Jakarta, Indonesia.Kiran menyusun bukti-bukti yang sudah ia dapatkan selama ini dalam sebuah file. Setelah pulang dari Lima kemarin, Kiran terus bekerja. Ia mengumpulkan bukti-bukti mulai dari tewasnya Bu Yanti, Lisna hingga Rani. Ia merangkum kejanggalan-kejanggalan kematian ketiganya dalam satu file. Dalam file lain, Kiran mengumpulkan bukti-bukti tentang kemungkinan terlibatnya Pak Irman dalam file terpisah. Dalam file itu Kiran menyimpan video pengacara Harry Soebarja di rumah Pak Irman. Hubungan tidak wajar antara Pak Irman dengan Marni dan juga orang dipanggil ibu oleh Marni. Kiran merangkum semuanya dengan detail.Kiran menghentikan pekerjaannya saat mendengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Pasti mamanya yang datang. Kiran hapal irama kaki sang mama. Sejurus kemudian pintu kamar dibuka perlahan. Tebakannya benar. Mamanya sudah berdiri di ambang pintu."Ki, ada anak atasanmu di ruang tamu. Sana, temui dulu." Kata-kata sang Mama membuat Kinan refleks memindai jam dind
Kiran membaca lembar demi lembar buku harian Lisna. Saat ini dirinya dan Demitrio tengah berbagi tugas. Ia memeriksa buku harian Lisna, sementara Demitrio menyusun draft-draft yang akan ia buktikan untuk menjerat Pak Irman."Clue apa yang kamu dapatkan, Ki?" Demitrio menoleh sekilas pada Kiran. Suara gemerisik kertas yang disibak membuatnya penasaran."Saya belum mendapatkan petunjuk apa pun, Om. Tidak ada kejadian istimewa yang ditulis oleh Lisna. Ia hanya menulis tentang kesulitan keuangannya selama menempuh pendidikan keperawatannya." Kiran membalik satu halaman lagi."Sesekali ia menulis tentang rasa irinya pada teman-teman seangkatannya yang memiliki banyak uang jajan. Rima, Sherly, Renny bisa membeli apapun yang mereka inginkan. Sementara dirinya, kepingin membeli bedak dan lipstick murah saja tidak kesampaian.""Baca saja lagi. Buku itu cukup tebal. Mudah-mudahan ada clue- clue penting di sana." Demitrio menyemangati Kiran."Siap, Om." Kiran kembali membalik halaman demi halama
"Aku peringatkan kamu sekali lagi ya, Man. Jangan pernah memintaku menemuimu lagi. Ini adalah terakhir kalinya kita bertemu secara personal."Kartika memuntahkan amarahnya di depan muka Irman Sadikin. Setelah menerima ancaman Irman yang mengatakan bahwa ia akan memberitahu suaminya tentang rahasia besarnya, Kartika mengalah. Pernikahannya bisa bubar jalan kalau Irman sampai membuka mulut."Duduk dulu, Mbak. Tahan emosi Mbak sebelum kita sepakat akan beberapa hal," desis Irman dengan suara tertahan. Sikap Kartika tidak berubah sejak dulu. Kasar, egois dan suka merendahkan."Kamu yang harus menjaga tindakanmu. Bukan aku yang menjaga mulut!" hardik Kartika berang. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memantau situasi. Kafe dalam keadaan sepi. Hanya ada sepasang remaja dan dua anak punk yang sedang menyantap makanan. Setelah merasa situasi aman, barulah Kartika berani duduk."Langsung saja. Apa tujuanmu ingin bertemu denganku." Kartika menaikkan kerudung dan membetulkan kaca mata hitamny
"Kamu sudah benar-benar kuat untuk kembali bekerja, Ki?" Bima bertanya sekali lagi sebelum menghentikan kendaraan di tempat parkir. Saat ini Bima tengah mengantar sang putri ke stasiun televisi tempat putrinya bekerja."Kuat dong, Pa. Hampir sebulan lamanya beristirahat di rumah, masa tidak sembuh-sembuh juga? Yang Kiran takutkan malah otak Kiran jadi tumpul karena tidak diasah-asah." Kiran membuka sabuk pengaman."Pun berat badan Kiran jadi naik pesat karena terus makan enak dan jarang bergerak. Lama-lama Kiran bisa saingan dengan gapura kabupaten. Kiran kerja dulu ya, Pa?" Kiran berpamitan sambil membuka pintu mobil."Baiklah. Ingat pesan Papa. Jangan terlalu memaksakan diri. Bekerjalah secara profesional. Tapi tidak boleh juga mendzolimi diri sendiri. Ingat juga pesan mamamu. Jangan ikut liputan secara langsung dulu. Selain kamu belum pulih seratus persen, kamu masih diincar oleh orang-orang yang merasa terganggu oleh aksimu.""Siap, Pa." Kiran membuat gerakan menghormat ala milite
"Kenapa Bapak kembali meminta uang? Bukannya saya sudah membayar lunas jasa Bapak waktu itu?" Marni menjawab panggilan ponsel gusar. Pak Badar, orang yang ia bayar untuk merekayasa bunuh diri Lisna, kembali meminta sejumlah uang padanya. Demi mencegah pembicaraannya dengan Pak Badar didengar oleh salah seorang pekerja, Marni naik ke lantai tiga. Lebih baik ia berbicara di gudang saja. Sejak Minah membenahi gudang beberapa waktu lalu, gudang menjadi lebih bersih sekarang."Bapak butuh sejumlah uang untuk melarikan diri dari panti, Neng. Sudah tiga hari ini Bapak merasa terus diikuti orang.""Itu urusan Bapak. Hak Bapak sudah saya berikan sepenuhnya. Pintar-pintarnya Bapak dong menghadapi resikonya. Ingat ya, Pak. Jangan pernah menghubungi saya lagi. Saya tidak punya uang. Saya juga tidak punya urusan lagi dengan Bapak!""Tapi, Neng--"Klik. Marni mematikan ponsel sebelum Pak Badar selesai berbicara. Pagi-pagi Pak Badar ini sudah membuatnya kesal saja. Sejurus kemudian ponsel kembali b
"Ternyata tulisan dengan huruf kapital di kertas yang saya temukan di gudang waktu itu adalah tulisan tangan Bu Katarina ya, Om?" Kiran ikut melihat objek yang diamati dengan serius oleh Demitrio."Benar, Ki. Waktu itu saya salah menduga. Saya mengira tulisan tangan itu adalah tulisan tangan laki-laki karena semua hurufnya ditulis dengan huruf kapital. Tapi ternyata," Demitrio berdecak. Ia teledor kali kali ini."Biasa lah, Om. Namanya juga kita sedang mengira-ngira. Wajar kalau dugaan kita salah sesekali. By the way, kenapa Om tiba-tiba curiga pada Bu Katarina? Soalnya sebelum-sebelumnya Om santai-santai saja," tanya Kiran penasaran."Karena beberapa hari lalu saya dan Rey melihat rekaman konferensi pers pihak kepolisian saat menyatakan bahwa kasus Pak Ryan ditutup. Waktu itu Rey tidak sengaja membuka rekaman ulangnya di laptopnya. Saat iseng menonton, saya merasa ada yang janggal di konferensi pers itu. Saya kemudian meminta rekaman itu pada Rey dan kembali menontonnya di rumah.""A
"Ada apa, Yo? Oh, kamu ingin bicara empat mata dengan saya? Boleh saja. Kamu langsung ke rumah saja. Kita akan bicara di ruang kerja. Kenapa? Tidak leluasa? Baiklah. Saya akan ada di sana satu jam lagi."Bu Kartika menguping pembicaraan sang suami diam-diam. Ia sangat gelisah saat mengetahui bahwa yang menelepon suaminya adalah AKP Demitrio Atmanegara. Anak buah suaminya yang satu ini sangat cerdas dan kritis. Demitrio lah yang terus memaksa untuk menahan Irman Sadikin. Ia harus memutar otak untuk mempengaruhi suaminya."Siapa yang menelepon, Mas?" tanya Bu Kartika sambil menghidangkan secangkir kopi. Ia pura-pura tidak mengetahui siapa orang yang menelepon sang suami."Si Rio. Katanya dia mau bicara empat mata denganku soal si Irman." Pak Suroto menyeruput kopi pahit yang disajikan sang istri dengan nikmat. Sehabis makan, ia memang suka minum secangkir kopi."Apa lagi sih yang mau dibahas, Mas. Bukannya sudah jelas kalau Irman Sadikin itu tidak ada hubungannya dalam peristiwa tewasny
"Saya dan anak-anak izin menangkap Pak Irman besok pagi. Semua berkas dan bukti-bukti pendukung sudah saya siapkan."Demitrio berbicara langsung pada pokok permasalahan saat sang atasan datang. Walau ia sudah berkali-kali mengatakannya pada sang atasan, Demitrio tetap meminta izinnya. Adab harus diutamakan. Istimewa penangkapan ini juga akan menghancurleburkan citra keluarga besar sang atasan. Pak Irman pasti akan bernyanyi seperti ancamannya pada Bu Kartika."Tangkap saja, Yo. Bukti-buktinya sudah valid bukan? Gas lah." Setelah memikirkan semuanya masak-masak, Pak Suroto memutuskan akan bersikap profesional. Ia tahu, pasti akan ada akibat dari penangkapan Irman ini. Sikap diam istrinya adalah salah satu pertanda. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan. Ia sudah bersumpah saat mengemban tugas sebagai penegak hukum."Terima kasih, Pak." Pak Suroto mengucapkan terima kasih saat Pak Amat menghidangkan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Walaupun ia baru menghabiskan secangkir kopi di ru