"Kamu mulai bersih-bersih dari ruang tamu saja. Setelah itu lanjut ke dapur dan kamar utama. Karena hanya tiga ruangan itu yang sudah selesai di renovasi. Lagi pula calon suami saya akan singgah ke sini sekitar dua jam lagi. Beliau paling suka duduk menonton televisi di ruang tamu ditemani secangkir kopi. Jadi pastikan semua perabot di ruang tamu ini bersih dan rapi. Alat bersih-bersihnya ada di dapur." Marni mengarahkan Minah, pembantu baru paruh waktu ke ruang tamu."Ingat ya? Nanti saat calon suami saya datang, kamu segera sembunyi gudang lantai tiga. Karena hanya gudang yang tidak akan calon suami saya datangi. Kamu jangan keluar, sampai saya mengetuk pintu gudang. Mengerti, Minah?" Marni memperingati Minah sekali lagi."Mengerti, Nyonya." Kiran mengangguk takzim. Saat ini ia telah berganti nama menjadi Minah. Dengan begitu identitas aslinya tetap terlindungi."Saya mempekerjakan kamu karena kasihan. Jadi kamu jangan berbuat macam-macam dengan mencoba mencuri atau hal-hal krimina
Kiran berdiri di ujung jalan. Ia tengah menunggu Alexa yang berjanji akan menjemputnya pukul lima sore. Benak Kiran susah penuh dengan berita yang akan ia ceritakan pada Alexa. Sungguh, untuk pertama kalinya ia sangat antusias membongkar sebuah kasus. "Akhirnya." Kiran mendesah lega. Ia melihat motor Alexa dari kejauhan. Ia mengenali nomor platnya. Semakin motor mendekat, Kiran merasa ada yang salah. Alexa memang tinggi karena Om Axel itu keturunan Prancis. Tetapi rasanya tidak sejangkung dan sekekar ini. Istimewa jaket hijau khas ojek online yang dikenakan tampak ngatung di lengannya. Rasa-rasanya bukan Alexa yang mengendarai motor. Jangan-jangan..."Ayo, naik. Ngapain kamu terus memandangi saya? Rindu sekali ya karena sudah beberapa hari tidak saya marahi?"Nah kan, benar saja tebakannya. Om Demitlah yang menjemputnya. "Kok Om yang menjemput saya sih? Mbak Lexa ke mana?" Walau kesal, Alexa naik juga ke atas motor. "Alexa sedang disetrap Gala," sahut Demitrio singkat."Yah, kok ce
Demitrio membawa Kiran ke kafe Biru. Kafe Biru ini milik Ario Sentanu, teman SMAnya. Demitrio menyukai kafe ini karena pengaturan antar meja berjauhan satu sama lain. Dengan begitu pembicaraan tiap pengunjung menjadi lebih privat. "Hapus dulu riasan wajahmu di toilet, Ki. Jangan sampai orang mengira kalau saya baru saja menganiayamu." Demitrio memandu Kiran menuju toilet. "Saya sudah membersihkan wajah dengan tissue basah di ujung jalan tadi kok, Om," bantah Kiran. Ia memang sudah membersihkan wajah dengan berlembar-lembar tissue basah selama menunggu Alexa datang menjemputnya. "Tapi masih ada bagian yang belum bersih, Ki. Ini contohnya. Matamu masih mirip dengan film kolosal Pendekar Mata Satu." Demitrio mengusap mata kanan Kiran. "Masa sih?" Kiran meringis. Ia tengah membayangkan penampakannya ala aktor laga 90-an almarhum Advent Bangun. "Iya. Nih, lihat. Sisa bubuk pewarna matamu masih menempel di jari saya." Demitrio memperlihatkan residu berwarna abu-abu kehitaman di ujung
"Jadi si Rio benar-benar menangkap Ishana, Ki?"Kiran menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Alexa yang berteriak di telinganya, membuat pendengarannya berdengung. Saat ini ia sudah berada di rumah. IPTU Rahman telah mengantarnya pulang sekitar dua jam yang lalu. "Iya, Mbak. Saya juga tidak menyangka kalau Om Demit bisa bertindak setegas itu," ujar Kiran sambil menghempaskan pinggulnya ke sofa. Setelahnya ia meraih remote dan menyalakan televisi. Jam-jam seperti ini adalah waktunya menonton berita-berita terupdate di televisi. Kelamaan di rumah, Kiran takut intuisinya sebagai seorang jurnalis akan tumpul. "Saya tadi antara senang, kasihan sama lucu juga melihat Mbak Is digelandang Om Demit ke kantor polisi." Kiran nyengir membayangkan saat Demitrio menangkap Ishana tadi."Senang sudah pastilah. Melihat musuh kita kalah itu, level kepuasaannya tidak terkatakan. Lucu juga okelah. Itu bagian dari kepuasan. Cuma kasihannya ini lho. Nggak pada tempatnya, Ki.""Kasihan karena Mbak Is itu d
Kiran menyapu lantai sambil memasang telinga baik-baik. Saat ini Marni tengah bertelepon ria dengan seseorang. Nada suaranya terdengar sangat antusias. "Tidak ada orang di sini kok, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Baiklah, sebentar saya ke kamar dulu." Marni membuka pintu kamar. Setelahnya ia melanjutkan pembicaraan dengan seseorang yang ia panggil dengan sebutan Ibu. Marni tidak sadar kalau pintu kamarnya tidak tertutup dengan sempurna. Sehingga Kiran bisa mendengarnya dengan cukup jelas dari balik pintu."Tenang, Bu. Saya bukan Rani ataupun Lisna yang gampang dikelabuhi oleh Pak Irman. Saya tidak senaif mereka."Berarti Marni tahu kalau Rani dan Lisna diperalat oleh Pak Irman.Kiran semakin merapatkan telinga ke pintu yang sedikit terbuka. "Pokoknya saya akan menjerat Pak Irman dengan segala daya dan pesona. Saya akan merebut semua yang seharusnya menjadi milik saya, dan Ibu harus membantu saya. Setelah puluhan tahun meninggalkan saya di panti asuhan, ini adalah saat yang tepat bagi
Kiran tengah menikmati makan siang saat ponselnya berbunyi. Andika meneleponnya. Jika Andika menghubunginya, pasti ada berita seru yang ingin ia bagikan. "Hallo, Dik. Ada berita seru apa hari ini?""Coba lihat stasiun televisi kita. Ada demo besar-besaran di Polda Metro Jaya."Polda Metro Jaya? Itu berarti tempat Demitrio bertugas."Mereka demo nuntut apa, Dik?" tanya Kiran penasaran. "Lo liat aja sendiri. Gue mau ngeliput." Ponsel pun dimatikan. Kiran membawa ponsel dan piringnya ke ruang tamu. Ia kemudian menghidupkan televisi. Tampak ratusan massa demonstran memenuhi jalan depan Polda Metro Jaya. Massa juga membawa berbagai poster dan mengepung kantor polisi. Mereka bermaksud menemui Irjenpol Suroto Hardiman selaku pimpinan Polda Metro Jaya. Massa menuding kalau kinerja kepolisian lamban dan tidak profesional. Massa menuntut agar kasus tewasnya Bu Yanti kembali diusut, karena mereka tidak percaya kalau Bu Yanti tewas bunuh diri. Selain itu massa dalam jumlah besar yang terdiri
Kiran melambaikan tangan tatkala melihat kehadiran Mega dan Arman di pintu masuk bandara. Ya, Bisma memberinya team Mega dan Arman. Mega yang memiliki nenek berkebangsaan Amerika Latin, mampu berbahasa Soanyol dengan baik. Demi profesionalitas, Kiran menerima teamnya dengan senang hati. Pun akhir-akhir ini sikap Mega dan Arman semakin membaik padanya. Kiran merasa tidak masalah bekerjasama dengan keduanya. Di punggung Mega dan Arman masing-masing menyandang sebuah tas ransel. Tas travel berukuran sedang ada di tangan mereka masing-masing. Bawaan keduanya sama persis dengannya. "Selamat pagi, semuanya," sapa Mega dan Arman sambil berjalan sembari menghampiri Kiran, yang berdiri bersisian dengan ibunya dan Demitrio. Mereka berdua telah melakukan check in online masing-masing sebelum ke bandara. Hanya tinggal melakukan Security Check Point 1 atau pemeriksaan Keamanan 1, check in bagasi, cek paspor imigrasi, dan SCP 2, untuk bisa duduk di ruang tunggu."Pagi," sahut Kiran, Cia dan Demit
"Cuacanya tidak bagus malam ini ya, Mbak?" Sembari berjalan menuju ruang tunggu, Kiran memandang titik-titik hujan di kaca di sepanjang jalan. Malam ini langit tampak kelam. Hujat lebat dibarengi angin bertiup kencang. Sesekali terlihat petir yang memecah gelapnya malam. Saat ini mereka tengah berjalan bersama penumpang lainnya menuju ruang tunggu keberangkatan ke Iquitos. Menurut jadwal yang ia baca di papan kedatangan, sekitar dua puluh menit lagi pesawat mereka akan berangkat."Iya, Ki. Gue sebenernya juga agak ngeri dengan cuaca yang ekstrim begini. Hujan lebat, angin kencang, petir, rasanya kok horor sekali ya?" Mega juga merasakan hal yang sama."Eh lo bawa apaan itu?" Mega melirik Kiran yang memasukkan bungkusan di dalam tas ransel."Ini biskuit dan permen kopi yang saya beli tadi, Mbak. Lumayan buat cemilan di perjalanan," kata Kiran seraya menarik resleting tas ranselnya. "Lo berdua nggak perlu paranoid begitu. Kalo memang penerbangan dianggap berbahaya, pihak maskapai past