Ketika pandangan Kiran membentur dua gadis muda yang salah seorangnya mengenakan seragam khas babysitter, Kiran pun bergegas menghampiri. Dugaannya babysitter itu adalah pengasuh anak Pak Irman Sadikin. Sedangkan seorang gadis muda lagi yang berpiyama batik adalah suster Bu Yanti. Sedangkan seorang wanita paruh baya yang berdiri di antara mereka pastilah sang ART. Wajah ketiganya coreng moreng penuh jelaga.
Keyakinan Kiran bertambah, saat melihat sang babysitter menggendong anak kecil yang terus menangis dan meronta-ronta saat akan dibaringkan ke bed periksa. Wajah anak balita itu juga penuh jelaga dan sesekali terbatuk di antara tangisnya.
"Aldy tiduran dulu di sini ya? Biar Pak Dokter gampang memeriksanya." Babysitter bersanggul cepol yang sudah acak-acak itu berusaha menenangkan anak asuhannya.
"Pasti aku akan diamuk Pak Irman, karena tidak bisa menjaga Ibu. Bagaimana ini, bagaimana?" Gadis muda berpiyama batik menangis ketakutan. Kedua tangannya tidak bisa berhenti bergetar.
"Kalau saja aliran listrik tidak padam, pasti aku bisa menyelamatkan Bu Yanti. Masalahnya saat itu sangat gelap sehingga aku tidak melihat saat Bu Yanti mendorong kursi roda ke balkon dan melompat ke bawah. Bu Yanti pasti sangat panik waktu itu."
Si gadis muda terus menyesali keadaan mengerikan tadi. Masih terngiang di telinganya jeritan memilukan nyonyanya saat terjun ke bawah. Jeritan mereka bertiga juga mengiringi jeritan sang nyonya. Mereka kemudian terbatuk-batuk hebat karena menghirup asap. Mereka tadi sempat berpikir bahwa mereka juga akan mengalami nasib yang sama. Nasib baik petugas DAMKAR mengevakuasi mereka tepat waktu.
"Bukan kamu saja yang takut, Lis. Aku dan Bik Hasni juga. Pak Irman pasti akan menyalahkan kita semua karena peristiwa ini." Sembari menenangkan anak asuhannya, babysitter itu juga tampak putus asa. Kengerian tergambar jelas di raut wajahnya. Kiran mengamati mereka bertiga sambil menjaga sang gadis kecil.
"Masalahnya akulah perawat Bu Yanti, Ran. Keselamatan Bu Yanti merupakan tanggungjawabku. Pak Irman pasti akan menghabisiku." Air muka gadis berpiyama batik makin pias oleh pemikirannya sendiri.
Tebakannya benar. Gadis muda berpiyama batik itu adalah suster pribadi Bu Yanti.
"Kamu juga sih, tidak bisa dititipi pesan. Sudah kubilang, tolong lihat Bu Yanti sebentar, karena aku akan mengambil handphone di kamar. Ini baru ditinggal sebentar, Bu Yanti sudah celaka." Sang suster memarahi sang babysitter.
"Aku 'kan harus menjaga Aldy, Lis. Dia ketakutan dan terus minta digendong. Mana gelap dan banyak asap lagi. Bagaimana aku bisa mengawasi Bu Yanti?" sergah sang babysitter.
"Lagian dalam keadaan darurat begitu, ngapain juga kamu mengambil handphone?" Sang babysitter balik menyalahkan sang suster.
"Aku ingin menerangi jalan dengan lampu flashlight, supaya kita semua bisa menyelamatkan diri. Bu Yanti itu memakai kursi roda. Kalau gelap gulita, bagaimana kita bisa melihat jalan untuk menyelamatkan diri?" terang sang suster.
"Sudah... sudah... jangan ribut lagi. Kita saling menyalahkan pun tidak akan mengubah keadaan." Sambil mengusap air mata sang ART berupaya melerai pertengkaran dua gadis muda di depannya. Selain takut disalahkan Pak Irman, sesungguhnya ia sangat sedih kehilangan majikannya. Bu Yanti sangat baik pada mereka bertiga.
Nyonya rumah yang lumpuh lompat dari balkon apartemen. Sementara tiga orang gajiannya selamat semua. Putra semata wayangnya ikut selamat karena berada dalam pengawasan sang babysitter. Ada bagian yang hilang dalam cerita ini. Rasanya agak ganjil kalau dari tiga orang ini, tidak ada satu pun yang memperhatikan sang nyonya rumah. Padahal seharusnya prioritas mereka adalah keselamatan sang nyonya rumah.
"Apa saja kerja kalian sampai Ibu menjadi korban, hah?" Gelegar suara bentakan membuat Kiran menoleh ke pintu UGD.
Pak Irman Sadikin dan Demitrio!
Gawat, Kiran seketika berbalik. Tanpa kentara ia mengeluarkan topi dan masker dari dalam ransel. Selanjutnya ia mengenakan dua atribut itu dalam diam, agar Demitrio tidak mengenalinya. Kiran kemudian menyerahkan gadis kecil tadi pada ibunya. Sekarang adalah saatnya bekerja.
"Kamu, Lisna! Tugasmu adalah menjaga Ibu. Kamu ini perawat pribadinya. Di mana kamu saat Ibu melompat dari balkon hah? Di mana?" Pak Irman Sadikin tiba-tiba mencengkram leher sang perawat yang bernama Lisna.
"Saya... saya..." Lisna tidak bisa menjawab. Tenggorokannya dicengkram erat oleh Pak Irman dengan sebelah tangan. Lisna semakin gelagapan, saat Pak Irman mengeratkan cengkramannya. Tangan Lisna menggapai-gapai udara. Ia panik. Paru-parunya serasa akan meledak karena kehabisan udara.
"Cukup, Pak Irman. Jangan main hakim sendiri!" Demitrio melepaskan cengkraman tangan Pak Irman.
"Kita dengar saja penjelasan Lisna." Demitrio melirik Lisna yang seketika bersembunyi di punggungnya.
"Papa... Papa..."
Ketegangan di UGD terurai dengan suara tangisan Aldy. Bocah kecil yang sedang berada dalam gendongan sang babysitter, memanjangkan kedua tangannya pada Pak Irman. Pak Irman segera menggendong putranya.
"Aldy tidak apa-apa, Nak?" Pak Irman menciumi sang putra lega. Ia menjauhkan putranya sebentar. Mengamati keadaan putranya secara menyeluruh, sebelum kembali memeluknya erat. Selain cemong-cemong oleh jelaga, keadaan putranya baik-baik saja. Syukurlah.
"Mama... mama..." Terbata-bata Aldy memanggil-manggil mamanya. Kedua mata beningnya seolah-olah ingin mengadu.
"Aldy sama Mbak Rani dulu, ya? Ayah mau kerja dulu." Pak Irman menyerahkan Aldy pada sang babysitter. Aldy meronta. Ia tidak mau melepaskan kedua tangan dari leher Pak Irman.
"Aldy sama Mbak dulu? Yuk kita jalan-jalan?" sang babysitter membujuk anak asuhnya. Aldy memalingkan wajah dari sang babysitter. Sementara kedua tangan gemuknya tetap memeluk erat leher sang ayah.
"Aldy dengan Mbak Lisna aja ya?" Kali ini sang suster yang mencoba membujuk Aldy. Sayangnya, lagi-lagi Aldy berpaling.
"Bagaimana ya, Pak Rio? Aldy tidak mau saya tinggal." Pak Imran mengecup ubun-ubun sang putra. Ia sangat sayang pada putra semata wayangnya ini.
"Kalau begitu biar teman saya saja yang menjaganya. Biasanya anak kecil suka padanya," usul Demitrio.
"Boleh saja kalau teman Pak Rio mau." Pak Imran setuju.
"Sebentar." Demitrio berbalik. Ia kemudian berjalan lurus-lurus mendekati seseorang yang sedari tadi bersembunyi di belakangnya. Kiran yang melihat Demitro membalikkan badan, segera menghadap dinding. Ia pura-pura tertarik memandangi jarum infus pasien.
"Ayo, ikut saya!" Kiran kaget saat Demitrio tiba-tiba saja menarik tangannya. Ternyata, Demitrio mengetahui keberadaannya!
"Apa-apaan sih, Om Demit! Lepasan tangan saya. Sakit tahu." Kiran berusaha melepaskan cengkraman Demitrio pada pergelangan tangannya.
"Kamu ada di sini untuk mengendus berita bukan? Ya sudah, ikuti saja saya." Demitrio membawa Kiran ke hadapan Pak Imran.
"Ki, bujuk Aldy sebentar. Saya ingin berbicara dengan mereka bertiga." Demitrio menunjuk Pak Imran tiga orang lainnya.
Lo mau ngerjain gue, Om Demit? Yang ada gue yang ngerjain lo. Mana mungkin anak kecil ini mau gue gendong.
"Ayo Aldy, sini sama Kakak?" Kiran mengembangkan tangannya. Kiran yakin, Aldy pasti akan memalingkan wajahnya juga. Mana mungkin Aldy mau digendong oleh orang asing. Di luar prediksi BMKG, Aldy menyambut uluran tangannya!
"Benarkan apa yang saya katakan? Anak kecil sangat suka dengan teman saya ini," sindir Demitrio. Rasa puas jelas tergambar di air mukanya. Kiran mengkertakkan geraham melihat ekspresi wajah Demitrio.
"Ayo kita ke ruangan lain saja untuk berbicara. Aldy biar teman saya ini yang menjaganya. Saya sudah meminta izin pada petugas rumah sakit."
Sembari menyunggingkan seulas senyum mengejek pada Kiran, Demitrio mengajak Pak Irman dan tiga orang lainnya ke ruangan lain. Dengan begitu si reporter reseh bernama Kirania Sakti Raffardan ini, tidak akan bisa menguping pembicaraannya. Dia pikir dia yang paling hebat kah? Hah, yang benar saja.
Di belakang Demitrio, Kiran mengangkat kepalan tangannya. Ia seolah-olah akan menggebuk Demitrio dari belakang. Ketika aksinya dipergoki oleh petugas di UGD, Kiran pura-pura menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Awas ya lo, Om Demit. Tunggu aja pembalasan gue!
Notes.
5W+1H adalah singkatan dari Who (Siapa), What (Apa), When (Kapan), Where (Dimana), Why (Mengapa), dan How (Bagaimana).
Bobol gambar adalah kehilangan mengambil gambar karena telat datang ke lokasi.
Bobol angle adalah luput memberitakan hal-hal yang menarik karena kurang gesit mencari berita.
Kiran mengayun-ayun Aldy di lengannya. Memeluk sembari bergoyang ke kanan dan ke kiri. Meniru ibu-ibu yang sedang menidurkan anaknya. "Ini gerakan gue udah bener atau kagak sih? Kok lama-lama gue kayak lagi nari poco-poco." Kiran bingung sendiri. Rasanya ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Aldy masih belum juga tertidur. Balita ini terus menangis sesengukkan sambil memeluknya."Cup... cup... cup... Aldy jangan nangis lagi ya? Apa yang sakit? Bilang sama, Kakak." Kiran menyeka kening Aldy yang lembab oleh keringat. Sebenarnya bukan Aldy saja yang berkeringat. Tetapi dirinya juga. Menggendong anak berusia tiga tahun yang berbadan gembul membuat lengan dan pinggangnya pegal-pegal."Mama... mama... nangis." Dengan napas tersengal Aldy mulai berbicara."Kenapa Mama nangis, Aldy?" Kiran menginterogasi Aldy hati-hati. Setahunya anak usia tiga tahun itu sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Rizki, putri Andika juga berusia tiga tahu. Rizki sudah sangat lancar berbicara. Rizki bahk
"Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.Kiran mengamati alibi semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini."Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani. "Seperti yang dikatakan Lisna, saya--""Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio."Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya."Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-b
"Nanti malam kamu tidak ke mana-mana 'kan, Yo?" Gadis menyapa putra sulungnya. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama. Mempunyai suami dan putra seorang polisi membuat ia sulit sekali mempunyai waktu luang membersamai keduanya. Profesi anak dan suaminya ini tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Mereka harus siap siaga bekerja sewaktu-waktu. Ditambah dirinya yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, membuat waktu mereka bertemu menjadi kian terbatas. Sarapan pagi adalah satu-satunya momen di mana mereka bertiga bisa saling bertukar cerita sebelum masing-masing beraktivitas. Demitrio saling pandang dengan sang ayah sebelum meletakkan peralatan makannya. Mulai lagi. Pasti ibunya kembali dalam misi mencarikan jodoh untuknya. "Kenapa memangnya, Bu?" Demitrio pura-pura tidak tahu. Peringatan melalui tatapan tajam sang ayah, membuatnya tidak berkutik. Ayahnya memintanya untuk tidak menolak permintaan sang ibu. "Bu Ambar dan Ishana mau berkunjung," ungkap Gadis gembira. Demitrio diam.
"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengata
Kiran bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan lagu di dalam mobil. Saat berkendara sendirian seperti ini, ia memang senang mendengarkan musik. Hari ini moodnya sedang bagus-bagusnya. Dipuji oleh Pak Jaswin sekaligus Pak Herlambang itu luar biasa langkanya. Andika tadi mengatakan bahwa ia telah menggunakan setahun keberuntungannya khusus untuk hari ini.Sekitar seratus meter di depan, tampak lampu lalu lintas berubah dari kuning ke merah. Itu artinya ia harus menghentikan laju kendaraan. Kiran menginjak pedal rem. Kiran merasa ada sesuatu yang salah, saat pedal rem yang ia injak langsung mencelos ke lantai mobil. Rem mobilnya blong!Kiran panik saat mobilnya meluncur melewati lampu lalu lintas dan langsung menuju empat jalur lalu lintas yang tengah ramai oleh kendaraan. Dalam waktu sepersekian detik, Kiran memutuskan untuk melakukan rem darurat dengan cara menarik rem tangan. Akibat melakukan rem tangan dalam keadaan mobil melaju kencang, ban mobilnya slip dan kehilangan traksi.Mobil
"Rem saya blong, Om. Makanya saya terpaksa mengerem darurat dengan rem tangan," tukas Kiran apa adanya.Demitrio melirik mobil Kiran yang tergeletak di ujung jalan. Ban depan mobilnya naik hingga ke trotoar. Kiran mengikuti tatapan Demitrio. Mengamati kerusakan mobilnya dan bergidik. Ia telah menabrak begitu keras hingga kerangkanya bengkok menjadi huruf U. Sisi penumpang mobilnya juga rusak parah. Tidak heran kalau kaca mobilnya sampai lepas. Jika bukan karena sabuk pengaman, mungkin ia juga sudah terlempar keluar."Mobilmu kapan terakhir kali diservis?" tanya Demitrio penasaran."Minggu lalu, Om. Saya rajin menservis kendaraan.""Oke, sebentar." Demitrio beranjak. Ia menghampiri mobil Kiran. Setelah melongok ke dalam mobil sebentar, Demitrio merebahkan diri di trotoar. Ia kemudian menyelipkan kepala serta bahunya ke bawah mobil, tepat di belakang ban depan. Kiran bergidik. Ia takut Demitrio terkena pecahan kaca. Apa sebenarnya yang sedang dicari oleh Demitrio?Sejurus kemudian Demit
Demitrio berdecak saat merasakan ponsel di sakunya bergetar. Pasti ibunya yang menelepon. Demitrio memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Itu artinya janjinya untuk bertemu dengan Bu Ambar dan Ishana, sudah terlambat hampir dua jam lamanya."Ya, Bu?" Demitrio memasang head set karena sedang berkendara. Bersiap-siap mendengar omelan sang ibu. Ibunya telah melakukan panggilan sebanyak enam kali, tanpa ia sempat mengangkatnya. Ia sedang sibuk mengurus Kiran dan korban-korban kecelakaan lainnya pada saat ibunya menelepon."Kamu ini bagaimana sih, Yo? Janji jam tujuh malam. Ini sudah pukul sembilan, kamu belum sampai di rumah. Ibu jadi tidak enak dengan Bu Ambar dan Ishana.""Maaf, Bu. Ada kejadian darurat. Kiran kecelakan--""Hah, Kiran kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?""Kiran hanya menderita luka-luka kecil. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit bersama dengan korban-korban lainnya. Kecelakaan yang Kiran alami ini beruntun. Rio terlambat kar
Kiran membolak-balik tubuhnya di ranjang gelisah. Nyaris seminggu tidak melakukan aktivitas apapun dan hanya berbaring di rumah, membuatnya bosan tingkat dewa. Kiran beranjak dari ranjang.Tidak bisa! Ia akan gila kalau terus golek-golek di kamar. Toh luka-lukanya sudah mulai mengering. Memar-memarnya juga telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Artinya sudah hampir sembuh seperti sediakala. Ponselnya berdering. Kiran bergegas meraihnya dari nakas. Senyumnya merekah saat memindai Pak Jaswin lah yang meneleponnya."Ya, Pak. Saya siap bertugas!" Kiran menjawab semangat."Saya belum mengatakan apa-apa padamu. Mengapa kamu menjawab siap bertugas saja?"Ya, karena Bapak meneleponlah. Kalau tidak ada tugas, ngapain juga Bapak capek-capek menelepon saya?"Karena saya sekarang memang sudah siap bertugas, Pak." Kiran memberi jawaban yang lebih sopan. Bisa diiris kecil-kecil dirinya kalau berani berbicara sefrontal itu pada Pak Jaswin. "Kamu memang benar-benar anak muda yang bersemang
Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi
"Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."
"Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan
"Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk
Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa
"Keparat! Jurnalis tukang ikut campur ini tidak ada kapok-kapoknya mencampuri urusanku!" Pak Irman membanting remote televisi. Ia sudah mengusahakan segala cara untuk melenyapkan sang jurnalis. Dimulai dari memanipulasi Lisna, Murni, bahkan meminjam tangan anak buah Juan untuk membajak pesawat. Tapi jurnalis sialan ini masih tetap hidup sampai hari ini. Entah nyawanya ada sembilan atau memang keberuntungannya yang tak habis-habis. Ia kehilangan cara untuk membungkamnya.Di tengah kekesalan, tangis Aldy kembali menggema di seantero ruangan. Dikarenakan rumah kontrakan ini kecil, tangisan Aldy mendominasi satu rumah. Kepala Pak Irman makin pusing karenanya."Bibik bisa tidak mendiamkan Aldy?" Pak Irman meneriaki Bik Hasni. Ia panik karena sepertinya ia tidak akan bisa lolos lagi dari hukuman kali ini. Nasibnya kini bagai telur di ujung tanduk."Sabar, Pak. Namanya juga anak kecil. Mungkin Aldy resah karena orang tuanya terus bermasalah," sindir Bik Hasni kalem."Maksud Bibik apa? Bibik
Konferensi pers baru saja usai. Pihak kepolisian telah memberi keterangan kepada media massa perihal bunuh dirinya Bu Kartika. Mengenai alasannya, pihak kepolisian memperhalus dengan mengatakan bahwa ada persoalan pribadi yang membuat Bu Kartika depresi. Ketika para jurnalis menanyakan apa persoalan pribadi Bu Kartika, pihak kepolisian mengatakan itu adalah hal yang privacy. Semua pihak diminta untuk menghormati keputusan keluarga yang tidak ingin membagi ke publik perihal depresinya Bu Kartika."Gue jadi suudzon ini. Persoalan pribadinya apa ya yang membuat Bu Kartika sampai bunuh diri? Pasti ada hal besar yang kalo tersingkap ke publik bakalan heboh. Lo tahu nggak apa masalahnya, Ki? Kasih gue bocoran dong. Senapsaran gue."Sembari menyimpan peralatan live, Andika ngedumel. Ia paling gedeg jikalau meliput berita yang dinfokan cuma sepotong-sepotong. Jika keponya meronta-ronta."Kita berdua sama-sama ngejogrok di mari dari pagi. Info yang kita berdua dapatkan juga sama kali."Kiran m
"Saya dan anak-anak izin menangkap Pak Irman besok pagi. Semua berkas dan bukti-bukti pendukung sudah saya siapkan."Demitrio berbicara langsung pada pokok permasalahan saat sang atasan datang. Walau ia sudah berkali-kali mengatakannya pada sang atasan, Demitrio tetap meminta izinnya. Adab harus diutamakan. Istimewa penangkapan ini juga akan menghancurleburkan citra keluarga besar sang atasan. Pak Irman pasti akan bernyanyi seperti ancamannya pada Bu Kartika."Tangkap saja, Yo. Bukti-buktinya sudah valid bukan? Gas lah." Setelah memikirkan semuanya masak-masak, Pak Suroto memutuskan akan bersikap profesional. Ia tahu, pasti akan ada akibat dari penangkapan Irman ini. Sikap diam istrinya adalah salah satu pertanda. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan. Ia sudah bersumpah saat mengemban tugas sebagai penegak hukum."Terima kasih, Pak." Pak Suroto mengucapkan terima kasih saat Pak Amat menghidangkan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Walaupun ia baru menghabiskan secangkir kopi di ru