"Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.
Kiran mengamati alibi semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini.
"Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani.
"Seperti yang dikatakan Lisna, saya--"
"Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio.
"Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya.
"Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-batuk. Makanya saya menyusul Bik Hasni ke kamar mandi. Saya berpesan pada Bu Yanti agar menunggu sebentar. Saya akan mengambil handuk." Rani kembali terisak. Kalau saja waktu bisa diputar, ia ingin mengulang semuanya.
Ekspresi merana Rani, tidak lepas dari pengamatan Kiran. Perlahan Kiran merogoh ponsel di sakunya. Dengan berpura-pura sedang bermain ponsel, Kiran memotret Rani beberapa kali.
"Saat saya sudah berhasil menutup hidung Aldy dan saya sendiri, saya mengambil sebuah handuk lagi di kabinet. Saya bermaksud memberikan handuk itu pada Bu Yanti. Saat itulah saya mendengar teriakan Bu Yanti. Saya ingin menolong. Tapi keadaan gelap gulita dan dipenuhi asap. Saya tidak bisa melihat apa-apa. Lisna yang baru datang dengan ponsel sebagai alat penerangan, juga tidak bisa berbuat banyak. Kami semua sesak napas. Suhu juga sangat panas. Kami kemudian berlari menuju pintu darurat dengan bantuan flashlight Lisna. Di koridor kami bertemu dengan penghuni unit lain yang juga berlari ke arah pintu darurat. Di pandu petugas DAMKAR dan Basarnas, kami mendekati dinding dan berjalan merangkak di lantai. Setelahnya kami dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit ini." Rani mengakhiri ceritanya.
"Baik. Untuk saat ini interogasinya sudah cukup. Apabila diperlukan, kami akan memanggil kalian kembali untuk dimintai keterangan."
Demitrio berdiri. Ia kemudian memberi kode pada Kiran untuk mendekat. Melalui gerakan kepala yang tidak kentara, Demitrio meminta Kiran menyerahkan Aldy yang sudah tertidur pada pengasuhnya. Kiran yang tanggap segera menyerahkan Aldy pada Rani. Karena dalam keadaan sudah tertidur, Aldy tidak banyak drama.
"Terima kasih atas kerjasamanya hari ini. Pak Irman, saya turut berbelasungkawa. Kami permisi dulu." Demitrio mengangguk singkat sebelum berlalu. Kiran mengikuti langkah-langkah panjangnya dari belakang. Ada yang ingin ia sampaikan pada Demitrio.
"Om Demit. Saya mau ngomong-- aduh!" Kiran mengaduh saat Demitrio tiba-tiba saja berbalik. Keningnya membentur bahu Demitrio.
"Kalau mau berhenti, kasih aba-aba dulu dong, Om. Jangan main slonong aja." Kiran mengusap-usap keningnya.
"Kamu mau ngomong apa? Bicara yang jelas dan singkat saja," pungkas Demitrio dingin.
"Mereka bohong." Kiran langsung menembak pada sasaran.
"Siapa yang bohong?" ujar Demitrio seraya memindai jam di pergelangan tangannya. Hampir pukul setengah enam pagi.
"Saya belum bisa memastikan siapa saja yang berbohong. Tapi saat ini saya yakin pada kebohongan satu orang."
"Oh ya, siapa itu?" Demitrio bersedekap. Ia tahu kalau anak Om Bima ini sangat berbakat menjadi seorang detektif. Logikanya jalan dan akalnya banyak. Selain itu Kiran sangat teliti dalam segala hal. Kekurangannya adalah Kiran ini tidak sabaran dan cenderung nekat. Kiran kerap mengacaukan penyelidikannya karena ketidaksabarannya itu.
"Mbak Rani, sang babysitter," tegas Kiran yakin.
"Atas dasar apa kamu menuduh Rani berbohong?" tuntut Demitrio lagi.
"Atas dasar ini." Kiran merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuh kancing kain berwarna merah muda berikut sobekan kainnya.
"Dari mana kamu mendapatkan benda-benda ini?" Demitrio meraih kancing dan secarik kain tersebut dari tangan Kiran.
"Dari tangan Bu Yanti, saat beliau dinaikkan ke atas brankar ambulance. Benda-benda ini terjatuh begitu saja dari tangannya," imbuh Kiran lagi.
"Hanya karena Rani memakai warna pakaian yang sama, kamu tidak bisa serta merta menuduhnya seperti itu. Pakaian ini produksi massal karena merupakan seragam khas babysitter. Harus ada bukti yang lebih spesifik kalau kecurigaanmu mengarah pada Rani."
"Oke. Kalau begitu saya akan memperlihatkan bukti yang lain. Sebentar." Kiran merogoh ponselnya dari saku kirinya. Ia mengotak-atik ponselnya sebentar sebelum menyerahkannya pada Demitrio.
"Heh, untuk apa kamu memperlihatkan photo Rani pada saya?" Demitrio mencebik.
"Perhatikan baik-baik detail pakaian Mbak Rani ini, Om. Kalau Om memperhatikannya dengan seksama, saya yakin, Om akan sependapat dengan saya."
Melihat keyakinan Kiran, Demitrio mengamati pakaian khas babysitter Rani. Apa yang ia temukan di sana membuat Demitrio angkat topi untuk Kiran.
Analisa bocah ini boleh juga.
"Lihat, Om. Kancing baju Rani yang paling bawah lepas satu. Sakunya juga robek. Itu artinya, kancing baju dan kain yang Om pegang itu milik Mbak Rani." Kiran menunjuk dua barang bukti itu dengan air muka puas.
"Tadi Mbak Rani bilang bahwa ia tidak tahu menahu perkara jatuhnya Mbak Yanti bukan? Pengakuannya tidak sinkron, Om. Dugaan saya, Mbak Yanti itu tidak jatuh apalagi melompat dari jendela. Ingat, Mbak Yanti itu lumpuh. Kalau pun ia melompat dengan menumpukan kedua tangannya ke rangka jendela, pasti telapak tangannya akan menderita luka bakar. Sementara tadi saya lihat sekilas, tangan Bu Yanti tidak terluka sedikit pun. Hanya saja menghitam oleh jelaga."
"Dan kesimpulannya?" Demitrio tertarik mendengar analisa Kiran.
"Kesimpulannya, Bu Yanti tidak jatuh dari jendela. Melainkan didorong oleh Mbak Rani. Bu Yanti ingin menyelamatkan diri. Makanya Bu Yanti menarik pakaian Mbak Rani dan meneriakkan kata tolong. Oh ya, kata tolong ini saya simpulkan dari kalimat sepotong-sepotong Aldy. Aldy terus mengatakan kalimat ; mama nangis. Mama jatuh dan mama tolong. Mungkin maksud Aldy adalah ; mamanya menangis karena tidak menduga akan didorong. Mamanya meminta tolong sebelum akhirnya terjatuh. Ah, satu lagi. Om perhatikan tidak, Aldy tidak mau lagi digendong Mbak Rani. Aldy menyaksikan semua itu. Aldy trauma pada Mbak Rani. Itulah kesimpulan sementara saya."
"Begitu. Lantas, apa motif Rani melakukannya?" tanya Demitrio lagi.
"Nah, yang begini ini tugas Om Polisi dong. Masa harus saya lagi yang turun tangan?" Kiran nyengir.
"Bercyandya, Om. Saya akan menyelidiki kasus ini sampai tuntas. Jangan panggil saya Kirania Sakti Raffardan, kalau saya tidak bisa menguak tabir ini." Kiran menepuk dada jumawa.
Tuk!
Demitrio menyelentik kening Kiran.
"Kamu kepedean. Memangnya kamu siapa sampai saya harus memintamu menyelidiki semuanya. Mimpi kamu!" decih Demitrio sinis. Dengan langkah panjang-panjang Demitrio berjalan ke arah mobilnya di parkir.
"Dasar Om Demit sialan. Sudah saya bantu membuka clue, saya malah mau dibuang begitu saja. Kek manaaa?" Kiran menirukan nada bertanya seorang food vloger yang sempat viral.
Demitrio menulikan telinganya. Ia pura-pura tidak mendengar protes Kiran. Demitrio melajukan kendaraan dan menghentikannya di pinggir jalan. Ia baru melajukan kendaraannya kembali saat Kiran berlalu dengan mobilnya. Ia akan mengawal Kiran diam-diam dari kejauhan. Berkendara sendirian di pagi buta begini memang rawan kejahatan. Istimewa kaca mobil Kiran cukup terang. Terlihat sekali kalau Kiran berkendara seorang diri.
Di tengah perjalanan Demitrio merasa ponselnya bergetar. Demitrio pun mengangkatnya.
"Ya, Om. Sudah selesai kok. Iya, ini Rio akan mengawal Kiran sampai rumah dari jarak aman. Tidak apa-apa, Om. Tidak repot kok. Toh sekalian jalan. Sama-sama, Om." Demitrio menutup ponselnya. Om Bima, ayah Kiran meminta tolong padanya untuk mengawal Kiran, saat tahu Kiran ada di lokasi yang sama dengannya.
"Orang tuamu bisa pendek umur kalau rasa ingin tahumu terlalu besar, Bocah," gumam Demitrio sambil menjalankan kendaraannya.
"Nanti malam kamu tidak ke mana-mana 'kan, Yo?" Gadis menyapa putra sulungnya. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama. Mempunyai suami dan putra seorang polisi membuat ia sulit sekali mempunyai waktu luang membersamai keduanya. Profesi anak dan suaminya ini tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Mereka harus siap siaga bekerja sewaktu-waktu. Ditambah dirinya yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, membuat waktu mereka bertemu menjadi kian terbatas. Sarapan pagi adalah satu-satunya momen di mana mereka bertiga bisa saling bertukar cerita sebelum masing-masing beraktivitas. Demitrio saling pandang dengan sang ayah sebelum meletakkan peralatan makannya. Mulai lagi. Pasti ibunya kembali dalam misi mencarikan jodoh untuknya. "Kenapa memangnya, Bu?" Demitrio pura-pura tidak tahu. Peringatan melalui tatapan tajam sang ayah, membuatnya tidak berkutik. Ayahnya memintanya untuk tidak menolak permintaan sang ibu. "Bu Ambar dan Ishana mau berkunjung," ungkap Gadis gembira. Demitrio diam.
"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengata
Kiran bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan lagu di dalam mobil. Saat berkendara sendirian seperti ini, ia memang senang mendengarkan musik. Hari ini moodnya sedang bagus-bagusnya. Dipuji oleh Pak Jaswin sekaligus Pak Herlambang itu luar biasa langkanya. Andika tadi mengatakan bahwa ia telah menggunakan setahun keberuntungannya khusus untuk hari ini.Sekitar seratus meter di depan, tampak lampu lalu lintas berubah dari kuning ke merah. Itu artinya ia harus menghentikan laju kendaraan. Kiran menginjak pedal rem. Kiran merasa ada sesuatu yang salah, saat pedal rem yang ia injak langsung mencelos ke lantai mobil. Rem mobilnya blong!Kiran panik saat mobilnya meluncur melewati lampu lalu lintas dan langsung menuju empat jalur lalu lintas yang tengah ramai oleh kendaraan. Dalam waktu sepersekian detik, Kiran memutuskan untuk melakukan rem darurat dengan cara menarik rem tangan. Akibat melakukan rem tangan dalam keadaan mobil melaju kencang, ban mobilnya slip dan kehilangan traksi.Mobil
"Rem saya blong, Om. Makanya saya terpaksa mengerem darurat dengan rem tangan," tukas Kiran apa adanya.Demitrio melirik mobil Kiran yang tergeletak di ujung jalan. Ban depan mobilnya naik hingga ke trotoar. Kiran mengikuti tatapan Demitrio. Mengamati kerusakan mobilnya dan bergidik. Ia telah menabrak begitu keras hingga kerangkanya bengkok menjadi huruf U. Sisi penumpang mobilnya juga rusak parah. Tidak heran kalau kaca mobilnya sampai lepas. Jika bukan karena sabuk pengaman, mungkin ia juga sudah terlempar keluar."Mobilmu kapan terakhir kali diservis?" tanya Demitrio penasaran."Minggu lalu, Om. Saya rajin menservis kendaraan.""Oke, sebentar." Demitrio beranjak. Ia menghampiri mobil Kiran. Setelah melongok ke dalam mobil sebentar, Demitrio merebahkan diri di trotoar. Ia kemudian menyelipkan kepala serta bahunya ke bawah mobil, tepat di belakang ban depan. Kiran bergidik. Ia takut Demitrio terkena pecahan kaca. Apa sebenarnya yang sedang dicari oleh Demitrio?Sejurus kemudian Demit
Demitrio berdecak saat merasakan ponsel di sakunya bergetar. Pasti ibunya yang menelepon. Demitrio memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Itu artinya janjinya untuk bertemu dengan Bu Ambar dan Ishana, sudah terlambat hampir dua jam lamanya."Ya, Bu?" Demitrio memasang head set karena sedang berkendara. Bersiap-siap mendengar omelan sang ibu. Ibunya telah melakukan panggilan sebanyak enam kali, tanpa ia sempat mengangkatnya. Ia sedang sibuk mengurus Kiran dan korban-korban kecelakaan lainnya pada saat ibunya menelepon."Kamu ini bagaimana sih, Yo? Janji jam tujuh malam. Ini sudah pukul sembilan, kamu belum sampai di rumah. Ibu jadi tidak enak dengan Bu Ambar dan Ishana.""Maaf, Bu. Ada kejadian darurat. Kiran kecelakan--""Hah, Kiran kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?""Kiran hanya menderita luka-luka kecil. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit bersama dengan korban-korban lainnya. Kecelakaan yang Kiran alami ini beruntun. Rio terlambat kar
Kiran membolak-balik tubuhnya di ranjang gelisah. Nyaris seminggu tidak melakukan aktivitas apapun dan hanya berbaring di rumah, membuatnya bosan tingkat dewa. Kiran beranjak dari ranjang.Tidak bisa! Ia akan gila kalau terus golek-golek di kamar. Toh luka-lukanya sudah mulai mengering. Memar-memarnya juga telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Artinya sudah hampir sembuh seperti sediakala. Ponselnya berdering. Kiran bergegas meraihnya dari nakas. Senyumnya merekah saat memindai Pak Jaswin lah yang meneleponnya."Ya, Pak. Saya siap bertugas!" Kiran menjawab semangat."Saya belum mengatakan apa-apa padamu. Mengapa kamu menjawab siap bertugas saja?"Ya, karena Bapak meneleponlah. Kalau tidak ada tugas, ngapain juga Bapak capek-capek menelepon saya?"Karena saya sekarang memang sudah siap bertugas, Pak." Kiran memberi jawaban yang lebih sopan. Bisa diiris kecil-kecil dirinya kalau berani berbicara sefrontal itu pada Pak Jaswin. "Kamu memang benar-benar anak muda yang bersemang
"Sudah berapa lama Anda menjadi babysitter Aldy?" Demitrio mulai menginterogasi Rani Permata Sari. Ia telah mendapatkan benang merah atas peristiwa tewasnya Irianti Sadikin atau yang kerap disapa Yanti. Kiran berperan penting dalam penyelidikannya kali ini. Karena atas informasi dan barang bukti dari Kiran lah, ia menginterogasi Rani untuk kedua kalinya siang ini."Sekitar tiga setengah tahun yang lalu, Pak," jawab Rani jujur."Tiga setengah tahun. Itu berarti dari sebelum Bu Yanti melahirkan Aldy. Benar tidak?" tanya Demitrio sambil lalu."Benar, Pak," Rani mengangguk mengiyakan."Dari sebelum Bu Yanti kecelakaan mengalami lalu lintas juga ya?" Demitrio mengetuk-ngetukan jemarinya pada meja kaca. Ia ingin memberi kesan santai pada Rani. Dengan demikian diharapkan Rani akan rileks dan kehilangan kewaspadaan."Benar, Pak." Rani kembali mengangguk."Siapa yang Anda asuh tiga tahun yang lalu di sana? Toh Aldy belum lahir sementara Bu Yanti juga masih sehat walafiat? Masa Anda mengasuh P
"Jangan, Pak Polisi. Saya jangan distrum. Saya akan mengaku." Rani ikut berdiri dari kursi. Ia takut distrum seperti adegan di film-film. Rasanya pasti sangat menyakitkan."Bagus. Kalau begitu ceritakan saja yang sebenar-benarnya. Kalau Anda kooperatif, pemeriksaan akan lebih selesai." Demitrio kembali duduk di kursinya. Demikian juga dengan Rani. Setelah berdiam diri sejenak, Rani pun mulai berbicara."Bu Yanti itu manipulatif. Kalau di depan orang banyak, ia selalu bersikap lembut dan baik hati. Padahal sebenarnya galak dan menyebalkan. Saya benci padanya." Rani memulai ceritanya."Lantas Anda mulai membakar apartemen untuk membalas dendam pada Bu Yanti. Begitu?" Demitrio mengubah posisi duduknya. Ia telah mendapatkan motif Rani mencelakai majikannya."Tidak, Pak. Saya tidak seberani itu membakar apartemen." Rani menggeleng."Malam dini hari itu memang terjadi kebakaran. Kami semua tentu saja panik. Saat Bik Hasni mengambil handuk di kamar mandi dan Lisna meminta saya menjaga Bu Yan