Demitrio membawa Kiran ke kafe Biru. Kafe Biru ini milik Ario Sentanu, teman SMAnya. Demitrio menyukai kafe ini karena pengaturan antar meja berjauhan satu sama lain. Dengan begitu pembicaraan tiap pengunjung menjadi lebih privat. "Hapus dulu riasan wajahmu di toilet, Ki. Jangan sampai orang mengira kalau saya baru saja menganiayamu." Demitrio memandu Kiran menuju toilet. "Saya sudah membersihkan wajah dengan tissue basah di ujung jalan tadi kok, Om," bantah Kiran. Ia memang sudah membersihkan wajah dengan berlembar-lembar tissue basah selama menunggu Alexa datang menjemputnya. "Tapi masih ada bagian yang belum bersih, Ki. Ini contohnya. Matamu masih mirip dengan film kolosal Pendekar Mata Satu." Demitrio mengusap mata kanan Kiran. "Masa sih?" Kiran meringis. Ia tengah membayangkan penampakannya ala aktor laga 90-an almarhum Advent Bangun. "Iya. Nih, lihat. Sisa bubuk pewarna matamu masih menempel di jari saya." Demitrio memperlihatkan residu berwarna abu-abu kehitaman di ujung
"Jadi si Rio benar-benar menangkap Ishana, Ki?"Kiran menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Alexa yang berteriak di telinganya, membuat pendengarannya berdengung. Saat ini ia sudah berada di rumah. IPTU Rahman telah mengantarnya pulang sekitar dua jam yang lalu. "Iya, Mbak. Saya juga tidak menyangka kalau Om Demit bisa bertindak setegas itu," ujar Kiran sambil menghempaskan pinggulnya ke sofa. Setelahnya ia meraih remote dan menyalakan televisi. Jam-jam seperti ini adalah waktunya menonton berita-berita terupdate di televisi. Kelamaan di rumah, Kiran takut intuisinya sebagai seorang jurnalis akan tumpul. "Saya tadi antara senang, kasihan sama lucu juga melihat Mbak Is digelandang Om Demit ke kantor polisi." Kiran nyengir membayangkan saat Demitrio menangkap Ishana tadi."Senang sudah pastilah. Melihat musuh kita kalah itu, level kepuasaannya tidak terkatakan. Lucu juga okelah. Itu bagian dari kepuasan. Cuma kasihannya ini lho. Nggak pada tempatnya, Ki.""Kasihan karena Mbak Is itu d
Kiran menyapu lantai sambil memasang telinga baik-baik. Saat ini Marni tengah bertelepon ria dengan seseorang. Nada suaranya terdengar sangat antusias. "Tidak ada orang di sini kok, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Baiklah, sebentar saya ke kamar dulu." Marni membuka pintu kamar. Setelahnya ia melanjutkan pembicaraan dengan seseorang yang ia panggil dengan sebutan Ibu. Marni tidak sadar kalau pintu kamarnya tidak tertutup dengan sempurna. Sehingga Kiran bisa mendengarnya dengan cukup jelas dari balik pintu."Tenang, Bu. Saya bukan Rani ataupun Lisna yang gampang dikelabuhi oleh Pak Irman. Saya tidak senaif mereka."Berarti Marni tahu kalau Rani dan Lisna diperalat oleh Pak Irman.Kiran semakin merapatkan telinga ke pintu yang sedikit terbuka. "Pokoknya saya akan menjerat Pak Irman dengan segala daya dan pesona. Saya akan merebut semua yang seharusnya menjadi milik saya, dan Ibu harus membantu saya. Setelah puluhan tahun meninggalkan saya di panti asuhan, ini adalah saat yang tepat bagi
Kiran tengah menikmati makan siang saat ponselnya berbunyi. Andika meneleponnya. Jika Andika menghubunginya, pasti ada berita seru yang ingin ia bagikan. "Hallo, Dik. Ada berita seru apa hari ini?""Coba lihat stasiun televisi kita. Ada demo besar-besaran di Polda Metro Jaya."Polda Metro Jaya? Itu berarti tempat Demitrio bertugas."Mereka demo nuntut apa, Dik?" tanya Kiran penasaran. "Lo liat aja sendiri. Gue mau ngeliput." Ponsel pun dimatikan. Kiran membawa ponsel dan piringnya ke ruang tamu. Ia kemudian menghidupkan televisi. Tampak ratusan massa demonstran memenuhi jalan depan Polda Metro Jaya. Massa juga membawa berbagai poster dan mengepung kantor polisi. Mereka bermaksud menemui Irjenpol Suroto Hardiman selaku pimpinan Polda Metro Jaya. Massa menuding kalau kinerja kepolisian lamban dan tidak profesional. Massa menuntut agar kasus tewasnya Bu Yanti kembali diusut, karena mereka tidak percaya kalau Bu Yanti tewas bunuh diri. Selain itu massa dalam jumlah besar yang terdiri
Kiran melambaikan tangan tatkala melihat kehadiran Mega dan Arman di pintu masuk bandara. Ya, Bisma memberinya team Mega dan Arman. Mega yang memiliki nenek berkebangsaan Amerika Latin, mampu berbahasa Soanyol dengan baik. Demi profesionalitas, Kiran menerima teamnya dengan senang hati. Pun akhir-akhir ini sikap Mega dan Arman semakin membaik padanya. Kiran merasa tidak masalah bekerjasama dengan keduanya. Di punggung Mega dan Arman masing-masing menyandang sebuah tas ransel. Tas travel berukuran sedang ada di tangan mereka masing-masing. Bawaan keduanya sama persis dengannya. "Selamat pagi, semuanya," sapa Mega dan Arman sambil berjalan sembari menghampiri Kiran, yang berdiri bersisian dengan ibunya dan Demitrio. Mereka berdua telah melakukan check in online masing-masing sebelum ke bandara. Hanya tinggal melakukan Security Check Point 1 atau pemeriksaan Keamanan 1, check in bagasi, cek paspor imigrasi, dan SCP 2, untuk bisa duduk di ruang tunggu."Pagi," sahut Kiran, Cia dan Demit
"Cuacanya tidak bagus malam ini ya, Mbak?" Sembari berjalan menuju ruang tunggu, Kiran memandang titik-titik hujan di kaca di sepanjang jalan. Malam ini langit tampak kelam. Hujat lebat dibarengi angin bertiup kencang. Sesekali terlihat petir yang memecah gelapnya malam. Saat ini mereka tengah berjalan bersama penumpang lainnya menuju ruang tunggu keberangkatan ke Iquitos. Menurut jadwal yang ia baca di papan kedatangan, sekitar dua puluh menit lagi pesawat mereka akan berangkat."Iya, Ki. Gue sebenernya juga agak ngeri dengan cuaca yang ekstrim begini. Hujan lebat, angin kencang, petir, rasanya kok horor sekali ya?" Mega juga merasakan hal yang sama."Eh lo bawa apaan itu?" Mega melirik Kiran yang memasukkan bungkusan di dalam tas ransel."Ini biskuit dan permen kopi yang saya beli tadi, Mbak. Lumayan buat cemilan di perjalanan," kata Kiran seraya menarik resleting tas ranselnya. "Lo berdua nggak perlu paranoid begitu. Kalo memang penerbangan dianggap berbahaya, pihak maskapai past
Jakarta, Indonesia.Kesibukan tampak di rumah keluarga Bima Sakti Raffardan di pagi buta. Ada enam unit mobil terparkir rapat di halaman rumah, selain dua mobil milik keluarga Raffardan sendiri. Enam unit mobil tamu tersebut masing-masing adalah milik sahabat-sahabat Bima sedari muda. Raven Artharwa Al Rasyid, Airlangga Putra Dewangga, Narendra Ajisaka Prahasta, Radja Halomoan Girsang dan Bayu Saputra. Bayu Saputra selain sahabat, juga merupakan adik iparnya. Bayu menikahi Intan, adik semata wayang Bima. Sementara satu unit mobil lagi adalah milik Demitrio Atmanegara. Demitrio datang bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka semua datang untuk mensupport Bima dan Cia. Semalaman mereka tidak bisa memejamkan mata. Kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Kiran dan rekan-rekan hilang kontak dengan petugas Air Traffic Controller atau ATC di Lima, membuat Bima dan Cia ketakutan. Belum lagi issue yang menyatakan bahwa kemungkinan pesawat dibajak, membuat kekhawatiran keluarga semakin menjadi-ja
Kiran tidak tahu berapa lama ia tertidur. Yang pasti setelah terbangun ia merasa sangat kehausan. Matahari sudah tinggi. Terhuyung-huyung Kiran melanjutkan perjalanan. Kiran tahu ia harus berpacu dengan waktu. Jikalau sampai malam hari ia belum berhasil keluar dari hutan, ia akan kembali bermalam dengan segala bahayanya. Belum lagi luka-lukanya yang kemungkinan akan infeksi. Saat ini saja lukanya sudah berdenyut-denyut dan suhu tubuhnya memanas. Kiran mulai demam.Kiran memaksakan diri berjalan, hingga langkahnya terhenti tiba-tiba. Beberapa meter di hadapannya tampak patahan kabin dan deretan kursi pesawat. Kiran bergegas mendekat. Siapa tahu ada Mega dan Arman di sana. Saat tiba di deretan kursi pesawat, Kiran membeku. Sebagai seorang jurnalis, is sudah terbiasa melihat mayat dalam keadaan seburuk-buruknya. Namun kali ini tubuhnya bergetar hebat melihat pemandangan yang mengerikan di depan matanya. Ia melihat enam jenazah bergelimpangan di reruntuhan dengan posisi tubuh tidak wajar.