Ia kehilangan cara untuk membungkamnya.Di tengah kekesalan, tangis Aldy kembali menggema di seantero ruangan. Dikarenakan rumah kontrakan ini kecil, tangisan Aldy mendominasi satu rumah. Kepala Pak Irman makin pusing karenanya."Bibik bisa tidak mendiamkan Aldy?" Pak Irman meneriaki Bik Hasni. Ia panik karena sepertinya ia tidak akan bisa lolos lagi dari hukuman kali ini. Nasibnya kini bagai telur di ujung tanduk."Sabar, Pak. Namanya juga anak kecil. Mungkin Aldy resah karena orang tuanya terus bermasalah," sindir Bik Hasni kalem."Maksud Bibik apa? Bibik
Konferensi pers baru saja usai. Pihak kepolisian telah memberi keterangan kepada media massa perihal bunuh dirinya Bu Kartika. Mengenai alasannya, pihak kepolisian memperhalus dengan mengatakan bahwa ada persoalan pribadi yang membuat Bu Kartika depresi. Ketika para jurnalis menanyakan apa persoalan pribadi Bu Kartika, pihak kepolisian mengatakan itu adalah hal yang privacy. Semua pihak diminta untuk menghormati keputusan keluarga yang tidak ingin membagi ke publik perihal depresinya Bu Kartika."Gue jadi suudzon ini. Persoalan pribadinya apa ya yang membuat Bu Kartika sampai bunuh diri? Pasti ada hal besar yang kalo tersingkap ke publik bakalan heboh. Lo tahu nggak apa masalahnya, Ki? Kasih gue bocoran dong. Senapsaran gue."Sembari menyimpan peralatan live, Andika ngedumel. Ia paling gedeg jikalau meliput berita yang dinfokan cuma sepotong-sepotong. Jika keponya meronta-ronta."Kita berdua sama-sama ngejogrok di mari dari pagi. Info yang kita berdua dapatkan juga sama kali."Kiran m
"Saya dan anak-anak izin menangkap Pak Irman besok pagi. Semua berkas dan bukti-bukti pendukung sudah saya siapkan."Demitrio berbicara langsung pada pokok permasalahan saat sang atasan datang. Walau ia sudah berkali-kali mengatakannya pada sang atasan, Demitrio tetap meminta izinnya. Adab harus diutamakan. Istimewa penangkapan ini juga akan menghancurleburkan citra keluarga besar sang atasan. Pak Irman pasti akan bernyanyi seperti ancamannya pada Bu Kartika."Tangkap saja, Yo. Bukti-buktinya sudah valid bukan? Gas lah." Setelah memikirkan semuanya masak-masak, Pak Suroto memutuskan akan bersikap profesional. Ia tahu, pasti akan ada akibat dari penangkapan Irman ini. Sikap diam istrinya adalah salah satu pertanda. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan. Ia sudah bersumpah saat mengemban tugas sebagai penegak hukum."Terima kasih, Pak." Pak Suroto mengucapkan terima kasih saat Pak Amat menghidangkan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Walaupun ia baru menghabiskan secangkir kopi di ru