"Dasar bajingan!" Demitrio memaki geram setelah bayangan Kiran dan Om Bima menghilang. Hal yang pertama kali ia lakukan adalah menelepon timnya. Ia menjelaskan tentang peristiwa penembakan yang terjadi di depan rumah Om Bima. Setelahnya ia mencabut pistol dari pinggang sembari memeriksa keadaan. Sepertinya Kiran benar. Bahwa si penembak sudah pergi. Karena ia tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di TKP. Kecuali beberapa tetangga Om Bima yang mengintip dibalik pagar-pagar rumah mereka. "Keparat!" Demitrio kembali memaki. Ia melihat ada lubang bekas tembakan pada kaca samping mobilnya. Ada titik lain juga yang terlihat retak-retak di seputarannya."Nyaris saja," Demitrio menghembuskan napas napas kasar sekaligus lega. Kalau saja tadi Kiran terlambat menunduk sepersekian detik, pasti lubang kecil ini telah bersarang ke tubuhnya. Sejurus kemudian terdengar suara sirene ambulance dan polisi yang saling bersahutan. Ketika delapan orang rekannya turun dari dua unit mobil patroli, Demi
Tiga cangkir kopi yang sudah diminum setengah terhampar di meja kaca. Tampak tiga laki-laki berbeda generasi duduk saling berhadapan. Irjenpol Orlando Atmanegara duduk di kursi kebesarannya. Di hadapannya, sang putra AKP Demitrio Atmanegara duduk berdampingan dengan Bima Sakti Raffardan-- pengacara senior sekaligus alias ayah kandung Kiran."Setelah membaca hasil interogasi Juper terhadap Lisna, bagaimana tanggapan kalian berdua?" Orlando bersedekap. Menunggu tanggapan Demitrio dan Bima yang baru selesai membaca dokumen di hadapannya."Lisna memang mencurigakan. Tapi kita tetap harus mencari saksi atau bukti baru yang bisa menjerat Lisna," ucap Demitrio sembari menutup dokumen. Sedari awal sebenarnya ia sudah curiga pada Lisna. Ia hanya belum menemukan bukti saja."Apakah saat ini Lisna masih tinggal bersama dengan Pak Irman?" Bima membuka suara."Tidak lagi, Om." Demitrio menggeleng."Menurut penyelidikian salah seorang anak buah saya, Rani dan Lisna sudah dipecat oleh Pak Irman. Kar
Kiran membaca biografi Irianti Sadikin melalui laptop. Tidak bisa bekerja di lapangan, tidak menyurutkan semangatnya untuk menguak kasus tewasnya Bu Yanti. Dibantu oleh Andika dan Renny yang bolak-balik ke rumah sakit, Kiran mulai mengumpulkan fakta-fakta yang bisa mendukung kasus ini.Kiran membuka folder yang dikirimkan Renny melalui email. Ia memang meminta rekannya itu untuk mengirimkan hasil wawancaranya dengan kerabat Bu Yanti beberapa waktu lalu.Setelah email dibuka, Kiran membaca dengan seksama jati diri Bu Yanti. Bu Yanti memiliki nama lengkap Irianti Soerjadi sebelum menikah dengan Pak Irman Sadikin. Irianti Soerjadi adalah putri tunggal Pak Soerjadi dan Bu Wesiati Soerjadi. Pak Soerjadi adalah seorang pengusaha tambang batu bara. Sementara Bu Wesiati adalah ibu rumah tangga biasa. Bu Yanti lahir 37 tahun yang lalu. Pada saat Bu Yanti berusia 12 tahun, ibunya meninggal dunia karena sakit. Selanjutnya Bu Yanti remaja diasuh oleh Pak Soerjadi dibantu oleh seorang ART yang ber
"Saya yakin, anak saya tidak bunuh diri, Pak. Orang dua jam sebelum meninggal, Lisna baru saja mengantarkan uang bulanan dan uang kuliah kedua adiknya. Lisna juga berjanji akan datang lagi minggu depan, untuk memberikan uang sewa ruko. Selama kami sekeluarga bercengkrama, Lisna selalu tertawa kok. Sedikitpun tampak tanda-tanda kalau anak saya tertekan. Saya yakin anak saya ini bukan bunuh diri, tapi dibunuh!" Pak Suhendar memukul meja dengan geram. Ia masih belum bisa menerima kepergian putri sulungnya yang tragis. Padahal seminggu telah berlalu.Orlando yang saat ini tengah menginterogasi orang tua Lisna, merenung sejenak. Ia mulai bisa merangkai kepingan puzzle yang sebelumnya hilang."Jadi selama ini Lisna yang membiayai uang kuliah adik-adiknya ya?" ucap Orlando sambil mengecek sesuatu di laptop. Ya, ia mengecek data-data diri Lisna. "Iya, Pak Polisi. Biasanya Lisna datang jikalau jadwal pembayaran uang kuliah adik-adiknya sudah jatuh tempo. Ia lebih suka memberikan uangnya lang
Demitrio meringis saat melihat siapa-siapa saja yang ada di ruang makan. Adiknya sudah tiba dari Perth, berikut suami bule dan putra kecilnya. Bukan itu saja, anak-anak dari rekan kerja kedua orang tuanya juga sudah mulai berdatangan berikut keluarga kecil masing-masing. Itu artinya dirinya harus siap di kick kanan kiri atas bawah karena masih menjomblo. Di antara anak rekan-rekan kedua orang tuanya, tinggal dirinya seorang yang belum menikah. Sementara mereka yang sepantarannya sudah memiliki satu atau dua orang anak."Bang Rio, sini peluk. Mikha rindu!" Demitrio berdecak saat adiknya berlari kearahnya dengan kedua tangan terentang lebar. Mikhaila kemudian melompat dalam pelukannya dan bergelantungan seperti seekor koala.Drama pembuka telah dimulai."Pelan-pelan, Mikha. Patah nanti pinggang Abang. Kamu sekarang berat sekali." Demitrio menurunkan tubuh sang adik dengan ekspresi pura-pura keberatan."Tuh kan, Mas Bule. Kemarin saya bilang kalau saya udah gendut, Mas bilangnya tidakkk.
"Udah lama banget kita nggak me time begini ya, Mbak Lexa?"Kiran mengamati jalanan dengan mata berbinar. Nyaris sepuluh hari penuh dipingit di rumah, bisa menikmati udara segar begini rasanya sungguh menyenangkan. Menghadiri ulang tahun pernikahan Om Lando dan Tante Gadis ini adalah keluar rumah perdananya. Kedua orang tuanya menganggap lukanya sudah nyaris sembuh, makanya ia diperbolehkan menghadiri pesta ini.Kiran makin senang karena kedua orang mengizinkannya ikut dengan Alexa berkeliling kota. Saat ini ia tengah duduk di samping Alexa yang tengah menyetir. Rencananya mereka akan berkeliling-keliling kota Jakarta terlebih dahulu sebelum Alexa mengantarnya pulang ke rumah. Kedua orang tuanya masih berada di kediaman Om Orlando dan Tante Gadis. Para orang tua ingin bernostalgia mengenang masa lalu katanya. Makanya saat ini ia bisa bersenang-senang bersama Alexa. Setelah menikah dengan petani sukses Jenggala Buana Sagara, Alexa memang ikut dengan sang suami menetap di Desa Pelem. Sa
"Ini Om, hasil video saya. Tidak HDR memang karena pencahayaannya darurat. Tapi cukup jelas untuk melihat nomor polisi dan wajah orang-orang yang terekam di sana." Kiran menyerahkan ponselnya pada Demitrio. Saat ia tiba di rumah, Demitrio sudah lebih dulu menunggu di depan pintu gerbang. Demitrio mengerutkan dahi, sesaat setelah ponsel ada di tangannya. Ekspresinya sangat serius saat memandangi ponsel."Bagaimana Om? Sangat mencurigakan bukan? Untung saya tadi sempat merekamnya. Dengan begitu Om jadi punya bukti untuk menekan baik itu Pak Irman maupun Pak Harry." Kiran membusungkan dada. Bisa menyombong di hadapan Demitrio itu bangganya level benua."Bukan video mereka berdua yang saya amati. Tapi ini, si dokter Khairil tanpa Anwar mengirim pesan. Katanya apa kamu bersedia ditraktir makan malam?" Demitrio menjelingkan mata sedemikian rupa pada Kiran."Hah? Masa sih? 'Kan kemarin-kemarin sudah saya jawab tidak." Kiran menepuk keningnya. Dokter Khairil mengirim pesan di saat yang tida
"Kurang itu lebam-lebamnya, Ndan. Tambahin lagi. Biar si Kiran kayak habis ditabokin bokapnya beneran."Alexa memberi usul pada Pandan Wangi. Hari ini Kiran akan menyamar menjadi anak yang teraniya karena ayahnya menikah lagi. Rencananya Kiran akan berakting mencari pekerjaan menjadi ART paruh waktu di rumah Pak Irman. Sementara dirinya sendiri akan menyamar menjadi tukang ojek berjaket hijau. Dengan begitu ia bisa mengontrol Kiran selama bekerja, tanpa dicurigai."Kok temanya anak teraniaya sih? Bukannya lebih dramatis jalau berakting menjadi istri yang teraniaya?" Sembari menambahkan aksen bekas lebam di tulang pipi Kiran, Pandan Wangi memberi usul."Kagak bisa, Ndan. Soalnya si Marni ini pelakor. Mencari simpatinya dengan menjadi istri yang teraniaya, jelas tidak akan berhasil. Kalau anak yang terlantar, masih ada kemungkinan. Soalnya si Marni ini konon katanya anak yatim piatu yang tinggal dan dibesarkan di panti asuhan. Pada saat keluarga Pak Irman Sadikin mengunjungi panti asuha
Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi
"Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."
"Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan
"Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk
Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa
"Keparat! Jurnalis tukang ikut campur ini tidak ada kapok-kapoknya mencampuri urusanku!" Pak Irman membanting remote televisi. Ia sudah mengusahakan segala cara untuk melenyapkan sang jurnalis. Dimulai dari memanipulasi Lisna, Murni, bahkan meminjam tangan anak buah Juan untuk membajak pesawat. Tapi jurnalis sialan ini masih tetap hidup sampai hari ini. Entah nyawanya ada sembilan atau memang keberuntungannya yang tak habis-habis. Ia kehilangan cara untuk membungkamnya.Di tengah kekesalan, tangis Aldy kembali menggema di seantero ruangan. Dikarenakan rumah kontrakan ini kecil, tangisan Aldy mendominasi satu rumah. Kepala Pak Irman makin pusing karenanya."Bibik bisa tidak mendiamkan Aldy?" Pak Irman meneriaki Bik Hasni. Ia panik karena sepertinya ia tidak akan bisa lolos lagi dari hukuman kali ini. Nasibnya kini bagai telur di ujung tanduk."Sabar, Pak. Namanya juga anak kecil. Mungkin Aldy resah karena orang tuanya terus bermasalah," sindir Bik Hasni kalem."Maksud Bibik apa? Bibik
Konferensi pers baru saja usai. Pihak kepolisian telah memberi keterangan kepada media massa perihal bunuh dirinya Bu Kartika. Mengenai alasannya, pihak kepolisian memperhalus dengan mengatakan bahwa ada persoalan pribadi yang membuat Bu Kartika depresi. Ketika para jurnalis menanyakan apa persoalan pribadi Bu Kartika, pihak kepolisian mengatakan itu adalah hal yang privacy. Semua pihak diminta untuk menghormati keputusan keluarga yang tidak ingin membagi ke publik perihal depresinya Bu Kartika."Gue jadi suudzon ini. Persoalan pribadinya apa ya yang membuat Bu Kartika sampai bunuh diri? Pasti ada hal besar yang kalo tersingkap ke publik bakalan heboh. Lo tahu nggak apa masalahnya, Ki? Kasih gue bocoran dong. Senapsaran gue."Sembari menyimpan peralatan live, Andika ngedumel. Ia paling gedeg jikalau meliput berita yang dinfokan cuma sepotong-sepotong. Jika keponya meronta-ronta."Kita berdua sama-sama ngejogrok di mari dari pagi. Info yang kita berdua dapatkan juga sama kali."Kiran m
"Saya dan anak-anak izin menangkap Pak Irman besok pagi. Semua berkas dan bukti-bukti pendukung sudah saya siapkan."Demitrio berbicara langsung pada pokok permasalahan saat sang atasan datang. Walau ia sudah berkali-kali mengatakannya pada sang atasan, Demitrio tetap meminta izinnya. Adab harus diutamakan. Istimewa penangkapan ini juga akan menghancurleburkan citra keluarga besar sang atasan. Pak Irman pasti akan bernyanyi seperti ancamannya pada Bu Kartika."Tangkap saja, Yo. Bukti-buktinya sudah valid bukan? Gas lah." Setelah memikirkan semuanya masak-masak, Pak Suroto memutuskan akan bersikap profesional. Ia tahu, pasti akan ada akibat dari penangkapan Irman ini. Sikap diam istrinya adalah salah satu pertanda. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan. Ia sudah bersumpah saat mengemban tugas sebagai penegak hukum."Terima kasih, Pak." Pak Suroto mengucapkan terima kasih saat Pak Amat menghidangkan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Walaupun ia baru menghabiskan secangkir kopi di ru