Demitrio berdecak saat merasakan ponsel di sakunya bergetar. Pasti ibunya yang menelepon. Demitrio memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Itu artinya janjinya untuk bertemu dengan Bu Ambar dan Ishana, sudah terlambat hampir dua jam lamanya."Ya, Bu?" Demitrio memasang head set karena sedang berkendara. Bersiap-siap mendengar omelan sang ibu. Ibunya telah melakukan panggilan sebanyak enam kali, tanpa ia sempat mengangkatnya. Ia sedang sibuk mengurus Kiran dan korban-korban kecelakaan lainnya pada saat ibunya menelepon."Kamu ini bagaimana sih, Yo? Janji jam tujuh malam. Ini sudah pukul sembilan, kamu belum sampai di rumah. Ibu jadi tidak enak dengan Bu Ambar dan Ishana.""Maaf, Bu. Ada kejadian darurat. Kiran kecelakan--""Hah, Kiran kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?""Kiran hanya menderita luka-luka kecil. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit bersama dengan korban-korban lainnya. Kecelakaan yang Kiran alami ini beruntun. Rio terlambat kar
Kiran membolak-balik tubuhnya di ranjang gelisah. Nyaris seminggu tidak melakukan aktivitas apapun dan hanya berbaring di rumah, membuatnya bosan tingkat dewa. Kiran beranjak dari ranjang.Tidak bisa! Ia akan gila kalau terus golek-golek di kamar. Toh luka-lukanya sudah mulai mengering. Memar-memarnya juga telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Artinya sudah hampir sembuh seperti sediakala. Ponselnya berdering. Kiran bergegas meraihnya dari nakas. Senyumnya merekah saat memindai Pak Jaswin lah yang meneleponnya."Ya, Pak. Saya siap bertugas!" Kiran menjawab semangat."Saya belum mengatakan apa-apa padamu. Mengapa kamu menjawab siap bertugas saja?"Ya, karena Bapak meneleponlah. Kalau tidak ada tugas, ngapain juga Bapak capek-capek menelepon saya?"Karena saya sekarang memang sudah siap bertugas, Pak." Kiran memberi jawaban yang lebih sopan. Bisa diiris kecil-kecil dirinya kalau berani berbicara sefrontal itu pada Pak Jaswin. "Kamu memang benar-benar anak muda yang bersemang
"Sudah berapa lama Anda menjadi babysitter Aldy?" Demitrio mulai menginterogasi Rani Permata Sari. Ia telah mendapatkan benang merah atas peristiwa tewasnya Irianti Sadikin atau yang kerap disapa Yanti. Kiran berperan penting dalam penyelidikannya kali ini. Karena atas informasi dan barang bukti dari Kiran lah, ia menginterogasi Rani untuk kedua kalinya siang ini."Sekitar tiga setengah tahun yang lalu, Pak," jawab Rani jujur."Tiga setengah tahun. Itu berarti dari sebelum Bu Yanti melahirkan Aldy. Benar tidak?" tanya Demitrio sambil lalu."Benar, Pak," Rani mengangguk mengiyakan."Dari sebelum Bu Yanti kecelakaan mengalami lalu lintas juga ya?" Demitrio mengetuk-ngetukan jemarinya pada meja kaca. Ia ingin memberi kesan santai pada Rani. Dengan demikian diharapkan Rani akan rileks dan kehilangan kewaspadaan."Benar, Pak." Rani kembali mengangguk."Siapa yang Anda asuh tiga tahun yang lalu di sana? Toh Aldy belum lahir sementara Bu Yanti juga masih sehat walafiat? Masa Anda mengasuh P
"Jangan, Pak Polisi. Saya jangan distrum. Saya akan mengaku." Rani ikut berdiri dari kursi. Ia takut distrum seperti adegan di film-film. Rasanya pasti sangat menyakitkan."Bagus. Kalau begitu ceritakan saja yang sebenar-benarnya. Kalau Anda kooperatif, pemeriksaan akan lebih selesai." Demitrio kembali duduk di kursinya. Demikian juga dengan Rani. Setelah berdiam diri sejenak, Rani pun mulai berbicara."Bu Yanti itu manipulatif. Kalau di depan orang banyak, ia selalu bersikap lembut dan baik hati. Padahal sebenarnya galak dan menyebalkan. Saya benci padanya." Rani memulai ceritanya."Lantas Anda mulai membakar apartemen untuk membalas dendam pada Bu Yanti. Begitu?" Demitrio mengubah posisi duduknya. Ia telah mendapatkan motif Rani mencelakai majikannya."Tidak, Pak. Saya tidak seberani itu membakar apartemen." Rani menggeleng."Malam dini hari itu memang terjadi kebakaran. Kami semua tentu saja panik. Saat Bik Hasni mengambil handuk di kamar mandi dan Lisna meminta saya menjaga Bu Yan
"Mbak Mega dan Bang Arman pulang aja duluan. Saya nanti dijemput papa," usul Kiran pada kedua rekan kerjanya. Mega dan Bang Arman memang sudah bersiap-siap untuk pulang."Ngapain papa lo ke sini, Ki? Udah malem lagi ini." Mega memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.31 WIB. "Bokapnya 'kan pengacara, Ga. Urusannya ya nggak jauh-jauh dari pengadilan dan kantor polisi." Arman menimpali pertanyaan Mega. "Sebentar, Mbak." Kiran pura-pura mengangkat telepon."Ya, Pa? Papa sudah mau sampai ya? Ya sudah, Kiran tunggu di sini ya?" Kiran menutup ponsel. "Ya udah kalo bokap lo mau dateng. Kami pulang dulu," pungkas Mega. Ia kemudian memberi kode pada Arman untuk melanjutkan perjalanan. Setelah Mega dan Bang Arman berlalu, Kiran kembali mengeluarkan ponselnya. Ia kemudian menekan sebuah nama dikontaknya. Panggilannya tidak langsung dijawab. Setelah menunggu sekian lama dan mengira panggilannya diabaikan, terdengar satu sapaan dingin."Hallo."Alhamdullilah."Om, saya ke tempat Om seka
Set dah ini orang. Bisaan ya, mulut dengan bahasa tubuhnya tidak sinkron?Mendengar suara tawa tertahan, Kiran melirik ke samping. Kedua rekan Demitrio itu nyengir lebar melihat aksi Demitrio. Pasti mereka berdua mentertawakan keapesannya. Sialan emang!"Begini, Om. Saya menangkap banyak kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, bagaimana mungkin Rani yang notabene cuma babysitter biasa, bisa menggunakan jasa pengacara top seperti Harry Soebrata? Kedua, kenapa Om tidak berani melakukan konfrensi pers dan menyatakan Rani bersalah? Apa yang membuat Om ragu?" Sesuai dengan permintaan Demitrio, Kiran langsung saja berbicara pada poinnya.Jantung, kalian bae-bae di sana ya? Jangan jumplaitan mulu. Gue harus melobby si Om soalnya. "Kedua pertanyaanmu itu jawabannya sama. Saya tidak yakin kalau Rani adalah pelaku tunggal dalam kasus ini. Entah itu kasus soal mencelakai Bu Yanti, atau kasus yang lebih besar lagi. Soal kebakaran itu misalnya. Bisa saja itu bukanlah peristiwa kebakaran semata. Mel
Sudah lebih dari setengah jam Kiran duduk di hadapan Rani. Namun ia belum berhasil mengorek keterangan yang berarti. Rani kerap menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala atau kata tidak tahu. "Kenapa sih Mbak Rani ingin mencelakai Bu Yanti? Padahal Bu Yanti itu baik sekali 'kan kepada Mbak." Kiran tidak putus asa. Ia terus mencari topik pembicaraan yang harus dijawab dengan kalimat. Bukan hanya dengan bahasa tubuh belaka."Yang terlihat oleh mata tidak selalu seperti itu kenyataannya," sahut Rani getir. "Tidak yang selalu terlihat oleh mata lho, Mbak. Soalnya kedua orang tua Mbak sendiri juga mengakui kalau Bu Yanti itu baik sekali. Kalau Mbak tidak percaya, coba lihat ini." Kiran mengeluarkan ponselnya. Memperlihatkan video hasil wawancara rekannya, Renny dengan kedua orang tua Rani di kampung.Dalam video wawancara itu kedua orang tua tampak sangat terpukul. Mereka mengatakan bahwa Bu Yanti itu adalah sosok majikan yang sangat baik. Bu Retno, ibu Rani juga menceritakan bahwa B
"Lisna mengambil ponselnya di kamar, Pak. Karena saat itu gelap gulita."Ujian pertama lolos. Jawaban Rani tidak berubah."Baik. Sekarang saya bertanya pada Anda sekali lagi. Mengapa Anda ingin mencelakai Bu Yanti? Jangan bilang kalau Anda membenci beliau. Larena gestur tubuh Anda saat mengatakannya, berbanding terbalik dengan kata-kata Anda. Jujurlah kalau Anda masih ingin menikmati matahari pagi di luar tembok penjara." Hening.Rani tidak menjawab. Ia hanya menunduk sembari memandang jari jemarinya yang saling terjalin di pangkuan. Pandangan Rani kosong."Kalau menurut Mbak Rani, siapa yang mencelakakan Bu Yanti?" Kiran mengalihkan topik pembicaraan. Terlalu ditekan bisa membuat Rani kembali diam seribu basa, seperti awal-awal interogasinya tadi."Tidak siapa-siapa, Mbak." Rani menggeleng lemah. "Bu Yanti pasti terjatuh saat mencoba memutar kursi roda di kegelapan. Bu Yanti pasti takut kembali saya celakai," imbuh Rani lagi. "Oh begitu. Lantas soal Pak Harry Soebrata. Apa Mbak ma