"Cuacanya tidak bagus malam ini ya, Mbak?" Sembari berjalan menuju ruang tunggu, Kiran memandang titik-titik hujan di kaca di sepanjang jalan. Malam ini langit tampak kelam. Hujat lebat dibarengi angin bertiup kencang. Sesekali terlihat petir yang memecah gelapnya malam. Saat ini mereka tengah berjalan bersama penumpang lainnya menuju ruang tunggu keberangkatan ke Iquitos. Menurut jadwal yang ia baca di papan kedatangan, sekitar dua puluh menit lagi pesawat mereka akan berangkat."Iya, Ki. Gue sebenernya juga agak ngeri dengan cuaca yang ekstrim begini. Hujan lebat, angin kencang, petir, rasanya kok horor sekali ya?" Mega juga merasakan hal yang sama."Eh lo bawa apaan itu?" Mega melirik Kiran yang memasukkan bungkusan di dalam tas ransel."Ini biskuit dan permen kopi yang saya beli tadi, Mbak. Lumayan buat cemilan di perjalanan," kata Kiran seraya menarik resleting tas ranselnya. "Lo berdua nggak perlu paranoid begitu. Kalo memang penerbangan dianggap berbahaya, pihak maskapai past
Jakarta, Indonesia.Kesibukan tampak di rumah keluarga Bima Sakti Raffardan di pagi buta. Ada enam unit mobil terparkir rapat di halaman rumah, selain dua mobil milik keluarga Raffardan sendiri. Enam unit mobil tamu tersebut masing-masing adalah milik sahabat-sahabat Bima sedari muda. Raven Artharwa Al Rasyid, Airlangga Putra Dewangga, Narendra Ajisaka Prahasta, Radja Halomoan Girsang dan Bayu Saputra. Bayu Saputra selain sahabat, juga merupakan adik iparnya. Bayu menikahi Intan, adik semata wayang Bima. Sementara satu unit mobil lagi adalah milik Demitrio Atmanegara. Demitrio datang bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka semua datang untuk mensupport Bima dan Cia. Semalaman mereka tidak bisa memejamkan mata. Kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Kiran dan rekan-rekan hilang kontak dengan petugas Air Traffic Controller atau ATC di Lima, membuat Bima dan Cia ketakutan. Belum lagi issue yang menyatakan bahwa kemungkinan pesawat dibajak, membuat kekhawatiran keluarga semakin menjadi-ja
Kiran tidak tahu berapa lama ia tertidur. Yang pasti setelah terbangun ia merasa sangat kehausan. Matahari sudah tinggi. Terhuyung-huyung Kiran melanjutkan perjalanan. Kiran tahu ia harus berpacu dengan waktu. Jikalau sampai malam hari ia belum berhasil keluar dari hutan, ia akan kembali bermalam dengan segala bahayanya. Belum lagi luka-lukanya yang kemungkinan akan infeksi. Saat ini saja lukanya sudah berdenyut-denyut dan suhu tubuhnya memanas. Kiran mulai demam.Kiran memaksakan diri berjalan, hingga langkahnya terhenti tiba-tiba. Beberapa meter di hadapannya tampak patahan kabin dan deretan kursi pesawat. Kiran bergegas mendekat. Siapa tahu ada Mega dan Arman di sana. Saat tiba di deretan kursi pesawat, Kiran membeku. Sebagai seorang jurnalis, is sudah terbiasa melihat mayat dalam keadaan seburuk-buruknya. Namun kali ini tubuhnya bergetar hebat melihat pemandangan yang mengerikan di depan matanya. Ia melihat enam jenazah bergelimpangan di reruntuhan dengan posisi tubuh tidak wajar.
Demitrio meremas-remas kedua tangannya. Saat ini sebagian korban kecelakaan Peruvian Airlines telah dibawa ke ruang autopsi. Segera bergiliran pihak keluarga dipanggil untuk proses identifikasi bagi jenazah yang masih utuh. Sedangkan yang hanya berupa potongan-potongan tubuh, akan diidentifikasi pihak rumah sakit terlebih dahulu baru diserahkan pada keluarga."Dios mio. No puedo creer esto!" (Tuhan, aku tidak percaya semua ini!)Sepasang suami istri paruh baya, keluar dari ruang otopsi dengan teriakan histeris. Demitrio menduga, kalau mereka mengenali jenazah yang baru saja ditemukan.Demitrio mendadak mual. Bayangan bahwa ia juga harus mengenali Kiran dalam bentuk jenazah, membuatnya berkeringat dingin.Semoga saja tidak ada Kiran di antara jenazah-jenazah itu. Aamiin.Demitrio memindai sekeliling. Para anggota keluarga korban yang lain, tampak sama nervousnya dengan dirinya. Ada yang menangis, berdoa, atau memandangi photo dalam ponsel. Wajah-wajah mereka memperlihatkan ketakutan se
"Jadi sudah pasti kalau tiga orang pembajak itu mantan anak buah kakaknya Tangguh ya, Om?" Demitrio berbisik pelan pada Om Bima. Kiran baru saja tertidur setelah menangis histeris saat mengetahui tewasnya Mega dan Arman. Kiran merasa bersalah karena hanya dirinya yang selamat di antara 157 penumpang yang menjadi korban. Untung saja Tante Cia yang sudah menyusul ke Lima, berhasil menenangkan Kiran."Iya, Yo. Tangguh bilang mereka bernama Felipe, Rudolfo dan Hector. Pada mulanya mereka bekerja pada Juan Lopez, paman Geraldo. Setelah Juan Lopez di penjara, mereka bekerja dengan Geraldo. Otomatis mereka pun jadi sering ikut Geraldo yang bolak-balik Mexico Jakarta. Karena Soraya, istri Geraldo berasal dari Jakarta. Lama-lama mereka jadi lumayan fasih berbahasa Indonesia. Tak disangka, ketiga orang ini malah diam-diam memasok Narkob* pada gembong tanah air. Makanya Geraldo memecat ketiganya dua tahun lalu.""Saya garis bawahi kata gembong tanah airnya. Karena itu artinya ada PR besar lagi
Jakarta, Indonesia.Kiran menyusun bukti-bukti yang sudah ia dapatkan selama ini dalam sebuah file. Setelah pulang dari Lima kemarin, Kiran terus bekerja. Ia mengumpulkan bukti-bukti mulai dari tewasnya Bu Yanti, Lisna hingga Rani. Ia merangkum kejanggalan-kejanggalan kematian ketiganya dalam satu file. Dalam file lain, Kiran mengumpulkan bukti-bukti tentang kemungkinan terlibatnya Pak Irman dalam file terpisah. Dalam file itu Kiran menyimpan video pengacara Harry Soebarja di rumah Pak Irman. Hubungan tidak wajar antara Pak Irman dengan Marni dan juga orang dipanggil ibu oleh Marni. Kiran merangkum semuanya dengan detail.Kiran menghentikan pekerjaannya saat mendengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Pasti mamanya yang datang. Kiran hapal irama kaki sang mama. Sejurus kemudian pintu kamar dibuka perlahan. Tebakannya benar. Mamanya sudah berdiri di ambang pintu."Ki, ada anak atasanmu di ruang tamu. Sana, temui dulu." Kata-kata sang Mama membuat Kinan refleks memindai jam dind
Kiran membaca lembar demi lembar buku harian Lisna. Saat ini dirinya dan Demitrio tengah berbagi tugas. Ia memeriksa buku harian Lisna, sementara Demitrio menyusun draft-draft yang akan ia buktikan untuk menjerat Pak Irman."Clue apa yang kamu dapatkan, Ki?" Demitrio menoleh sekilas pada Kiran. Suara gemerisik kertas yang disibak membuatnya penasaran."Saya belum mendapatkan petunjuk apa pun, Om. Tidak ada kejadian istimewa yang ditulis oleh Lisna. Ia hanya menulis tentang kesulitan keuangannya selama menempuh pendidikan keperawatannya." Kiran membalik satu halaman lagi."Sesekali ia menulis tentang rasa irinya pada teman-teman seangkatannya yang memiliki banyak uang jajan. Rima, Sherly, Renny bisa membeli apapun yang mereka inginkan. Sementara dirinya, kepingin membeli bedak dan lipstick murah saja tidak kesampaian.""Baca saja lagi. Buku itu cukup tebal. Mudah-mudahan ada clue- clue penting di sana." Demitrio menyemangati Kiran."Siap, Om." Kiran kembali membalik halaman demi halama
"Aku peringatkan kamu sekali lagi ya, Man. Jangan pernah memintaku menemuimu lagi. Ini adalah terakhir kalinya kita bertemu secara personal."Kartika memuntahkan amarahnya di depan muka Irman Sadikin. Setelah menerima ancaman Irman yang mengatakan bahwa ia akan memberitahu suaminya tentang rahasia besarnya, Kartika mengalah. Pernikahannya bisa bubar jalan kalau Irman sampai membuka mulut."Duduk dulu, Mbak. Tahan emosi Mbak sebelum kita sepakat akan beberapa hal," desis Irman dengan suara tertahan. Sikap Kartika tidak berubah sejak dulu. Kasar, egois dan suka merendahkan."Kamu yang harus menjaga tindakanmu. Bukan aku yang menjaga mulut!" hardik Kartika berang. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memantau situasi. Kafe dalam keadaan sepi. Hanya ada sepasang remaja dan dua anak punk yang sedang menyantap makanan. Setelah merasa situasi aman, barulah Kartika berani duduk."Langsung saja. Apa tujuanmu ingin bertemu denganku." Kartika menaikkan kerudung dan membetulkan kaca mata hitamny