Kiran membolak-balik tubuhnya di ranjang gelisah. Nyaris seminggu tidak melakukan aktivitas apapun dan hanya berbaring di rumah, membuatnya bosan tingkat dewa. Kiran beranjak dari ranjang.Tidak bisa! Ia akan gila kalau terus golek-golek di kamar. Toh luka-lukanya sudah mulai mengering. Memar-memarnya juga telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Artinya sudah hampir sembuh seperti sediakala. Ponselnya berdering. Kiran bergegas meraihnya dari nakas. Senyumnya merekah saat memindai Pak Jaswin lah yang meneleponnya."Ya, Pak. Saya siap bertugas!" Kiran menjawab semangat."Saya belum mengatakan apa-apa padamu. Mengapa kamu menjawab siap bertugas saja?"Ya, karena Bapak meneleponlah. Kalau tidak ada tugas, ngapain juga Bapak capek-capek menelepon saya?"Karena saya sekarang memang sudah siap bertugas, Pak." Kiran memberi jawaban yang lebih sopan. Bisa diiris kecil-kecil dirinya kalau berani berbicara sefrontal itu pada Pak Jaswin. "Kamu memang benar-benar anak muda yang bersemang
"Sudah berapa lama Anda menjadi babysitter Aldy?" Demitrio mulai menginterogasi Rani Permata Sari. Ia telah mendapatkan benang merah atas peristiwa tewasnya Irianti Sadikin atau yang kerap disapa Yanti. Kiran berperan penting dalam penyelidikannya kali ini. Karena atas informasi dan barang bukti dari Kiran lah, ia menginterogasi Rani untuk kedua kalinya siang ini."Sekitar tiga setengah tahun yang lalu, Pak," jawab Rani jujur."Tiga setengah tahun. Itu berarti dari sebelum Bu Yanti melahirkan Aldy. Benar tidak?" tanya Demitrio sambil lalu."Benar, Pak," Rani mengangguk mengiyakan."Dari sebelum Bu Yanti kecelakaan mengalami lalu lintas juga ya?" Demitrio mengetuk-ngetukan jemarinya pada meja kaca. Ia ingin memberi kesan santai pada Rani. Dengan demikian diharapkan Rani akan rileks dan kehilangan kewaspadaan."Benar, Pak." Rani kembali mengangguk."Siapa yang Anda asuh tiga tahun yang lalu di sana? Toh Aldy belum lahir sementara Bu Yanti juga masih sehat walafiat? Masa Anda mengasuh P
"Jangan, Pak Polisi. Saya jangan distrum. Saya akan mengaku." Rani ikut berdiri dari kursi. Ia takut distrum seperti adegan di film-film. Rasanya pasti sangat menyakitkan."Bagus. Kalau begitu ceritakan saja yang sebenar-benarnya. Kalau Anda kooperatif, pemeriksaan akan lebih selesai." Demitrio kembali duduk di kursinya. Demikian juga dengan Rani. Setelah berdiam diri sejenak, Rani pun mulai berbicara."Bu Yanti itu manipulatif. Kalau di depan orang banyak, ia selalu bersikap lembut dan baik hati. Padahal sebenarnya galak dan menyebalkan. Saya benci padanya." Rani memulai ceritanya."Lantas Anda mulai membakar apartemen untuk membalas dendam pada Bu Yanti. Begitu?" Demitrio mengubah posisi duduknya. Ia telah mendapatkan motif Rani mencelakai majikannya."Tidak, Pak. Saya tidak seberani itu membakar apartemen." Rani menggeleng."Malam dini hari itu memang terjadi kebakaran. Kami semua tentu saja panik. Saat Bik Hasni mengambil handuk di kamar mandi dan Lisna meminta saya menjaga Bu Yan
"Mbak Mega dan Bang Arman pulang aja duluan. Saya nanti dijemput papa," usul Kiran pada kedua rekan kerjanya. Mega dan Bang Arman memang sudah bersiap-siap untuk pulang."Ngapain papa lo ke sini, Ki? Udah malem lagi ini." Mega memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.31 WIB. "Bokapnya 'kan pengacara, Ga. Urusannya ya nggak jauh-jauh dari pengadilan dan kantor polisi." Arman menimpali pertanyaan Mega. "Sebentar, Mbak." Kiran pura-pura mengangkat telepon."Ya, Pa? Papa sudah mau sampai ya? Ya sudah, Kiran tunggu di sini ya?" Kiran menutup ponsel. "Ya udah kalo bokap lo mau dateng. Kami pulang dulu," pungkas Mega. Ia kemudian memberi kode pada Arman untuk melanjutkan perjalanan. Setelah Mega dan Bang Arman berlalu, Kiran kembali mengeluarkan ponselnya. Ia kemudian menekan sebuah nama dikontaknya. Panggilannya tidak langsung dijawab. Setelah menunggu sekian lama dan mengira panggilannya diabaikan, terdengar satu sapaan dingin."Hallo."Alhamdullilah."Om, saya ke tempat Om seka
Set dah ini orang. Bisaan ya, mulut dengan bahasa tubuhnya tidak sinkron?Mendengar suara tawa tertahan, Kiran melirik ke samping. Kedua rekan Demitrio itu nyengir lebar melihat aksi Demitrio. Pasti mereka berdua mentertawakan keapesannya. Sialan emang!"Begini, Om. Saya menangkap banyak kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, bagaimana mungkin Rani yang notabene cuma babysitter biasa, bisa menggunakan jasa pengacara top seperti Harry Soebrata? Kedua, kenapa Om tidak berani melakukan konfrensi pers dan menyatakan Rani bersalah? Apa yang membuat Om ragu?" Sesuai dengan permintaan Demitrio, Kiran langsung saja berbicara pada poinnya.Jantung, kalian bae-bae di sana ya? Jangan jumplaitan mulu. Gue harus melobby si Om soalnya. "Kedua pertanyaanmu itu jawabannya sama. Saya tidak yakin kalau Rani adalah pelaku tunggal dalam kasus ini. Entah itu kasus soal mencelakai Bu Yanti, atau kasus yang lebih besar lagi. Soal kebakaran itu misalnya. Bisa saja itu bukanlah peristiwa kebakaran semata. Mel
Sudah lebih dari setengah jam Kiran duduk di hadapan Rani. Namun ia belum berhasil mengorek keterangan yang berarti. Rani kerap menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala atau kata tidak tahu. "Kenapa sih Mbak Rani ingin mencelakai Bu Yanti? Padahal Bu Yanti itu baik sekali 'kan kepada Mbak." Kiran tidak putus asa. Ia terus mencari topik pembicaraan yang harus dijawab dengan kalimat. Bukan hanya dengan bahasa tubuh belaka."Yang terlihat oleh mata tidak selalu seperti itu kenyataannya," sahut Rani getir. "Tidak yang selalu terlihat oleh mata lho, Mbak. Soalnya kedua orang tua Mbak sendiri juga mengakui kalau Bu Yanti itu baik sekali. Kalau Mbak tidak percaya, coba lihat ini." Kiran mengeluarkan ponselnya. Memperlihatkan video hasil wawancara rekannya, Renny dengan kedua orang tua Rani di kampung.Dalam video wawancara itu kedua orang tua tampak sangat terpukul. Mereka mengatakan bahwa Bu Yanti itu adalah sosok majikan yang sangat baik. Bu Retno, ibu Rani juga menceritakan bahwa B
"Lisna mengambil ponselnya di kamar, Pak. Karena saat itu gelap gulita."Ujian pertama lolos. Jawaban Rani tidak berubah."Baik. Sekarang saya bertanya pada Anda sekali lagi. Mengapa Anda ingin mencelakai Bu Yanti? Jangan bilang kalau Anda membenci beliau. Larena gestur tubuh Anda saat mengatakannya, berbanding terbalik dengan kata-kata Anda. Jujurlah kalau Anda masih ingin menikmati matahari pagi di luar tembok penjara." Hening.Rani tidak menjawab. Ia hanya menunduk sembari memandang jari jemarinya yang saling terjalin di pangkuan. Pandangan Rani kosong."Kalau menurut Mbak Rani, siapa yang mencelakakan Bu Yanti?" Kiran mengalihkan topik pembicaraan. Terlalu ditekan bisa membuat Rani kembali diam seribu basa, seperti awal-awal interogasinya tadi."Tidak siapa-siapa, Mbak." Rani menggeleng lemah. "Bu Yanti pasti terjatuh saat mencoba memutar kursi roda di kegelapan. Bu Yanti pasti takut kembali saya celakai," imbuh Rani lagi. "Oh begitu. Lantas soal Pak Harry Soebrata. Apa Mbak ma
Kiran melirik Demitrio yang berkendara dalam diam. Kedua tangan Demitrio dengan lincah mengendalikan kemudi, sementara tatapannya lurus ke depan. Kiran amati, selama berkendara Demitrio tidak pernah memotong jalan kendaraan lagi apalagi mengebut. Demitrio adalah seorang pengguna jalan yang baik. Tidak salah memang kalau dirinya menjadi seorang polisi."Om Demit," Kiran yang tidak tahan terlalu lama berada dalam keheningan, menyapa Demitrio."Sudah saya katakan berulang kali. Jangan memanggil saya Demit. Saya juga tidak suka dipanggil om. Saya bukan om kamu," gerutu Demitrio kesal. "Sorry, Om. Kebiasaan dari kecil sih. Dulu kita 'kan musuhan." Kiran meringis.Sekarang pun masih sepertinya."Itu karena kamu terus mengingat kata-kata si Rasya sialan itu." Demitrio berdecak. Asal mula Kiran memanggilnya Demit adalah karena mulut usil Alrasya Abiyaksa. Pengacara bermulut ember itu yang memberitahu Kiran, perihal mencari tahu teman ataupun musuhnya. Jikalau teman, maka mereka akan memanggi
Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi
"Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."
"Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan
"Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk
Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa
"Keparat! Jurnalis tukang ikut campur ini tidak ada kapok-kapoknya mencampuri urusanku!" Pak Irman membanting remote televisi. Ia sudah mengusahakan segala cara untuk melenyapkan sang jurnalis. Dimulai dari memanipulasi Lisna, Murni, bahkan meminjam tangan anak buah Juan untuk membajak pesawat. Tapi jurnalis sialan ini masih tetap hidup sampai hari ini. Entah nyawanya ada sembilan atau memang keberuntungannya yang tak habis-habis. Ia kehilangan cara untuk membungkamnya.Di tengah kekesalan, tangis Aldy kembali menggema di seantero ruangan. Dikarenakan rumah kontrakan ini kecil, tangisan Aldy mendominasi satu rumah. Kepala Pak Irman makin pusing karenanya."Bibik bisa tidak mendiamkan Aldy?" Pak Irman meneriaki Bik Hasni. Ia panik karena sepertinya ia tidak akan bisa lolos lagi dari hukuman kali ini. Nasibnya kini bagai telur di ujung tanduk."Sabar, Pak. Namanya juga anak kecil. Mungkin Aldy resah karena orang tuanya terus bermasalah," sindir Bik Hasni kalem."Maksud Bibik apa? Bibik
Konferensi pers baru saja usai. Pihak kepolisian telah memberi keterangan kepada media massa perihal bunuh dirinya Bu Kartika. Mengenai alasannya, pihak kepolisian memperhalus dengan mengatakan bahwa ada persoalan pribadi yang membuat Bu Kartika depresi. Ketika para jurnalis menanyakan apa persoalan pribadi Bu Kartika, pihak kepolisian mengatakan itu adalah hal yang privacy. Semua pihak diminta untuk menghormati keputusan keluarga yang tidak ingin membagi ke publik perihal depresinya Bu Kartika."Gue jadi suudzon ini. Persoalan pribadinya apa ya yang membuat Bu Kartika sampai bunuh diri? Pasti ada hal besar yang kalo tersingkap ke publik bakalan heboh. Lo tahu nggak apa masalahnya, Ki? Kasih gue bocoran dong. Senapsaran gue."Sembari menyimpan peralatan live, Andika ngedumel. Ia paling gedeg jikalau meliput berita yang dinfokan cuma sepotong-sepotong. Jika keponya meronta-ronta."Kita berdua sama-sama ngejogrok di mari dari pagi. Info yang kita berdua dapatkan juga sama kali."Kiran m
"Saya dan anak-anak izin menangkap Pak Irman besok pagi. Semua berkas dan bukti-bukti pendukung sudah saya siapkan."Demitrio berbicara langsung pada pokok permasalahan saat sang atasan datang. Walau ia sudah berkali-kali mengatakannya pada sang atasan, Demitrio tetap meminta izinnya. Adab harus diutamakan. Istimewa penangkapan ini juga akan menghancurleburkan citra keluarga besar sang atasan. Pak Irman pasti akan bernyanyi seperti ancamannya pada Bu Kartika."Tangkap saja, Yo. Bukti-buktinya sudah valid bukan? Gas lah." Setelah memikirkan semuanya masak-masak, Pak Suroto memutuskan akan bersikap profesional. Ia tahu, pasti akan ada akibat dari penangkapan Irman ini. Sikap diam istrinya adalah salah satu pertanda. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan. Ia sudah bersumpah saat mengemban tugas sebagai penegak hukum."Terima kasih, Pak." Pak Suroto mengucapkan terima kasih saat Pak Amat menghidangkan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Walaupun ia baru menghabiskan secangkir kopi di ru