"Kurang itu lebam-lebamnya, Ndan. Tambahin lagi. Biar si Kiran kayak habis ditabokin bokapnya beneran."Alexa memberi usul pada Pandan Wangi. Hari ini Kiran akan menyamar menjadi anak yang teraniya karena ayahnya menikah lagi. Rencananya Kiran akan berakting mencari pekerjaan menjadi ART paruh waktu di rumah Pak Irman. Sementara dirinya sendiri akan menyamar menjadi tukang ojek berjaket hijau. Dengan begitu ia bisa mengontrol Kiran selama bekerja, tanpa dicurigai."Kok temanya anak teraniaya sih? Bukannya lebih dramatis jalau berakting menjadi istri yang teraniaya?" Sembari menambahkan aksen bekas lebam di tulang pipi Kiran, Pandan Wangi memberi usul."Kagak bisa, Ndan. Soalnya si Marni ini pelakor. Mencari simpatinya dengan menjadi istri yang teraniaya, jelas tidak akan berhasil. Kalau anak yang terlantar, masih ada kemungkinan. Soalnya si Marni ini konon katanya anak yatim piatu yang tinggal dan dibesarkan di panti asuhan. Pada saat keluarga Pak Irman Sadikin mengunjungi panti asuha
"Kamu mulai bersih-bersih dari ruang tamu saja. Setelah itu lanjut ke dapur dan kamar utama. Karena hanya tiga ruangan itu yang sudah selesai di renovasi. Lagi pula calon suami saya akan singgah ke sini sekitar dua jam lagi. Beliau paling suka duduk menonton televisi di ruang tamu ditemani secangkir kopi. Jadi pastikan semua perabot di ruang tamu ini bersih dan rapi. Alat bersih-bersihnya ada di dapur." Marni mengarahkan Minah, pembantu baru paruh waktu ke ruang tamu."Ingat ya? Nanti saat calon suami saya datang, kamu segera sembunyi gudang lantai tiga. Karena hanya gudang yang tidak akan calon suami saya datangi. Kamu jangan keluar, sampai saya mengetuk pintu gudang. Mengerti, Minah?" Marni memperingati Minah sekali lagi."Mengerti, Nyonya." Kiran mengangguk takzim. Saat ini ia telah berganti nama menjadi Minah. Dengan begitu identitas aslinya tetap terlindungi."Saya mempekerjakan kamu karena kasihan. Jadi kamu jangan berbuat macam-macam dengan mencoba mencuri atau hal-hal krimina
Kiran berdiri di ujung jalan. Ia tengah menunggu Alexa yang berjanji akan menjemputnya pukul lima sore. Benak Kiran susah penuh dengan berita yang akan ia ceritakan pada Alexa. Sungguh, untuk pertama kalinya ia sangat antusias membongkar sebuah kasus. "Akhirnya." Kiran mendesah lega. Ia melihat motor Alexa dari kejauhan. Ia mengenali nomor platnya. Semakin motor mendekat, Kiran merasa ada yang salah. Alexa memang tinggi karena Om Axel itu keturunan Prancis. Tetapi rasanya tidak sejangkung dan sekekar ini. Istimewa jaket hijau khas ojek online yang dikenakan tampak ngatung di lengannya. Rasa-rasanya bukan Alexa yang mengendarai motor. Jangan-jangan..."Ayo, naik. Ngapain kamu terus memandangi saya? Rindu sekali ya karena sudah beberapa hari tidak saya marahi?"Nah kan, benar saja tebakannya. Om Demitlah yang menjemputnya. "Kok Om yang menjemput saya sih? Mbak Lexa ke mana?" Walau kesal, Alexa naik juga ke atas motor. "Alexa sedang disetrap Gala," sahut Demitrio singkat."Yah, kok ce
Demitrio membawa Kiran ke kafe Biru. Kafe Biru ini milik Ario Sentanu, teman SMAnya. Demitrio menyukai kafe ini karena pengaturan antar meja berjauhan satu sama lain. Dengan begitu pembicaraan tiap pengunjung menjadi lebih privat. "Hapus dulu riasan wajahmu di toilet, Ki. Jangan sampai orang mengira kalau saya baru saja menganiayamu." Demitrio memandu Kiran menuju toilet. "Saya sudah membersihkan wajah dengan tissue basah di ujung jalan tadi kok, Om," bantah Kiran. Ia memang sudah membersihkan wajah dengan berlembar-lembar tissue basah selama menunggu Alexa datang menjemputnya. "Tapi masih ada bagian yang belum bersih, Ki. Ini contohnya. Matamu masih mirip dengan film kolosal Pendekar Mata Satu." Demitrio mengusap mata kanan Kiran. "Masa sih?" Kiran meringis. Ia tengah membayangkan penampakannya ala aktor laga 90-an almarhum Advent Bangun. "Iya. Nih, lihat. Sisa bubuk pewarna matamu masih menempel di jari saya." Demitrio memperlihatkan residu berwarna abu-abu kehitaman di ujung
"Jadi si Rio benar-benar menangkap Ishana, Ki?"Kiran menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Alexa yang berteriak di telinganya, membuat pendengarannya berdengung. Saat ini ia sudah berada di rumah. IPTU Rahman telah mengantarnya pulang sekitar dua jam yang lalu. "Iya, Mbak. Saya juga tidak menyangka kalau Om Demit bisa bertindak setegas itu," ujar Kiran sambil menghempaskan pinggulnya ke sofa. Setelahnya ia meraih remote dan menyalakan televisi. Jam-jam seperti ini adalah waktunya menonton berita-berita terupdate di televisi. Kelamaan di rumah, Kiran takut intuisinya sebagai seorang jurnalis akan tumpul. "Saya tadi antara senang, kasihan sama lucu juga melihat Mbak Is digelandang Om Demit ke kantor polisi." Kiran nyengir membayangkan saat Demitrio menangkap Ishana tadi."Senang sudah pastilah. Melihat musuh kita kalah itu, level kepuasaannya tidak terkatakan. Lucu juga okelah. Itu bagian dari kepuasan. Cuma kasihannya ini lho. Nggak pada tempatnya, Ki.""Kasihan karena Mbak Is itu d
Kiran menyapu lantai sambil memasang telinga baik-baik. Saat ini Marni tengah bertelepon ria dengan seseorang. Nada suaranya terdengar sangat antusias. "Tidak ada orang di sini kok, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Baiklah, sebentar saya ke kamar dulu." Marni membuka pintu kamar. Setelahnya ia melanjutkan pembicaraan dengan seseorang yang ia panggil dengan sebutan Ibu. Marni tidak sadar kalau pintu kamarnya tidak tertutup dengan sempurna. Sehingga Kiran bisa mendengarnya dengan cukup jelas dari balik pintu."Tenang, Bu. Saya bukan Rani ataupun Lisna yang gampang dikelabuhi oleh Pak Irman. Saya tidak senaif mereka."Berarti Marni tahu kalau Rani dan Lisna diperalat oleh Pak Irman.Kiran semakin merapatkan telinga ke pintu yang sedikit terbuka. "Pokoknya saya akan menjerat Pak Irman dengan segala daya dan pesona. Saya akan merebut semua yang seharusnya menjadi milik saya, dan Ibu harus membantu saya. Setelah puluhan tahun meninggalkan saya di panti asuhan, ini adalah saat yang tepat bagi
Kiran tengah menikmati makan siang saat ponselnya berbunyi. Andika meneleponnya. Jika Andika menghubunginya, pasti ada berita seru yang ingin ia bagikan. "Hallo, Dik. Ada berita seru apa hari ini?""Coba lihat stasiun televisi kita. Ada demo besar-besaran di Polda Metro Jaya."Polda Metro Jaya? Itu berarti tempat Demitrio bertugas."Mereka demo nuntut apa, Dik?" tanya Kiran penasaran. "Lo liat aja sendiri. Gue mau ngeliput." Ponsel pun dimatikan. Kiran membawa ponsel dan piringnya ke ruang tamu. Ia kemudian menghidupkan televisi. Tampak ratusan massa demonstran memenuhi jalan depan Polda Metro Jaya. Massa juga membawa berbagai poster dan mengepung kantor polisi. Mereka bermaksud menemui Irjenpol Suroto Hardiman selaku pimpinan Polda Metro Jaya. Massa menuding kalau kinerja kepolisian lamban dan tidak profesional. Massa menuntut agar kasus tewasnya Bu Yanti kembali diusut, karena mereka tidak percaya kalau Bu Yanti tewas bunuh diri. Selain itu massa dalam jumlah besar yang terdiri
Kiran melambaikan tangan tatkala melihat kehadiran Mega dan Arman di pintu masuk bandara. Ya, Bisma memberinya team Mega dan Arman. Mega yang memiliki nenek berkebangsaan Amerika Latin, mampu berbahasa Soanyol dengan baik. Demi profesionalitas, Kiran menerima teamnya dengan senang hati. Pun akhir-akhir ini sikap Mega dan Arman semakin membaik padanya. Kiran merasa tidak masalah bekerjasama dengan keduanya. Di punggung Mega dan Arman masing-masing menyandang sebuah tas ransel. Tas travel berukuran sedang ada di tangan mereka masing-masing. Bawaan keduanya sama persis dengannya. "Selamat pagi, semuanya," sapa Mega dan Arman sambil berjalan sembari menghampiri Kiran, yang berdiri bersisian dengan ibunya dan Demitrio. Mereka berdua telah melakukan check in online masing-masing sebelum ke bandara. Hanya tinggal melakukan Security Check Point 1 atau pemeriksaan Keamanan 1, check in bagasi, cek paspor imigrasi, dan SCP 2, untuk bisa duduk di ruang tunggu."Pagi," sahut Kiran, Cia dan Demit
Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi
"Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."
"Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan
"Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk
Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa
"Keparat! Jurnalis tukang ikut campur ini tidak ada kapok-kapoknya mencampuri urusanku!" Pak Irman membanting remote televisi. Ia sudah mengusahakan segala cara untuk melenyapkan sang jurnalis. Dimulai dari memanipulasi Lisna, Murni, bahkan meminjam tangan anak buah Juan untuk membajak pesawat. Tapi jurnalis sialan ini masih tetap hidup sampai hari ini. Entah nyawanya ada sembilan atau memang keberuntungannya yang tak habis-habis. Ia kehilangan cara untuk membungkamnya.Di tengah kekesalan, tangis Aldy kembali menggema di seantero ruangan. Dikarenakan rumah kontrakan ini kecil, tangisan Aldy mendominasi satu rumah. Kepala Pak Irman makin pusing karenanya."Bibik bisa tidak mendiamkan Aldy?" Pak Irman meneriaki Bik Hasni. Ia panik karena sepertinya ia tidak akan bisa lolos lagi dari hukuman kali ini. Nasibnya kini bagai telur di ujung tanduk."Sabar, Pak. Namanya juga anak kecil. Mungkin Aldy resah karena orang tuanya terus bermasalah," sindir Bik Hasni kalem."Maksud Bibik apa? Bibik
Konferensi pers baru saja usai. Pihak kepolisian telah memberi keterangan kepada media massa perihal bunuh dirinya Bu Kartika. Mengenai alasannya, pihak kepolisian memperhalus dengan mengatakan bahwa ada persoalan pribadi yang membuat Bu Kartika depresi. Ketika para jurnalis menanyakan apa persoalan pribadi Bu Kartika, pihak kepolisian mengatakan itu adalah hal yang privacy. Semua pihak diminta untuk menghormati keputusan keluarga yang tidak ingin membagi ke publik perihal depresinya Bu Kartika."Gue jadi suudzon ini. Persoalan pribadinya apa ya yang membuat Bu Kartika sampai bunuh diri? Pasti ada hal besar yang kalo tersingkap ke publik bakalan heboh. Lo tahu nggak apa masalahnya, Ki? Kasih gue bocoran dong. Senapsaran gue."Sembari menyimpan peralatan live, Andika ngedumel. Ia paling gedeg jikalau meliput berita yang dinfokan cuma sepotong-sepotong. Jika keponya meronta-ronta."Kita berdua sama-sama ngejogrok di mari dari pagi. Info yang kita berdua dapatkan juga sama kali."Kiran m
"Saya dan anak-anak izin menangkap Pak Irman besok pagi. Semua berkas dan bukti-bukti pendukung sudah saya siapkan."Demitrio berbicara langsung pada pokok permasalahan saat sang atasan datang. Walau ia sudah berkali-kali mengatakannya pada sang atasan, Demitrio tetap meminta izinnya. Adab harus diutamakan. Istimewa penangkapan ini juga akan menghancurleburkan citra keluarga besar sang atasan. Pak Irman pasti akan bernyanyi seperti ancamannya pada Bu Kartika."Tangkap saja, Yo. Bukti-buktinya sudah valid bukan? Gas lah." Setelah memikirkan semuanya masak-masak, Pak Suroto memutuskan akan bersikap profesional. Ia tahu, pasti akan ada akibat dari penangkapan Irman ini. Sikap diam istrinya adalah salah satu pertanda. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan. Ia sudah bersumpah saat mengemban tugas sebagai penegak hukum."Terima kasih, Pak." Pak Suroto mengucapkan terima kasih saat Pak Amat menghidangkan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Walaupun ia baru menghabiskan secangkir kopi di ru